Mubadalah.id – Dalam tradisi, perayaan kemerdekaan biasanya masih terasa hingga akhir bulan Agustus dengan berbagai macam kegiatan. Namun sepertinya tahun ini sepertinya tidak ada tradisi tersebut. Seminggu setelah upacara HUT RI ke- 80 tahun, ada peristiwa besar yang terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu demo besar-besaran di berbagai daerah.
Dari kota hingga desa, massa memenuhi jalan-jalan. Mereka membawa spanduk, berteriak, menangis, dan marah. Pemicu awalnya adalah keputusan DPR yang menaikkan tunjangan hingga puluhan juta rupiah per bulan.
Namun, jangkauan protes jauh lebih dalam daripada sekadar soal uang. Yang menjadi aspirasi adalah adanya simbol ketidakadilan, ketidakpekaan, dan renggangnya jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.
Peristiwa ini terjadi hanya satu setelah Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan, tetapi rupanya belum sepenuhnya merdeka dari kesenjangan, ketidakadilan, dan jarak antara pemimpin dan rakyat. Maka muncul pertanyaan yang mengguncang hati “Apakah inikah hadiah 80 tahun kemerdekaan Indonesia?”
Dari Protes ke Luka
Seperti yang diketahui, unjuk rasa ini terjadi selang beberapa hari setelah DPR mengumumkan kenaikan gaji para anggotanya. Masyarakat menilai bahwa tindakan DPR ini sangat menyakiti masyrakat di saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Kekecewaan masyarakat bertambah ketika ada beberapa dewan yang menyampaikan argumen kurang empati. Hal ini tentu membuat masyarakat sakit hati. Akhirnya sejumlah mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar aksi demo, dengan tuntutan awal reformasi DPR dan pembatalan kenaikan tunjangan.
Naasnya ketika massa mulai turun ke jalan dan bentrok dengan aparat, ada satu peristiwa yang semakin membuat masyarakat sakit hati dan marah. Affan Kurniawan, seorang ojol berusia 21 tahun menjadi korban dalam demo tersebut.
Affan tewas setelah terlindas mobil rantis miliknya brimob. Sebenarnya Affan bukanlah peserta demo, ia hanya mengantarkan pesanan kepada costumer ketika demo terjadi. Peristiwa ini tentu menciptakan luka baru bagi masyarakat. Aparat yang seharusnya menjaga masyarakatnya, tetapi malah sebaliknya.
Dari Aksi Damai Berubah Anarkis
Peristiwa yang menewaskan Affan ini semakin membuat kecewa, lebih-lebih kepada pihak kepolisian. Satu hari setelah peristiwa itu, unjuk rasa kembali berlangsung. Kali ini tuntutan massa tidak hanya reformasi DPR, tetapi juga meminta keadilan atas meninggalnya Affandi. Maka dari itu, demo tidak hanya terjadi di kantor DPR, tetapi juga Polda dan Markas Brimob.
Dalam demo kali ini, massa yang ikut berunjuk rasa tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari pengendara ojek online. Mereka mengungkapkan kesedihan atas tewasnya rekan kerja mereka. Selain itu mereka juga menuntut adanya hukum yang transapran terhadap pelaku yang menabrak Affandi hingga tewas.
Selain di Jakarta, aksi unjuk rasa juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia, mulai dari Jogjakarta, Solo, Bandung, hingga Sumatera Barat. Tuntutan mereka sama, keadilan untuk Affandi. Namun yang disayangkan, unjuk rasa yang awalnya berjalan damai, seketika berubah menjadi kericuhan.
Terpantau di beberapa daerah massa membakar sejumlah kendaraan dan fasilitas umum. Polisi dan pengunjuk rasa saling menyerang. Massa yang semakin bertambah dan semakin bringas membuat polisi mengambil tindakan dengan menembakkan gas air mata kepada massa.
Saling Menghargai Menjadi Kunci Damai
Kerusuhan dan sikap anarkis yang terjadi pada akhir Agustus 2025 ini memperlihatkan betapa dangkalnya relasi antara rakyat dan penguasa. Ketika rasa saling menghargai terkikis, maka yang terjadi hanyalah saling menyerang satu sama lain.
Pemerintah yang tidak peka pada suara rakyat dianggap mengkhianati tanggung jawab, sementara rakyat yang marah kadang terjebak dalam provokasi buta. Dalam titik inilah, saling menghargai menjadi kunci bagi terciptanya damai. Seandainya dalam demo kemarin ada kesadaran ini, maka tidak akan ada korban yang berjatuhan.
Menghargai bukan sekadar sopan santun, melainkan pengakuan atas martabat manusia. Rakyat berhak mendapat perlindungan dalam berorasi karena merekalah pemilik kedaulatan. Sementara itu pemerintah pun berhak dihormati dalam posisinya, selama mereka sungguh menjalankan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Tanpa penghargaan timbal balik, relasi mudah berubah menjadi konflik yang tak kunjung selesai.
Dalam perspektif Mubadalah, saling menghargai berarti menghadirkan ruang dialog, mendengar dengan tulus, dan mencari solusi yang adil bagi semua. Dalam Gereja Katolik pun menekankan hal yang sama, perdamaian hanya lahir dari keadilan dan kasih. Artinya, rakyat dan pemerintah harus belajar saling memahami dan menghargai demi kebaikan bersama.
Merawat Kesadaran Bersama
Peristiwa ini menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang dewasa dalam berdemokrasi. Kemerdekaan sejati hanya lahir ketika semua elemen mau saling mendengar, menghargai, dan merawat satu sama lain. Baik rakyat maupun pemerintah harus memiliki kesadaran untuk membangun negeri yang lebih baik lagi. Maka, demo harus sungguh menjadi kesempatan untuk saling mengingatkan, bukan saling menyerang.
Dalam ajaran agama atau kepercayaan apapun damai adalah buah dari keadilan. Maka, jika ingin damai, keadilan harus menjadi yang utama. Jika kita ingin merdeka sungguh-sungguh, maka harus menjaga martabat manusia. Seperti yang saya tuliskan dalam tulisan sebelumnya bahwa delapan puluh tahun Indonesia merdeka harus membawa kesejahteraan bagi semua warga. []