Mubadalah.id – Salah satu rukun iman yang wajib kita yakini adalah adanya surga dan neraka. Surga diyakini sebagai tempat segala kenikmatan bagi orang beriman dan beramal saleh, sementara neraka menjadi tempat kesengsaraan bagi mereka yang ingkar.
Namun, menarik untuk dicermati bahwa ketika kita membaca surga dalam banyak teks klasik Islam—baik dalam tafsir maupun kitab hadis—narasi yang muncul sering kali berpusat pada laki-laki sebagai subjek utama kenikmatan.
Surga digambarkan sebagai tempat di mana laki-laki mendapatkan pelayanan dan kepuasan sempurna, baik spiritual maupun sensual. Sedangkan, sosok perempuan hampir tak tampak sebagai penerima kenikmatan yang setara.
Deskripsi Surga yang Maskulin
Dalam teks-teks Arab klasik, termasuk karya-karya awal seperti Shifat al-Jannah karya Ibnu Abi ad-Dunya (w. 281 H/894 M) hingga karya modern seperti Nisa’ Ahl al-Jannah oleh Muhammad Ali Abu al-Abbas, surga ia gambarkan secara sangat maskulin.
Misalnya, disebutkan bahwa seorang laki-laki mukmin di surga akan memperoleh kekuatan untuk berhubungan dengan seratus perawan dalam satu hari.
Ia akan “dinikahkan” dengan ribuan perempuan baik perawan, janda, maupun bidadari yang semuanya digambarkan muda, cantik, harum, dan sepenuhnya mengabdi untuk melayani keinginan laki-laki.
Di sisi lain, hampir tidak menemukan deskripsi yang sepadan tentang kenikmatan surga bagi perempuan mukmin. Tidak ada penjelasan tentang siapa yang menjadi pendamping perempuan di surga, atau bagaimana bentuk kenikmatan yang akan mereka dapatkan.
Seolah-olah, surga hanya menjadi ruang kebahagiaan bagi laki-laki, sementara perempuan kembali menjadi pelengkap, bahkan di kehidupan abadi.
Maka, di sinilah pentingnya pembacaan ulang seperti pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah.
Menurutnya, persoalan ini muncul karena bias patriarkis dalam tradisi tafsir dan hadis klasik yang lebih banyak dibangun oleh pengalaman dan imajinasi laki-laki.
Kiai Faqih menegaskan bahwa sebagaimana laki-laki, perempuan juga adalah subjek penuh dari ayat-ayat tentang iman, amal saleh, dan ganjaran surga. Ia menulis:
“Jika semua ulama sepakat bahwa ayat-ayat tentang keimanan dan amal saleh menyapa laki-laki dan perempuan secara bersamaan, maka kesadaran itu juga harus berlaku hingga pada deskripsi tentang kenikmatan surga. Surga bukan hanya milik laki-laki, melainkan juga tempat perempuan memperoleh segala kenikmatan yang paripurna.”
Perempuan Menikmati Surga
Dengan pendekatan mubadalah, Kiai Faqih menawarkan cara pandang baru: jika laki-laki di surga memperoleh kenikmatan berupa bidadari. Maka perempuan juga berhak memperoleh bentuk kenikmatan yang setara. Termasuk kemungkinan adanya bidadara atau kenikmatan yang sepadan dengan kodrat dan kebutuhannya.
Pendekatan ini bukan soal membayangkan surga dalam wujud jasmani semata. Melainkan mendekonstruksi cara berpikir yang menyingkirkan perempuan sebagai penerima nikmat surga.
Bahkan, surga dalam al-Qur’an, adalah tempat pembalasan yang adil dan menyenangkan bagi semua orang beriman—tanpa kecuali, tanpa diskriminasi jenis kelamin. []