Mubadalah.id – Pertanyaan ini salah satu yang mengemuka dalam Tadarus Subuh, yang ke-164 tentang Akhlak Kesaksian dalam Pernikahan, yang aku ampu sejak tahun 2000. Ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung perdebatan panjang yang menyinggung fondasi fiqh, tafsir ayat, dan praktik sosial masyarakat Muslim sejak masa klasik hingga sekarang.
Di Indonesia sendiri, jawaban atas pertanyaan ini biasanya tegas: tidak boleh. Hal ini sejalan dengan pandangan mayoritas ulama klasik—khususnya mazhab Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali—yang mensyaratkan saksi akad nikah harus dua orang laki-laki muslim yang adil. Pandangan ini kemudian dikukuhkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sehingga terasa seperti aturan baku yang tidak bisa ditawar.
Namun, perjalanan fiqh Islam sesungguhnya lebih kompleks dan memiliki ragam pandangan yang patut untuk kita refleksikan ulang. Pandangan mayoritas ulama fiqh hanya salah satu saja dari ragam pandangan fiqh klasik Islam. Jika kita menelusuri khazanah turats, ada mazhab dan tokoh yang membuka ruang lebih luas dan lebih inklusif bagi perempuan untuk menjadi saksi nikah.
Pertanyaan “bolehkan perempuan menjasi saksi akad pernikahan” ini, dengan demikian, tidak cukup dijawab dengan “boleh atau tidak boleh,” melainkan menuntut refleksi yang lebih dalam: apa sebenarnya tujuan persaksian itu, dan apa prinsip keadilan yang hendak ditegakkan di balik aturan saksi? Adakah kemungkinan bagi perempuan, secara etika fiqh Islam, untuk menjadi saksi akad pernikahan?
Pandangan Mayoritas Ulama Fiqh Klasik
Mazhab Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa akad nikah tidak sah tanpa dua orang saksi laki-laki. Dalil yang sering dikutip adalah hadis Nabi ﷺ: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل” — “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. al-Bayhaqi, al-Daraquthni). Kata “syāhiday ‘adl” di sini, sekalipun tidak eksplisit, kita pahami sebagai dua orang laki-laki yang adil, karena kalimatnya menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar).
Menurut mereka, perempuan hanya diperbolehkan menjadi saksi bagi ha-hal yang secara khusus terkait perempuan. Seperti persoalan menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Untuk urusan harta, seperti perdagangan, perempuan boleh menjadi saksi, jika tidak ada laki-laki, dengan kuota: satu laki-laki dan dua perempuan.
Ketentuan ini tersebutkan dalam surat al-Baqarah (QS. 2: 282). Ketentuan saksi perempuan dalam ayat ini hanya berlaku dalam urusan ekonomi-perdagangan dan tidak berlaku dalam urusan pernikahan, maupun perkara pidana.
Dari sini, terbentuklah konsensus mayoritas ulama fiqh bahwa saksi perempuan tidak sah dalam akad nikah. Pandangan inilah yang dominan di dunia Islam, termasuk di Nusantara yang banyak terpengaruhi mazhab Syafi‘i. Walau demikian, mereka membolehkan perempuan menjadi saksi untuk hal-hal khusus, seperti kelahiran dan persusuan, dan tanpa ada batasan. Artinya, satu orang perempuan bisa menjadi saksi.
Pandangan Hanafi Menerima Saksi Perempuan
Berbeda dari mayoritas, mazhab Hanafi menempuh jalan lebih inklusif. Mereka membolehkan susunan saksi akad nikah berupa satu laki-laki dan dua perempuan. Dasar hukumnya adalah ayat 282 dari surat al-Baqarah. Sekalipun ayat ini berbicara mengenai akad hutang piutang, bagi Mazhab Hanafi, ia juga berlaku dalam hal pernikahan, dengan skema satu laki-laki dan dua perempuan.
Memang, bagi Hanafiyah, kesaksian dua perempuan dianggap setara dengan satu laki-laki. Tetapi, yang penting adalah bahwa perempuan tetap mendapat posisi sebagai saksi nikah. Dengan begitu, suara perempuan tidak sepenuhnya terabaikan sebagaimana dalam pandangan mayoritas ulama. Meski dengan kuota separoh dari laki-laki, pendapat Hanafi ini membuka pintu pengakuan terhadap kapasitas perempuan dalam akad pernikahan.
Ibn Hazm Menerima Semua Saksi Nikah adalah Perempuan
Lebih jauh lagi, kita menemukan pandangan unik Ibn Ḥazm al-Ẓāhirī (w. 456 H) dalam al-Muḥallā. Beliau menyatakan bahwa perempuan sah menjadi saksi dalam akad pernikahan, sama seperti laki-laki. Baginya, tidak ada satu pun ayat atau hadis yang secara eksplisit mengecualikan perempuan dari peran saksi secara umum, termasuk dalam urusan nikah.
Dalil utama yang ia gunakan adalah QS. al-Ṭalāq (65): 2: “…wa ashhidū dhaway ‘adlin minkum” — “dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian.” Ayat ini umum, tidak membedakan laki-laki atau perempuan. Syaratnya hanya satu: adil atau terpercaya. Maka, baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi saksi selama memenuhi kriteria “keterpercayaan” tersebut.
Namun, mengacu pada ayat al-Baqarah (2: 282), Ibn Hazm juga memberi kuota minimal 4 perempuan untuk saksi nikah, atau 2 perempuan dengan 1 orang laki-laki. Ibn Hazm menolak dasar hukum yang mayoritas ulama fiqh gunakan. Yaitu Hadits al-Baihaqi, untuk melarang saksi perempuan. Jikapun hadits itu kita terima, maknanya juga tidak eksplisit hanya khusus saksi laki-laki, tetapi bisa untuk saksi perempuan, sebagaimana hadits-hadits yang lain.
Analisis Dalil Fiqh Klasik
Sekalipun ada perbedaan, secara substansi fiqh klasik telah membuka kemungkinan perempuan menjadi saksi. Mayoritas ulama dari tiga Mazhab, sekalipun melarang perempuan menjadi saksi dalam pernikahan, tetapi memperbolehkannya dalam urusan yang bisa perempuan kuasai. Bahkan satu perempuan bisa cukup menjadi saksi hal tersebut. Sementara Mazhab Hanafi dan Ibn Hazm, dengan syarat jumlah tertentu, memperbolehkan saksi perempuan dalam segala urusan, termasuk pernikahan.
Dalam pembahasan fiqh, kesaksian (syahadah) bisa bermakna pembuktian untuk pengadilan (itsbat) dan bisa juga pemberitaan atau periwayatan suatu pengetahuan (ikhbar). Pada kesaksian pemberitaan atau penyampaian pengetahuan (syahadah al-ikhbar), semua ulama fiqh klasik memperbolehkan perempuan menjadi saksi untuk meriwayatkan pengetahuan. Seperti Qur’an, hadits, nasab, sejarah, ilmu dan informasi kesehatan, pengetahuan alam, dan lain-lain.
Jika suatu hadits, yang menyangkut hukum Islam untuk semua manusia, bisa diriwayatkan, atau tersampaikan melalui kesaksian seorang perempuan, apalagi isu kejadian perkawinan yang hanya menyangkut dua orang insan, dan sudah terbiasa dikuasai perempuan, seharusnya juga bisa disaksikan perempuan. Artinya, perempuan harusnya bisa menjadi saksi atas kejadian akad pernikahan.
Al-Qur’an juga menggunakan kata syahadah atau kesaksian, mengenai perempuan yang diberi kesempatan untuk menolak kesaksian suaminya yang menuduhnya berzina pada kasus sumpah li’an. Ketika seorang suami bersaksi (sumpah li’an), bahwa istrinya berzina, maka sang istri bisa menolaknya dengan bersaksi hal yang serupa (sumpah li’an). Jumlah ungkapan perskasian itu, baik yang terucapkan laki-laki maupun perempuan, adalah sama, yaitu empat persaksian (QS. An-Nur, 24: 6-9).
Dengan demikian, tujuan persaksian adalah memastikan akurasi pengetahun, kejadian, dan atau suatu pengakuan. Pada kasus nikah, keberadaan saksi adalah untuk menjaga hak dan memastikan kebenaran suatu akad. Dengan kata lain, yang paling penting dari seorang saksi adalah kapasitasnya. Ia melihat, mendengar, dan memahami peristiwa, lalu mampu memberi keterangan yang jujur dan akurat.
Jika itu yang menjadi esensi, maka menolak saksi perempuan hanya karena gender tidak lagi relevan pada konteks kontemporer kita saat ini. Jika perempuan, pada saat ini, telah bisa menjadi saksi dan pelaku pada berbagai praktik kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, dan kasus-kasus hukum, maka membolehkan perempuan menjadi saksi akad pernikahan adalah sesuatu yang relevan, logis, dan sesuai dengan ajaran Islam yang menempatkan perempuan sebagai subjek hukum.
Pengalaman, Kapasitas, dan Kemampuan Perempuan
Dalam praktik sosial, sering kali perempuan justru yang paling tahu detail sebuah akad atau peristiwa pernikahan. Misalnya, seorang ibu yang hadir sejak awal proses lamaran, atau seorang kerabat perempuan yang mendampingi calon mempelai. Mereka menyaksikan langsung jalannya akad, sementara para lelaki kadang justru datang belakangan.
Apakah adil jika suara saksi perempuan yang melihat langsung diabaikan, hanya karena ia bukan laki-laki? Bukankah prinsip keadilan menuntut agar kesaksian yang relevan, akurat, dan jujur diterima, apapun jenis kelamin saksinya pada berbagai isu kehidupan selain akad pernikahan?
Lebih jauh, di dunia modern, perempuan bahkan telah menjadi hakim, jaksa, advokat, notaris, guru, penggerak masyarakat, pedangang, pengusaha, politisi, dan pejabat publik. Mereka memutuskan perkara besar, menandatangani kontrak multimiliar, dan memimpin lembaga negara. Mengapa dalam akad pernikahan—yang notabene ikatan dua insan saja—kesaksian mereka masih diperdebatkan? []