Mubadalah.id – Pernahkah kita berpikir bahwa justru dari tempat paling gelap, cahaya kebijaksanaan bisa lahir? Seorang hamba yang hidup dalam perbudakan, tak terkenal, mendapat perlakuan kejam, justru mengajarkan dunia tentang kebebasan sejati dan kemerdekaan jiwa. Bukan kebebasan yang tercapai lewat senjata, tapi lewat penguasaan atas diri sendiri.
Ketika tubuhnya tersiksa hingga cacat, ia tidak membalas dengan amarah. Ia hanya berkata tenang, “Bukankah aku sudah memperingatkan?” Ia tidak menangis atau mengutuk. Ia memilih diam. Menerima bukan dengan pasrah, tetapi dengan martabat. Beginilah wujud nyata dari sabar, yang dalam Islam kita sebut sebagai ‘azm, yaitu keteguhan hati di tengah ujian yang berat.
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka beristiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan berkata: Jangan takut dan jangan bersedih hati…” (QS. Fussilat: 30).
Begitulah, ketika seseorang berdiri teguh dalam prinsip dan tak larut dalam dendam, langit pun ikut menyapanya dengan ketenangan.
Kita Tidak Memiliki Dunia, Tapi Kita Memiliki Pilihan
Apa yang sebenarnya menjadi milik kita? Jabatan? Kekayaan? Tubuh? Reputasi? Tidak. Semua itu bisa hilang sewaktu-waktu. Yang benar-benar milik kita adalah niat, pikiran, pilihan, dan sikap kita terhadap kenyataan.
Inilah kunci dari apa yang dalam Islam sebutkan sebagai ikhlas. Ketika hati tidak menggantungkan hasil, tetapi sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, sambil terus melakukan yang terbaik. Dalam hadis menyebutkan;
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan hartamu, tetapi melihat hati dan amalmu.” (HR. Muslim).
Maka ketika seseorang kehilangan harta, tidak berarti ia kehilangan harga diri. Ketika ia terhina, tidak berarti ia harus ikut hina. Sebaliknya, dalam kendali dirinya, ia tetap bisa memilih untuk bersikap mulia. Karena sungguh, kehormatan dan kemerdekaan jiwa tidak terletak pada pujian manusia, tetapi pada keteguhan batin yang hanya Allah yang mengenalnya.
Filosofi Hidup Bukan Untuk Diceramahkan, Tapi Dijalani
Hari ini kita hidup di dunia yang penuh sorotan. Banyak orang berlomba menjadi paling benar, paling pintar, paling bersinar. Tapi tahukah kamu? Hakikat ilmu bukan terletak pada seberapa banyak yang kita hafal, tetapi pada seberapa dalam ia mewujud dalam akhlak dan sikap hidup.
Dalam Islam, ilmu yang tidak kita amalkan ibarat pohon yang tidak berbuah. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda, “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.” Artinya, hanya dengan amal dan ketulusanlah ilmu menjadi bermanfaat.
Ketika seseorang berbuat baik meski sedang tidak terlihat orang, ketika ia bersabar meski tidak terpuji, ketika ia memilih jujur meski merugikan dirinya. Di sanalah ilmu telah menjadi bagian dari jiwanya. Dan seperti yang banyak ulama sampaikan, “Salah satu tanda orang berilmu adalah ketika ia makin rendah hati, bukan makin sombong.”
Kebebasan Sejati Hanya Bisa Ditemukan Dalam Hati yang Tunduk
Kebebasan sejati bukan tentang berkuasa atas orang lain. Ia adalah tentang tidak lagi diperbudak oleh dunia. Kita bisa hidup miskin tapi tetap tenang. Bisa hidup dalam keterbatasan tapi tetap bersyukur. Kita bisa terhina tapi tidak hina. Dan inilah ajaran Islam yang mendalam: bahwa kemuliaan tidak datang dari dunia, tapi dari keimanan yang teguh.
Dalam Al-Qur’an mengingatkan kita, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3).
Takwa inilah yang membuat seseorang tidak terguncang oleh apa pun di luar diri dia. Karena ia tahu, bahwa yang paling penting adalah ridha Allah, bukan pengakuan manusia.
Bahkan dalam riwayat sahabat dan para tabi’in, kita mengenal banyak kisah di mana mereka memilih hidup sederhana, menjauhi gemerlap dunia. Bukan karena lemah, tapi karena tahu apa yang paling berharga. Dan mereka pun menjadi manusia yang benar-benar merdeka—merdeka dari hasrat duniawi, merdeka dari ego, dan merdeka dari syahwat pujian.
Menjadi Hamba yang Merdeka
Dalam dunia yang riuh dan penuh tekanan, kita butuh ruang untuk kembali kepada hakikat diri: bahwa kita hanyalah hamba. Tapi bukan hamba dunia, bukan hamba manusia. Kita adalah hamba Allah. Dan dalam penghambaan inilah, justru kita menemukan kebebasan yang hakiki.
Kita tidak memilih nasib. Tapi kita bisa memilih cara menjalaninya. Kita tidak mengendalikan takdir. Tapi kita bisa mengendalikan sikap. Dan ketika kita memilih untuk bersabar, bersyukur, dan bertawakal—kita sedang melepaskan diri dari belenggu dunia yang melelahkan.
Semoga kita bisa menjadi pribadi yang tangguh, yang tenang, yang tidak mudah terpancing oleh dunia, tapi juga tidak mati rasa. Kita belajar menata emosi, menjaga hati, dan terus memilih kebaikan, meski dunia tak selalu adil.
Dan bila hidup terasa berat, ingatlah: semua itu bisa jadi ujian, bisa jadi pelajaran. Tapi yang paling penting adalah: bagaimana kita menanggapinya. []