Mubadalah.id – Anggapan atau prasangka memang rawan ketika berkonotasi negatif, seperti yang terjadi pada menjadi perempuan adalah cobaan, kerap menimbulkan tindakan diskriminatif.
Sebuah hal klise yang amat meresahkan ketika menempatkan Perempuan sebagai objek domestikasi. Apa yang terjadi? yang terjadi yaitu pengerdilan posisi seseorang sebagai perempuan.
Namun, saya rasa hal itu sudah mereda dengan perlahan. Karena pergaulan atau circle yang sehat akan bersikap humanis. Contoh saja, nugas bareng harus on time, ketika si perempuan terlambat mungkin ada anggapan dari si cowok “’wajar kan ya, cewek over prepare daripada cowok”. Pun terjadi jika cowok yang terlambat, tapi alasan jitu cowok adalah “sebat dulu atau otw, otw,otw 100x”. Sederhana namun membuka mindset saling menghargai.
Bukan masalah kedisplinan secara personal, yang perlu kita highlight yakni seberapa toleran kita terhadap sesama dan mendudukkan pikiran secara moderat. Kan tidak terbayang jika saling menjustice buruk, mengolok-olok, dan merendahkan sesama.
Sebagai stimulus, cerita tersebut menunjukkan bahwa hal penting kita perhatikan yakni perspektif, berfikir, dan berasumsi bagaimana dunia berjalan dengan penuh toleransi.
Akar Masalah dalam Cara Berpikir
Dalam diskusi-diskusi keagamaan dan sosial, sering kali muncul narasi bahwa “menjadi perempuan adalah cobaan dari Tuhan.” Pandangan ini, yang sekilas tampak religius dan bijaksana, bagi saya malah merupakan sebuah kecelakaan berpikir atau sesat logika yang berbahaya.
Anggapan tersebut tidak hanya keliru secara teologis, tetapi juga berkontribusi pada normalisasi berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Ketika kita menyebut “menjadi perempuan adalah cobaan,” kita secara tidak langsung melegitimasi penderitaan yang dialami perempuan sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan. Padahal, sebagian besar kesulitan yang perempuan hadapi bukanlah takdir ilahi, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang timpang dan sistem patriarki yang telah mengakar berabad-abad.
Juga kekerasan terhadap perempuan bukan ujian spiritual yang harus ia terima dengan pasrah. Pelecehan seksual, pembunuhan, cat calling, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan berbagai bentuk objektifikasi lainnya adalah manifestasi nyata dari kegagalan masyarakat dalam menghormati martabat kemanusiaan wanita.
Berbicara patriarki, matriarki tidak dapat kita pukul rata secara subjektif atau pengalaman empirik. Setidaknya keduanya harus berjalan beriringan tanpa dominasi.
Realitas Kekerasan yang Mengakar
Data menunjukkan betapa massifnya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya, mulai dari kekerasan domestik hingga pelecehan pada ruang publik. Cat calling atau pelecehan verbal di jalanan telah menjadi pengalaman sehari-hari yang “dinormalisasi” hingga banyak anggapan sebuah kewajaran.
Femisida atau pembunuhan terhadap wanita karena identitas gendernya juga terus terjadi, seringkali terjadi oleh orang-orang terdekat korban. Kekerasan dalam rumah tangga bahkan masih sering kita anggap sebagai “urusan internal keluarga” yang bersifat intim dan publik tidak boleh bercampur tangan.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak orang merespons kasus ini dengan victim blaming, menyalahkan korban atas apa yang terjadi padanya. “Kenapa keluar malam sendirian?” “Kenapa pakai baju seperti itu?” “Kenapa tidak melawan?” Pertanyaan pertanyaan ini justru mengalihkan fokus dari pelaku ke korban.
Objektifikasi Sistemik
Sebagian kalangan, seringkali mereduksi perempuan menjadi objek, bukan subjek yang memiliki agensi penuh atas hidupnya. Media, periklanan, dan percakapan sehari-hari sering mengkomodifikasi tubuh perempuan sebagai objek visual. Mereka memaksakan standar kecantikan yang tidak realistis dan mengabaikan pencapaian intelektual serta profesional perempuan.
Dalam dunia kerja, perempuan masih menghadapi diskriminasi gaji, ceiling effect dalam jenjang karir, dan pelecehan seksual yang masih dianggap sebagai “resiko pekerjaan.” Dalam politik, perempuan yang vokal sering berlabelkan sebagai “cerewet” atau “emosional,” sementara laki-laki dengan sikap serupa dianggap “tegas” dan “berkarakter.”
Ketika kita menerima narasi bahwa “menjadi perempuan adalah cobaan,” kita secara tidak sadar :
Pertama, menormalisasi kekerasan, penderitaan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi, bukan sebagai ketidakadilan yang harus dilawan.
Kedua, melumpuhkan perlawanan , perempuan didorong untuk menerima diskriminasi dengan sabar, alih-alih memperjuangkan hak-haknya.
Ketiga, mengaburkan tanggung jawab , pelaku kekerasan dan sistem yang memungkinkan kekerasan terjadi tidak dimintai pertanggungjawaban karena kejadian tersebut dianggap sebagai “takdir.”
Keempat, membatasi potensi, perempuan bergerak terbatasi dalam mengeksplorasi kemampuan dan ambisinya karena maraknya anggapan sudah memiliki “kodrat” tertentu yang tidak boleh terlanggar.
Meluruskan Pemahaman
Kesetaraan gender bukanlah konsep yang bertentangan dengan nilai-nilai agama atau budaya yang luhur. Sebaliknya, menghormati martabat wanita adalah implementasi nyata dari nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam berbagai tradisi spiritual, perempuan memiliki kedudukan yang mulia dan setara dengan laki-laki di hadapan Tuhan.
Yang perlu kita pahami adalah bahwa kesulitan-kesulitan yang perempuan hadapi sebagian besar bersumber dari ketidakadilan struktural yang manusia ciptakan sendiri, bukan dari kodrat alamiah atau ketentuan ilahi. Oleh karena itu, solusinya pun ada pada tangan manusia: mengubah sistem, mengubah mindset, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Langkah Menuju Perubahan
Perubahan harus kita lakukan yakni dari cara kita memandang dan membicarakan perempuan. Alih-alih melihat mereka sebagai makhluk yang “lemah” atau “penuh cobaan,” kita perlu mengakui kekuatan, resiliensi, dan kontribusi luar biasa yang telah dan terus perempuan torehkan bagi peradaban manusia.
Pendidikan gender yang komprehensif perlu kita ajarkan sejak dini, tidak hanya kepada anak perempuan tetapi juga anak laki-laki. Laki-laki perlu kita ajak menjadi sekutu dalam memperjuangkan kesetaraan, bukan pelaku atau pengamat pasif ketidakadilan gender.
Sistem hukum harus lebih kuat untuk memberikan perlindungan maksimal bagi perempuan dan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan. Yang tidak kalah penting, stigma terhadap korban kekerasan harus kita minimalisir agar mereka berani melaporkan dan mendapatkan keadilan.
Maka tidak salah apa yang Emran El-Badawi katakan, jika dalam Al-Qur’an Wanita berkonotasi sebagai sungai mengalir dalam surga, pun seperti pohon-pohon subur yang berbuah manis. Setidaknya gambaran tersebut bernilai positif yang seharusnya kita pahami dengan cara mengolah pikiran dengan bijaksana. []