Mubadalah.id – Kabar duka menyeruak di beranda media sosialku. Pipiet Senja telah wafat pada 29 September 2025. Dia meninggalkan jejak karya, termasuk nostalgia di masa remajaku, di masa abu-abu putih di Jombang Jawa Timur. Melalui ragam novelnya itu, aku menjadi penikmat baca, dan setiap kali ada teman santri yang punya novel baru Pipiet Senja, bisa kita pastikan akan beredar dari kamar ke kamar. Ya, kami bergantian membaca novelnya itu.
Salah satu novel Pipiet Senja yang melekat dalam ingatan adalah “Namaku Maysarah”. Penulisan novel ini terkemas dengan nuansa islami, dan mengambil kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sebagai inspirasi.
Novel Namaku Maysarah (2001) menceritakan tentang kisah May Ling, seorang dara Tionghoa asal Medan yang mengarungi hidup penuh kegetiran dan perjuangan bersama suaminya, Monang, pemuda muslim Batak. Ia harus berhadapan beragam persoalan mulai tradisi, politik, ekonomi hingga hidayah datang kepadanya.
Bagi kami para santri yang tinggal di bilik pesantren, dengan membaca novel ini jadi lebih memahami bagaimana tragedi Mei 1998 menjadi momok menakutkan bagi para perempuan keturunan Tionghoa. Pipiet Senja tak hanya penulis yang berbagi cerita, tetapi ia juga membuka cakrawala dan wawasan para santri saat itu, yang tak hanya mengenal belajar dan mengaji.
Pipiet Senja dalam Kenangan
Dalam obituari untuk Pipet Senja yang ditulis AS Laksana di laman Facebooknya, ia menuliskan “Serenda Pipit Senja”. Aku sependapat dengan AS Laksana, ketika membaca novel Pipiet Senja selalu membuat kita menangis, menarik-narik ingatan pada luka, lara, masa-masa kelam yang tak bisa terlupakan. Bahkan berapa jenak, lara itu mengendap lama, membuat kita layu dan kelu, tak sanggup melanjutkan membaca novel.
Berdasarkan obituari AS Laksana itu, nama asli Pipiet Senja adalah Etty Hadiwati Arief. Ia lahir di Sumedang, 16 Mei 1956, dan sejak remaja sudah akrab dengan dunia menulis. Hidupnya, sejak kecil, tertempa oleh penyakit thalassemia—kelainan darah yang membuatnya harus menjalani transfusi seumur hidup. Dokter pernah meramalkan usianya tak akan panjang. Tetapi Pipit bertahan, menulis, dan menjalani hidup dengan penuh perlawanan.
Orang tuanya berjuang keras. Ibunya menjual semua perhiasan mahar untuk biaya pengobatan, sementara ayahnya—seorang pejuang ’45—mengajak kawan-kawan seperjuangannya menyumbangkan darah. Dalam catatannya di usia 69 tahun, Pipit menulis, “Kubayangkan darah itu, kebanyakan dari prajurit TNI, sudah sekolam jika dikumpulkan, atau mungkin sedanau.”
Pipit menjalani masa rumah tangga yang tidak mudah. Ia tinggal serumah dengan mertua yang kerap menyesali pernikahan anaknya, sementara suaminya sering melakukan kekerasan. Namun dalam tubuh yang ringkih, ia tetap melahirkan dua anak: Haekal dan Azimattinur.
Ia juga mengalami masa-masa nyaris mati. Pada suatu malam tahun 1990, di ruang UGD yang penuh korban keracunan biskuit, tubuhnya sempat didorong ke arah kamar jenazah karena dianggap meninggal. Ia bangun saat brankarnya bergerak, membuat dua perawat yang mendorongnya lari ketakutan.
Menulis Tanpa Henti
Setelah pernikahannya berakhir pada 2013, Pipit semakin banyak menulis. Ia sering kesulitan mencari tempat yang tenang. Pernah, ia memilih tinggal sementara di masjid At-Tin, Taman Mini.
Ada kalanya orang asing memberinya nasi bungkus, mengira ia tunawisma. Pipit menerimanya dengan senyum, lalu makan sambil menangis. Bahkan ia bisa menertawakan diri sendiri: “Ternyata nikmat sekali nasi bungkus lauk tempe tahu ala kadarnya campur rasa asin air mataku sendiri.”
Rasa sakit, kesepian, juga keterbatasan mewarnai hidupnya. Namun yang lebih kuat adalah kegigihannya. Pipit menulis tanpa henti, mendirikan penerbitan, menjadi mentor menulis, dan hadir di berbagai forum penulis di dalam dan luar negeri. Mulai dari Mesir, Hong Kong, hingga Arab Saudi.
Pada akhirnya, ia tetap tidak pernah memiliki rumah sendiri. Pipit tinggal bersama anak-anaknya. Ketika tubuhnya kian ringkih, hatinya tetap penuh cahaya. Akhirnya Pipit tutup usia pada 29 September 2025, dalam usia 69 tahun.
Menulis Pengalaman Perempuan
Pipet Senja, satu di antara penulis yang menulis tentang pengalaman perempuan, adalah sesuatu yang langka. Karena ia tidak hanya menulis, tapi menyuarakan aspirasi kaum perempuan yang seringkali lirih bahkan tak terdengar. Ia tak muncul di ruang publik, karena seringkali menampilkan cerita internal relasi antar individu dan keluarga sehingga dianggap tabu untuk diperbincangkan.
Selain itu, meminjam catatan Simone de Beauvoir (1908-1986) dalam “Perempuan dan Kreativitas”, melalui buku antologi Hidup Matinya Sang Pengarang bahwa ada rintangan besar pada perempuan di setiap profesi -termasuk profesi sebagai penulis ini, yakni mereka tidak dibayar setinggi laki-laki. Mereka tidak diberi jabatan yang sama dalam kedudukan resmi yang sama. Bahkan, mereka gagal memperoleh bakat yang sama dengan laki-laki.
Bakat dalam pandangan Simone bukanlah sesuatu yang terbawa dari lahir, sama seperti predikat genius. Bakat adalah sesuatu yang kita peroleh melalui usaha, berani menghadapi kesulitan, berusaha mengatasinya dan dipaksa untuk tampil unggul. Barulah bakat akan terungkap, dan kesempatan ini tidak diberikan pada perempuan. Karena seringkali perempuan enggan untuk berpetualang di wilayah yang serba sulit, sementara tubuhnya terikat dengan berbagai bentuk kerja domestik yang terus berulang dan tak berkesudahan.
Perempuan Tangguh Itu
Pipiet Senja juga adalah satu di antara perempuan tangguh itu, yang memilih bertahan ketika hidup tak memberinya banyak pilihan. Bahkan meski ia menjadi penyintas kekerasan dalam rumah tangga, ia tetap memilih berjuang untuk hidup melalui dunia kepenulisan.
Kini ketika banyak orang mengenang dan menuliskan tentang kisah hidupnya, novel-novel yang pernah ia tuliskan menjadi kian hidup dan bernyawa. Jadi, meski raganya telah mati, semangat Pipiet Senja akan terus mengada dan abadi dalam ingatan banyak orang.
Sayangnya, hingga hari ini isu yang tergali oleh penulis perempuan seringkali dianggap tidak penting. Padahal ia adalah bagian yang tak pernah lepas dari kehidupan perempuan, sepanjang hayatnya, dari matahari terbit hingga tenggelam kembali di ufuk barat, perempuan terus berjibaku menyelesaikan tugas-tugas kemanusiaannya.
Karena itu pengalaman perempuan adalah sah sebagai basis pengetahuan. Diskriminasi terhadap perempuan dan karyanya menurut Prof. Aquarini jika melihat data ensiklopedia sastra Indonesia Kemendikbud RI, dari total 246 penulis yang terdaftar, hanya 40 penulis perempuan. Beberapa nama penulis perempuan bahkan tidak terdokumentasikan.
Maka, kita patut berterima kasih pada Pipiet Senja, terutama bagi generasi 90-an akhir dan 2000-an awal, ketika kita belum intens mengenal internet. Melalui novel karya Pipiet Senja, masa remaja kita menjadi penuh warna. Selamat jalan Pipiet Senja, semoga di Indonesia kelak akan lahir kembali penulis-penulis perempuan sepertimu, yang tak hanya menyuguhkan cerita, tapi juga narasi suara perempuan yang lantang, dan tak pernah patah arang. []