Mubadalah.id – Pada 13 Agustus 2025, Kabupaten Pati menjadi sorotan nasional. Ratusan ribu warga, mulai dari petani, pedagang, pelajar, ibu-ibu, dan anak-anak turun ke jalan menuntut Bupati lengser. Pemicu utama adalah kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat, disertai sikap arogan dan kesombongan pemimpin.
Kenaikan PBB-P2 hingga 250% menjadi pemantik protes. Secara teori, pajak adalah instrumen negara untuk membiayai pembangunan, dengan prinsip keadilan proporsional terhadap kemampuan warga. Namun ketika kebijakan dibuat tanpa dialog atau partisipasi rakyat, beban terasa berat dan tidak adil. Apalagi bagi petani dan pedagang kecil, angka pajak melonjak jauh melampaui kemampuan riil mereka.
Respons Bupati yang terkesan menantang justru menggeser tuntutan rakyat, dari pembatalan pajak menjadi permintaan pergantian pemimpin. Dalam teori legitimasi politik David Easton, kekuasaan pemerintah bergantung pada penerimaan rakyat.
Saat masyarakat menilai seorang pemimpin kehilangan moralitas dan bertindak sewenang-wenang, legitimasi itu runtuh. Hal ini menandakan bukan hanya fenomena pajak, namun janji kemerdekaan dan keadilan sosial bagi rakyat.
Kemana Janji Kemerdekaan?
Jika kita tarik ke sejarah nasional, kemerdekaan 1945 bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, namun juga janji negara untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan berarti melindungi seluruh bangsa, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Pancasila dan UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan adalah mandat rakyat, bukan alat penindasan.
Kenyataan di Pati memperlihatkan sebaliknya. Akses pendidikan berkualitas masih terbatas, harga pangan merugikan petani, dan pengambilan keputusan tidak melibatkan suara rakyat. Kenaikan pajak yang tinggi dan sikap arogan pemimpin menunjukkan bahwa janji kemerdekaan belum sepenuhnya terealisasi. Ironinya, simbol kemerdekaan tidak sejalan dengan realitas sosial yang warga alami.
Selain itu, sejak era kolonial, petani Pati menjadi tulang punggung produksi pangan sekaligus korban kebijakan timpang. Janji kemerdekaan 1945 seharusnya menjadikan rakyat Pati bagian dari keadilan sosial, bukan kelompok yang tertindas. Sejarah panjang perjuangan Pati mengingatkan bahwa demokrasi lokal bukan hanya formalitas, namun menjadi bagian perjuangan keadilan nyata bagi rakyat.
Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menimbulkan luka kolektif. Jurang antara rakyat dan pemimpin semakin lebar. Seperti yang Paulo Freire kritik dalam Pedagogy of the Oppressed, kekuasaan yang tidak dialogis akan melahirkan relasi penindasan. Bupati yang mestinya bijak, justru menantang rakyatnya sendiri. Jika sudah begini, yang perlu kita pertanyakan adalah kemana janji kemerdekaan?
Kepemimpinan adalah Amanah
Dalam tradisi Islam, kepemimpinan bukan hak istimewa, melainkan amanah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus (ra‘in), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR. Bukhari Muslim).
Prinsip ini selaras dengan konsep mubadalah, bahwa relasi antara pemimpin dan rakyat harus terbangun atas dasar saling menghormati, melindungi, dan mendengar.
Dan pada dasarnya, masyarakat Pati tidak menolak pajak sebagai kontribusi pembangunan. Mereka menolak karena merasa diperlakukan sebagai objek, bukan subjek. Jika pemerintah mengajak rakyat berdialog, memberi ruang partisipasi, dan menyusun kebijakan secara transparan, protes besar mungkin tak akan terjadi.
Memegang Teguh Semangat Demokrasi
Demonstrasi di Pati menunjukkan bahwa rakyat masih memegang teguh semangat demokrasi. Aksi turun ke jalan menjadi koreksi terhadap praktik kekuasaan yang menyimpang dari janji kemerdekaan. Kekuasaan bermakna hanya jika digunakan untuk melayani rakyat. Jika tidak, rakyat berhak menegur bahkan menolak.
Menjelang Hari Kemerdekaan, rakyat Pati mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya upacara, namun janji kesejahteraan, keadilan, dan kesalingan antara pemimpin dan rakyat.
Protes rakyat, meski sering dianggap mengganggu atau menentang negara, sejatinya menunjukkan cinta mereka pada tanah air. Mereka turun ke jalan karena yakin suaranya penting dan ingin negara lebih baik. Protes ini mengingatkan bahwa rakyat adalah pelaku utama dalam pembangunan, bukan sekadar objek pasif.
Dari Pati untuk Indonesia
Aksi 13 Agustus di Pati, yang terdengar hingga ke seluruh penjuru Indonesia, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hanya kita peringati, namun harus kita perjuangkan. Apa yang terjadi di Pati bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk terus menegakkan keadilan.
Karena kemerdekaan sejati lahir ketika rakyat dan pemimpin berjalan bersama. Pejabat melindungi, rakyat mendukung kebijakan yang adil. Hanya dengan kesalingan ini janji kemerdekaan 1945 dapat hidup, menjadi nafas nyata di tengah masyarakat dengan prinsip keadilan, kesetaraan, dan kebebasan bagi semua. []