Mubadalah.id – Terminasi adalah istilah medis dari aborsi. Meskipun sekilas terlihat sama prosesnya, tetapi terminasi dan aborsi memiliki satu perbedaan yang mendasar yaitu terminasi prosesnya melibatkan tenaga medis.
Pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 61 Tahun 2014 mengatur bahwa aborsi adalah tindakan terlarang dan hanya boleh terjadi jika ada kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu, atau kehamilan akibat perkosaan.
Meskipun ada celah kebolehan terminasi, tindakan pengambilan janin sebab pengecualian ini juga ikut mendapat stigma negatif di Indonesia. Masyarakat menilai bahwa terminasi sama dengan tindakan aborsi yang kejam; sengaja membunuh seorang anak dalam kandungan. Sekarang mari kita lihat bagaimana peraturan terminasi berjalan normal di Islandia.
Hampir Tidak Ada Kelahiran Down Syndrome di Islandia
Down syndrome adalah kondisi kromosom janin yang tidak berkembang sempurna. Normalnya, janin memiliki 23 kromosom yang kemudian membelah jadi 2 per kromosomnya, menjadi 46. Namun pada janin down syndrome terdapat pembelahan yang tidak sempurna pada kromosom 21, menjadi 3 bagian (trisomi).
Nah, dari kelainan tersebut, sangat besar potensi kecacatan fisik dan mental pada janin. Di antara resikonya adalah sekitar 40 persen down syndrome mengalami masalah jantung, pencernaan, dan imun sehingga rentan terkena infeksi.
Dalam perkembangan kognitifnya juga berpotensi memiliki masalah keterlambatan bicara dan keterlambatan perkembangan IQ. Selain itu, tantangan nyata juga terdapat pada stigma sosial yang berpotensi mempengaruhi perkembangan mental.
Ada satu fakta menarik di beberapa negara di Eropa, yaitu minimnya kelahiran bayi down syndrome. Islandia sendiri mencatatkan nol kelahiran down syndrome pada tahun 2023. Di Islandia, tim medis melakukan terminasi pada hampir semua janin yang terdiagnosis down syndrome sekitar pada minggu ke 11 sampai 13 kehamilan.
Negara lainnya yang sangat minim kelahiran down syndrom adalah Denmark. Tingkat penghentian kehamilan down syndrome juga sangat tinggi hingga lebih dari 90 persen setelah adanya diagnosis. Sedangkan di Australia dan Inggris tingkat penghentian kehamilan down syndrome sekitar 90 persen. Peneliti Amerika Serikat memperkirakan sekitar lebih dari 60 persen terminasi janin down syndrome terjadi.
Respon Global Tentang Terminasi Janin Down Syndrome
Proses terminasi di Islandia bermula pada proses screening prenatal. Islandia termasuk negara pertama yang mempraktekkan screening prenatal dan pertama kali mulai menawarkannya pada ibu hamil pada tahun 2003.
Screening prenatal adalah teknologi deteksi dini kondisi janin menggunakan tes darah untuk melihat kadar protein dan hormon tertentu. Tes ini bisa juga menggunakan metode USG nuchal translucency untuk mengukur ketebalan cairan di belakang leher janin.
Bagi pemerintah Islandia, kebijakan terminasi bukanlah bertujuan untuk “menghapus” kelahiran manusia dengan down syndrome. Alasan utamanya adalah untuk memberikan pilihan kepada orang tua berdasarkan informasi medis yang lengkap. Setelah mendapat penjelasan medis, hampir seluruh orang tua melakukan terminasi.
Saya kira, kalian juga berpikir, “tega banget memilih terminasi daripada melahirkan dan membiarkannya hidup”. Fenomena terminasi di Islandia juga jadi diskusi hangat para tokoh dari berbagai bidang keilmuan di dunia. Diskusinya tidak jauh dari antara hak asasi manusia dan hak ibu menentukan kehamilannya.
CEO Down Syndrome Australia, berpendapat bahwa tindakan ini perlu refleksi untuk mempertimbangkan susunan masyarakat. Kemudian pada tingkat makro, menentang kelahiran down syndrome sama dengan menyempitkan keberagaman dalam suatu komunitas.
Bayangkan saja kalau dunia tidak ada keberagaman di dunia ini, tidak ada orang dengan kemampuan dan disabilitas yang berbeda. Akan mengecewakan melihat keragaman dan kekayaan komunitas di dunia ini menghilang. Begitulah tanggapan dari pegiat komunitas difabel.
Dominic Wilkinson, profesor etika medis di Universitas Oxford mengatakan bahwa tidak pernah menemukan orang tua yang dengan mudah membuat keputusan terminasi. Bukan tidak ada hati nurani, tetapi terlaksananya terminasi adalah kombinasi dari pemerintah yang melegalkan, masyarakat yang terbuka, dan tim medis yang memberikan opsi screening prenatal pada setiap perempuan yang mengandung janin down syndrome.
Di Indonesia Bagaimana?
Islandia bukan Indonesia. Kultur, agama, dan warisan budaya membentuk karakter masyarakat yang berbeda. Tapi tentu saya sangat miris melihat maraknya aborsi ilegal yang menandakan kurangnya implementasi nilai agama dalam hidup. Ya, aborsi yang legal jadi suatu yang tabu, tapi aborsi ilegal merajalela di mana-mana.
Meskipun terdapat pengecualian tentang kebolehan terminasi, tetapi pasal tersebut masih tidak spesifik menyebutkan bagaimana kondisi membahayakan yang menyebabkan legalnya terminasi.
Di Indonesia, berfokus pada nyawa ibu, sehingga terminasi janin sebab down syndrome berbenturan dengan kode etik dokter. Tapi coba deh berpikir bahwa janin bukan hanya memiliki hak untuk hidup, tetapi juga hak untuk hidup layak.
Karena down syndrome di Indonesia bukan sebuah alasan melakukan terminasi, maka seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dan memberikan dukungan kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan pendidikan, pengakuan, pekerjaan, hak warga negara yang setara dan tidak termarjinalkan. Berat memang, tapi begitulah pilihan.
Fokusnya adalah pada perawatan anak dan dukungan psikologis bagi keluarga dalam membesarkan anak down syndrome. Sejauh ini, terminasi di Indonesia tidak terjadi sebab janin down syndrome, tetapi pertimbangan pada keselamatan ibu.
Tulisan ini bukan bergerak sebagai ajakan menormalisasi terminasi, ya. Tapi coba deh berpikir bahwa janin bukan hanya memiliki hak untuk hidup, tetapi juga hak untuk hidup layak. Pilihan melahirkan anak down syndrome atau dengan disabilitas lain juga berarti memberikan fasilitas yang menunjang kualitas hidupnya.
Mereka berhak mendapatkan pendidikan, pengakuan, pekerjaan, hak warga negara yang setara dan tidak termarjinalkan. Berat memang, tapi begitulah pilihan. []