Mubadalah.id – Islam adalah agama yang menolak keras setiap bentuk pandangan yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Baik dalam tafsir keagamaan maupun dalam praktik sosial.
Karena selama ini banyak narasi keagamaan yang sangat patriarkis—misalnya pandangan bahwa perempuan adalah penyebab turunnya manusia ke bumi, atau bahwa mayoritas penghuni neraka adalah perempuan.
Pandangan semacam ini, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah, bukanlah ajaran Islam. Melainkan hasil konstruksi sosial dan tafsir yang tidak berpijak pada prinsip keadilan ilahi.
Kiai Faqih menulis bahwa seseorang masuk surga atau neraka bukan karena jenis kelaminnya. Melainkan karena keimanan dan amal perbuatannya.
Jika ada teks hadis yang menyebut perempuan sebagai penghuni neraka karena tidak bersyukur kepada suaminya. Maka secara mubadalah, laki-laki yang tidak bersyukur kepada istrinya juga patut mendapatkan konsekuensi serupa.
Dengan cara pandang ini, mubadalah mengembalikan makna teks ke dalam konteks moral universal bahwa iman dan akhlak adalah dasar penilaian Tuhan. Bukan jenis kelamin atau status sosial.
Konteks Sosial dalam Hukum Islam
Salah satu hal yang sering disalahpahami adalah ayat-ayat tentang perbandingan “dua banding satu” dalam warisan dan persaksian. Banyak yang memahami ini sebagai bukti bahwa Islam menilai laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Faqih, aturan tersebut bersifat kontekstual, bukan absolut.
Pada masa turunnya wahyu, struktur sosial masyarakat Arab menempatkan laki-laki sebagai pihak yang menanggung kebutuhan ekonomi keluarga. Sehingga secara logis, tanggung jawab dan porsi warisan mereka lebih besar.
Namun, dalam konteks sekarang, di mana banyak perempuan yang berperan aktif dalam ekonomi. Bahkan menjadi tulang punggung keluarga, logika tersebut perlu ditinjau ulang.
Maka, tafsir mubadalah mengajak kita untuk melihat hukum-hukum fikih dengan prinsip keadilan. Di mana porsi, peran, dan tanggung jawab ditentukan oleh kapasitas dan kemampuan, bukan oleh jenis kelamin.
Islam, dalam semangat awalnya, tidak pernah memberi beban atau hak kepada seseorang hanya karena ia laki-laki atau perempuan. Melainkan karena tanggung jawab dan amanah yang mampu ia pikul. []