Mubadalah.id – Dalam logika mubadalah, surga bukanlah ruang “kepemilikan” bagi laki-laki, melainkan tempat bagi seluruh hamba yang beriman.
Karena itu, narasi tentang kenikmatan surga yang hanya ditujukan bagi laki-laki bukan saja merupakan tafsir yang keliru, tetapi juga memiliki dampak sosial nyata. Ia memperkuat budaya patriarki yang menempatkan perempuan semata sebagai objek kenikmatan, bukan subjek spiritual yang setara di hadapan Tuhan.
Dalam konteks ekstrem, ia bisa memotivasi untuk melakukan kekerasan. Sebagaimana dalam kasus terorisme yang mereka yakini akan menjemput bidadari surga.
Padahal dalam konteks sosial-keagamaan, ia justru melanggengkan ceramah-ceramah yang menormalisasi subordinasi perempuan.
Lebih jauh, pemaknaan sempit tentang surga ini memperlihatkan betapa seksualitas laki-laki sering diberi ruang legitimasi teologis. Sementara seksualitas perempuan tetap dibungkam, dipertanyakan, atau bahkan disalahkan.
Padahal, jika kita kembali pada nilai dasar Islam sebagaimana dalam al-Qur’an, surga justru Tuhan berikan kepada setiap mukmin, laki-laki maupun perempuan, atas dasar amal saleh dan ketakwaan. Firman Allah dalam QS. An-Nisa:124 menegaskan:
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka mereka akan masuk surga dan mereka tidak akan merugi sedikit pun.”
Ayat ini jelas menghapus dikotomi kenikmatan berbasis jenis kelamin.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menata ulang pemahaman tentang surga dengan kacamata keadilan gender. Kita harus berani mengkritik tafsir patriarki.
Sebab dengan membaca kitab-kitab klasik bukan berarti menolak seluruh isinya, tetapi memerlukannya dengan konteksnya.
Sebagaimana pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan Bukan Makhluk Domestik bahwa tugas kita hari ini bukan sekadar mengulang teks, tetapi menafsirkannya ulang agar sejalan dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia. []