Mubadalah.id – Pencegahan kehamilan dan pernikahan anak di Malaysia merupakan persoalan serius yang membutuhkan dukungan menyeluruh dari keluarga, lingkungan, dan dunia pendidikan.
Bahkan dengan masuknya kurikulum baru Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Sosial (PEERS) dan akan diterapkan pada 2027 memang patut diapresiasi. Hal ini sebagai langkah maju pemerintah Malaysia dalam melindungi generasi mudanya.
Namun, bagi saya tetap, keterlambatan implementasi kebijakan ini berpotensi membuat ribuan anak akan menjadi korban pernikahan dan kehamilan di usia anak.
Menteri Pembangunan Perempuan, Keluarga, dan Masyarakat, Dato’ Sri Nancy Shukri, pernah menyoroti keprihatinan atas tingginya angka kehamilan dan pernikahan di bawah umur, hingga penelantaran bayi.
Data resmi lembaga Pembangunan Perempuan, Keluarga, dan Masyarakat menunjukkan terdapat 44.263 kehamilan remaja dalam lima tahun terakhir, dengan 17.646 di antaranya berasal dari remaja yang belum menikah. Di Sarawak saja, tercatat 9.258 kasus antara 2019 hingga 2023.
Bahkan, sebagian kasus terjadi karena keberlakuan undang-undang adat yang masih mengizinkan pernikahan anak. Sayangnya, hingga kini, belum ada langkah amandemen yang menetapkan usia minimum pernikahan anak perempuan menjadi 18 tahun secara nasional.
Dengan banyaknya celah yang melegelkan pernikahan anak sangat berdampak buruk terhadap kesehatan dan kehidupannya. Mereka akan sangat rentan menghadapi komplikasi kehamilan dan persalinan.
Kematian Ibu dan Bayi
Terlebih, karena tubuh anak belum siap hamil dan melahirkan, maka risiko persalinan, kelahiran prematur, hingga kematian ibu dan bayi sangat mungkin terjadi. Bahkan, jika orang tua memilih untuk melahirkan anaknya, maka tidak sedikit bayi akhirnya ditelantarkan karena para ibu muda tidak memiliki kesiapan mental dan emosional.
Persoalan ini semakin kompleks karena berkaitan dengan sistem hukum ganda di Malaysia. Untuk non-Muslim, pemerintah menetapkan batas usia pernikahan 18 tahun. Namun, bagi umat Islam, aturan membolehkan laki-laki menikah di usia 18 tahun dan perempuan di usia 16 tahun, bahkan lebih muda jika hakim syariah atau menteri utama memberikan izin.
Perbedaan aturan ini menciptakan celah besar untuk terjadinya praktik perkawinan anak. Akibatnya, banyak anak di Malaysia tidak mendapatkan haknya, akses pendidikan terputus dan kemiskinan.
Dengan kondisi anak perempuan yang semakin memprihatinkan, pemerintah Malaysia sudah berulang kali berkomitmen menghapus perkawinan anak.
Misalnya, bisa kita lihat dari Rencana Strategis Nasional 2020 menjanjikan solusi dengan menyasar akar persoalan: kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan norma sosial yang merugikan anak perempuan.
Namun, janji itu masih jauh dari kenyataan. Memang, beberapa negara bagian seperti Selangor dan Kedah telah menetapkan usia minimum 18 tahun untuk menikah. Tetapi perlindungan anak seharusnya tidak ditentukan oleh di mana mereka dilahirkan.
Konsekuensi pernikahan anak juga berdampak panjang pada pendidikan. Data Kementerian Pendidikan mencatat adanya peningkatan angka putus sekolah antara 2019 hingga 2023, salah satunya akibat pernikahan.
Anak-anak yang meninggalkan sekolah karena menikah, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya.
Bahkan dampak secara psikologis, anak-anak akan mengalami trauma yang membekas seumur hidup. Depresi, kecemasan, hingga stigma sosial akan menjadi beban mereka.
Maka dari itu, sudah saatnya pemerintah Malaysia menghentikkan praktik perkawinan anak dengan segala kebijakannya. Mereka juga harus bertanggung jawab dan wajib melindungi atas banyaknya anak yang menjadi korban pernikahan.
Dengan begitu, anak-anak di Malaysia akan terlindungi dari praktik perkawinan yang amat merugikkan tersebut. []