Mubadalah.id – Membaca berita kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah menimbulkan keprihatinan. Bandung Barat menjadi daerah dengan jumlah korban terbanyak.
Sejak 22 September 2025, ratusan siswa dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMK, mengalami gejala mual, muntah, sakit kepala, bahkan kejang setelah menyantap menu MBG.
Angka korban terus bertambah sampai Pemerintah Kabupaten Bandung Barat akhirnya menetapkan status Kejadian Luar Biasa agar penanganan bisa lebih cepat. Sejumlah dapur penyedia makanan tertutup sementara dan sampel makanan serta muntahan korban dikirim ke laboratorium. Rumah sakit dan posko kesehatan bersiaga untuk menampung lonjakan pasien.
Di Kalimantan Barat, 25 orang -24 siswa dan seorang guru – di Ketapang juga mengalami gejala keracunan seperti demam, mual, dan sakit perut. Sebagian besar korban sudah dipulangkan, tetapi beberapa masih dirawat. Laporan media lokal menyebut dugaan kontaminasi ikan sebagai penyebab, bahkan sempat menyebutkan kemungkinan kandungan merkuri tinggi.
Pemerintah daerah menanggung biaya perawatan seluruh korban, sementara BPOM Kalbar meneliti sampel makanan yang terkirim dari lokasi. Investigasi juga menemukan bahwa sebagian dapur penyedia MBG di wilayah ini belum memiliki izin usaha dan sertifikasi sanitasi yang memadai.
Makanan Tersaji tanpa Kontrol Mutu yang Ketat
Di Mamuju, Sulawesi Barat, peristiwa serupa terjadi di Kecamatan Tapalang. Dua puluh lima siswa SD dan SMP dilarikan ke puskesmas setelah makan siang MBG. Mereka mengalami gejala mual, pusing, muntah, dan sesak napas.
Sebagian siswa harus dirujuk ke rumah sakit di Kota Mamuju karena kondisinya kritis, meski belakangan mulai membaik. Hasil investigasi resmi belum ada pengumuman, tetapi perhatian publik mengarah pada kelayakan dapur penyedia di daerah tersebut.
Kasus berikutnya terungkap di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Sebanyak 314 siswa dari jenjang SD hingga SMA jatuh sakit usai menyantap makanan MBG. Sebagian besar korban sudah dipulangkan. Sementara dua puluh enam lainnya masih menjalani perawatan di rumah sakit. Detail penyebab belum terungkap, namun pola kejadiannya mirip dengan kasus di daerah lain: makanan tersajikan massal tanpa kontrol mutu yang ketat.
Rapuhnya Program MBG
Rangkaian kejadian ini menyingkap rapuhnya rantai penyelenggaraan makanan dalam program MBG. Permasalahan yang muncul tidak hanya soal teknis pengolahan, tetapi juga sistem pengawasan, keterampilan penjamah makanan, serta standarisasi kualitas bahan pangan. Ironisnya, program yang bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak justru menimbulkan risiko kesehatan baru.
Bagi saya, memasak menu sehat untuk keluarga adalah ikhtiar dan bagian dari cinta dan kasih sayang untuk membangun generasi yang lebih sehat. MBG, lebih dari sekadar masalah teknis, karena memberi makan anak-anak merupakan amanah besar yang menyangkut keselamatan generasi penerus.
Jika urusan dapur menjadi kebijakan publik, maka sesungguhnya dari setiap piring yang tersajikan adalah janji atas kesehatan dan masa depan mereka. Janji yang hanya bisa kita tepati dengan keseriusan, ketelitian, dan integritas penuh. []