Mubadalah.id – Di tengah semangat kampanye inklusi yang makin marak, saya kadang merasa ada yang hilang. Kita sibuk membuat slogan tentang “aksesibilitas” dan “ramah disabilitas”, tapi masih menatap mereka dengan rasa kasihan. Kita menuntut sistem berubah, tapi jarang mengubah cara kita memandang.
Disabilitas, akhirnya, tetap menjadi identitas yang membatasi, bukan ruang yang memperkaya. Barangkali, yang perlu kita ubah bukan hanya sistemnya, tapi juga cara hati kita memahami manusia terutama dalam cara kita melihat isu disabilitas di Indonesia.
Model Pandangan
Selama ini, pandangan terhadap penyandang disabilitas sering terbelah menjadi dua: model medis dan model sosial .
Model medis melihat disabilitas sebagai “kekurangan” individu yang harus diperbaiki lewat pengobatan atau terapi. Sedangkan model sosial menegaskan bahwa disabilitas lahir dari hambatan masyarakat dari trotoar yang tak ramah, kebijakan yang diskriminatif, hingga tatapan yang menyingkirkan.
Kedua pendekatan ini punya nilai, tapi juga keterbatasan. Model medis memberi perhatian pada kebutuhan fisik, namun sering melupakan konteks sosial dan psikologis. Model sosial memperjuangkan keadilan sosial, namun kadang meniadakan realitas tubuh yang tetap membutuhkan dukungan medis. Di sinilah pentingnya cara pandang baru: pendekatan holistik disabilitas.
Pendekatan ini mengajak kita melihat manusia secara utuh tubuh, jiwa, lingkungan, dan spiritualitasnya. Ia tidak memisahkan antara kebutuhan medis dan sosial, karena keduanya saling terkait.
Penyandang disabilitas bukanlah objek belas kasihan, tetapi subjek yang punya hak, kehendak, dan potensi. Mereka tidak butuh dikasihani, tapi diakui; tidak ingin disembuhkan agar “normal”, tapi diterima agar setara. Inilah inti dari masyarakat inklusif yang sejati.
Pandangan Islam Terhadap Isu Disabilitas
Dalam Islam, prinsip ini sejalan dengan nilai Mubadalah, kesalingan dan keadilan antar sesama manusia. Kesalingan berarti kita saling menopang, bukan saling menilai. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah karena perbedaan kemampuan fisik.
Pendekatan holistik disabilitas yang berlandaskan nilai Mubadalah menuntun kita untuk membangun masyarakat inklusif yang bukan sekadar ramah, tapi benar-benar adil dan berempati.
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan dengan fitrah dan potensi yang unik. Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, termasuk keberagaman kemampuan manusia. Maka ketika kita menutup ruang bagi penyandang disabilitas, sejatinya kita sedang menolak sebagian dari rahmat Allah yang hadir melalui mereka. Dalam perspektif Islam tentang disabilitas, menghormati sesama manusia apapun keadaannya berarti menghormati Sang Pencipta.
Bayangkan jika prinsip ini benar-benar hidup di keseharian kita: masjid menyediakan jalur kursi roda bukan karena “kasihan”, tapi karena sadar semua berhak mendekat pada Tuhan; sekolah menerima siswa disabilitas bukan karena “kewajiban”, tapi karena percaya bahwa keberagaman adalah bagian dari belajar tentang kemanusiaan.
Inklusi sejati bukan hanya tentang fasilitas, tapi tentang cara kita menumbuhkan kasih, kesalingan, dan kesetaraan dalam kemanusiaan.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai langkah maju menuju keadilan sosial. Namun implementasinya sering terjebak di antara dua kutub: terlalu medis dalam praktik, dan terlalu simbolik dalam sosial.
Pendekatan holistik disabilitas menawarkan jalan tengah dengan menggabungkan aspek kesehatan, keadilan sosial, serta nilai-nilai spiritual kemanusiaan yang sejalan dengan ajaran Islam.
Pada akhirnya, perjuangan ini bukan sekadar soal aksesibilitas, tapi soal cara kita memahami manusia. Pendekatan holistik bukan teori baru, melainkan cara lama untuk melihat dengan hati. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap keterbatasan, ada kekuatan; di balik setiap perbedaan, ada ruang saling belajar.
Dan mungkin, kesembuhan yang sejati bukan terletak pada tubuh yang pulih melainkan pada masyarakat yang akhirnya mampu memahami. []









































