Mubadalah.id – Di tengah maraknya kasus pernikahan anak yang masih menghantui banyak wilayah di Indonesia, sekelompok seniman dan aktivis berkumpul untuk menyuarakan perlawanan mereka dengan cara yang berbeda yaitu melalui seni. Musawah Art Collective, yang merupakan jaringan seniman dan pegiat sosial yang peduli pada isu keadilan gender, menggagas pameran seni bertajuk “Trip Exhibition: Breaking the Chain”, yang digelar bergilir di tiga kota: Yogyakarta, Cirebon, dan Banda Aceh.
Pameran ini bukan sekadar pertunjukan karya visual. Ia adalah ajakan untuk menengok lebih dalam luka sosial yang tersembunyi di balik angka statistik pernikahan anak. Dengan mengangkat pengalaman, tubuh, dan suara perempuan muda, “Breaking the Chain” menjadi ruang refleksi dan perlawanan yang menggabungkan ekspresi artistik dan kesadaran kolektif.
Menerjemahkan Krisis Pernikahan Anak ke Dalam Bahasa Seni
Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan angka pernikahan anak tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data BPS dan UNICEF, jutaan anak perempuan dipaksa menikah sebelum usia 18 tahun. Alasannya sering kali karena ekonomi, tekanan sosial, atau interpretasi agama yang keliru. Dampaknya tak main-main, mereka putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian ibu muda saat melahirkan.
Melalui pameran ini, Musawah Art Collective mencoba menyampaikan urgensi permasalahan tersebut dengan pendekatan yang menggugah dan empatik.
“Pernikahan anak bukan sekadar persoalan hukum atau adat. Ini adalah persoalan tubuh, kontrol, dan masa depan. Kita ingin orang-orang merasakannya, bukan hanya membacanya,” ujar Gevi Noviyanti, salah satu seniman yang terlibat.
Gevi, seorang fotografer dokumenter yang selama ini berkarya di persimpangan budaya, masyarakat, dan isu gender, menampilkan seri foto-foto yang menangkap ekspresi, simbol, dan ruang perempuan muda yang terpaksa menikah. Dalam karyanya, senyap menjadi suara yang paling nyaring.
Bersamanya, hadir pula Nisa R.A., seniman visual sekaligus peneliti yang mengusung eksplorasi tentang tubuh perempuan dan narasi-narasi ketakutan yang membungkusnya—khususnya di Aceh.
Lewat film pendek dan instalasi visual, Nisa membawa audiens menyelami bagaimana tubuh perempuan muda menjadi medan tarik ulur antara tradisi, moralitas, dan kontrol sosial.
Trip Exhibition
Tak berhenti pada galeri visual, “Breaking the Chain” juga menyuguhkan serangkaian kegiatan publik yaitu pemutaran film dokumenter, diskusi panel bersama aktivis dan akademisi, lokakarya seni. Serta booth interaktif yang dirancang agar pengunjung dapat turut menyumbangkan suara dan pengalaman mereka dalam kampanye anti-pernikahan anak.
Di Yogyakarta, pameran akan dibuka di Galeri Kelas Pagi Yogyakarta pada 18–26 Juli 2025, dengan rangkaian acara yang menggandeng komunitas pelajar, mahasiswa, hingga pegiat seni lokal.
Di Cirebon, pameran dijadwalkan pada 9–24 Agustus 2025 bertempat di Smiljan Dutchbook & Gramedia Grage Mall—menargetkan audiens lintas usia dari pelajar, guru, hingga ibu rumah tangga.
Sementara di Banda Aceh, pameran akan digelar di Sophie’s Sunset Library, Aceh Besar, pada 11–18 Oktober 2025, dengan pendekatan yang lebih kontekstual terhadap kearifan lokal dan problematika gender di Aceh.
“Setiap kota punya cerita, punya luka, dan punya harapan sendiri. Itu sebabnya kami merancang program-program di tiap kota secara berbeda. Kita tidak bisa melawan pernikahan anak hanya dari satu sudut pandang,” ujar perwakilan tim kurator Musawah Art Collective.
Memutus Rantai Pernikahan Anak
Musawah Art Collective percaya bahwa seni memiliki kekuatan untuk membongkar tabu, mencairkan ketegangan, dan menyalakan percakapan yang selama ini tertahan.
Dalam konteks pernikahan anak, pameran ini diharapkan menjadi ruang aman untuk mendengar dan didengar—bagi para penyintas, anak muda, orang tua, dan para pemangku kebijakan.
“Breaking the Chain” tidak berpretensi menyelesaikan masalah. Ia hadir sebagai bagian dari upaya panjang yang mengedepankan kesadaran dan empati. Karena perubahan sosial selalu berawal dari keberanian untuk melihat, merasa, dan bertindak.
Lewat rangkaian pameran ini, Musawah Art Collective berharap agar anak perempuan itu bukan untuk dinikahkan. Tetapi untuk dibesarkan dengan cinta, pendidikan, dan kebebasan memilih jalan hidupnya. (Rilis)