Mubadalah.id – Bulan kemarin, tepatnya pada 21 Oktober 2025 saya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh LP2M UIN SSC. Isu yang diangkat adalah mengenai hak-hak difabel. Hal menarik dalam kegiatan ini sebuah pernyataan salah satu narasumber, bahwa generasi hari ini Gen Z punya peranan penting untuk mempopulerkan kesetaraan disabilitas di era digital.
“Memang seharusnya Gen Z berperan membumikan isu difabel di media sosial”. Ujar Ibu Masriah selaku ketua PGSAD UIN Siber.
Dengan kemampuan Gen Z dalam menguasai ruang sosial, baik melalui tulisan maupun konten digital. Mereka bisa menghadirkan manfaat bagi semua kalangan, bukan sekedar mengejar FOMO yang tidak berfaedah.
Media Sosial Punya Kekuatan
Media sosial menjadi wadah bagi difabel untuk berekspreksi dan menunjukan potensi mereka. Platform digital ini memiliki kekuatan luar biasa untuk menyuarakan inklusi.
Media sosial juga mengingatkan kita bahwa mereka tidak perlu kita kasihani. Melainkan, mereka layak mendapat penghormatan dan perlakuan yang setara.
Membangun dan meningkatkan kapasitas difabel di media sosial juga bisa kita manfaatkan sebagai sarana advokasi pemenuhan fasilitas hak-hak disabilitas. Salah satu contohnya seperti alat bantu adaptif.
Penyebutan Disabilitas
Menurut Direktur SAPDA, Nurul Sa’adah Andriani, penyebutan “tuna” ataupun “cacat”, mengandung makna negatif yang berarti “kerusakan” atau “kehilangan”.
Diksi tersebut seakan-akan merujuk pada kekurangan seseorang dari segi fisik atau kemampuan. Padahal, penyebutan yang baik dan benar terhadap difabel sangat penting untuk membangun rasa hormat dan kesetaraan.
Sebab, istilah yang kita pilih bukan hanya sekadar kata, melainkan juga bentuk penghargaan atas martabat manusia.
Kebijakan Tentang Hak Penyandang Disabilitas
Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dunia usaha, serta masyarakat luas masih perlu melakukan upaya kolektif untuk mengimplementasikan UU tersebut.
Media sosial berperan besar dalam menyebarkan kesadaran ini. Melalui kampanye digital, diskusi publik, hingga gerakan solidaritas, masyarakat bisa memulai langkah menciptakan sistem sosial yang adil dan setara dengan menggunakan istilah yang tepat.
Pada akhirnya, media sosial bukan hanya menjadi ruang hiburan, tetapi juga sarana perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan hak bagi seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas.
UU Nomorr 19 Tahun 2011 mengatur hak-hak penyandang disabilitas. UU tersebut menyatakan bahwa penyandang disabilitas harus dianggap setara dengan individu lainnya.
Beberapa hak tersebut antara lain: Hak kesetaraan dan Non-Diskriminasi, Hak Aksebilitas, Hak untuk hidup, Hak peningkatan kesadaran, serta Hak kebebasan dari eksploitasi dan kekerasan.
Saatnya Menggunakan Istilah yang Menghargai
Banyak komunitas dan aktivis disabilitas kini memanfaatkan platform digital untuk mengedukasi publik mengenai inklusi dan aksebilitas. Mereka menyuarakan pentingnya inklusi dan aksesibilitas.
Dengan dukungan luas dari pengguna internet. Aktivis dan komunitas disabilitas bisa menyebarkan pesan kesetaraan dengan lebih cepat dan luas melalui media sosial.
Bahasa adalah cermin cara berpikir. Jika masyarakat mampu menggunakan istilah yang menghargai penyandang disabilitas, maka dari itu menandakan adanya perubahan paradigma menuju masyarakat yang inklusif.
Perubahan ini mengarah pada masyarakat yang lebin inklusif. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan pengakuan, kesempatan, dan penghormatan yang sama.
Dengan demikian, kita menunjukan komitmen membangun peradaban yang berkeadilan dengan menggunakan istilah “penyandang disabilitas”. []












































