Mubadalah.id – Miris. Perundungan lagi dan berakhir dengan luka yang tidak pernah sembuh bahkan berakhir tragis.
Sebagai seorang guru perempuan, seorang ibu, berulang kali kisah dan cerita tentang perundungan singgah di meja lalu menjadi beban pikiran yang sukar terurai. Hingga satu buah pertanyaan saya cetuskan kepada pelaku.
“Hai, apakah dengan merundungnya kamu bahagia?”
Pelaku tertunduk, seolah berpikir apa jawabannya yang bisa diterima secara logika, tetapi dia diam. Memastikan jika pertanyaan itu berdampak padanya maka dia akan berubah dan berhenti membully.
Bu, kemarin baca kan kasus Bullying pada seorang mahasiswa yang berakhir tragis. Sudah terluka malah diledek otomatis mental semakin down.
Kenyataannya, seringkali korban perundungan belum tentu memiliki kapabilitas yang bisa membuat orang iri, tidak memiliki hal keren lainnya yang membuatnya lebih unggul daripada lawan. Jadi, bugh! Perundungan membuat nasib korban menjadi malang.
Benarlah kata Kasandra Putranto seorang Psikolog Klinis bahwa perundungan terjadi karena ada distribusi kekuasaan dan kekuatan yang tak imbang diantara pelaku bullying dan pihak yang dibully. Betul, itu Bu. Kalau kekuatan imbang itu namanya bukan perundungan tapi gelutan (perkelahian).
Merambah di Lingkungan Pendidikan
Perundungan juga semakin merambah ke dalam lingkungan sekolah, kampus, bahkan lingkungan masyarakat lainnya. Anak-anak yang notabenenya merasa digdaya akan membully temannya yang dianggap aneh, nyentrik, jelek (secara fisik), tidak satu kelompok, bahkan mereka yang terkenal nakal luar biasa juga tidak luput dari perundungan. Kok bisa? Karena mereka membawa habit dari luar sekolah dan menggunakannya di sekolah.
Bagaimana kalau mereka di rumah adalah anak ‘baik-baik’? Maka di manapun selain sekolah dia adalah korban bullying dari sistem kuasa yang lebih tinggi darinya. Ketika dia masuk sekolah ternyata dia menjadi sistem kuasa yang kuat di sana, maka dia praktis meniru. Ingat! Bullying itu tumbuh karena meniru.
Contoh kasus, di sekolah ada seorang anak perempuan yang selalu jadi korban bullying anak laki-laki. Semua guru praktis menghukum pelaku. Padahal notabenenya mereka murid yang level kenakalannya biasa, sedang hingga tidak nakal sama sekali. Lho, kenapa bisa begitu?
Mereka meniru!
Jadi, si korban ini seringkali tanpa hujan tanpa angin, maaf, menyentuh kemaluan korban saat mereka berpapasan. Sedangkan pelaku tidak melakukan apapun hanya diam tapi “dilecehkan”. Normalnya, hal ini akan memicu amarah, kan?
Maka terjadilah, para pelaku yang tadi dikerjai sama korban bekerjasama dengan pelaku lain untuk balik mengerjai korban. Ingat! Meniru! Balas membalas! Meskipun ini tidak bisa kita benarkan, walaupun tindakan korban menjengkelkan.
Maka, masih menurut Kasandra adalah, Pelaku bullying ini memiliki keterbatasan dalam kecerdasan emosi. Mereka harus kita dekati dengan mempererat hubungan kekeluargaan. Begitu pula korban bullying.
Efek di dalam diri mereka mengatasi dampak bullying juga berbeda-beda, karena mereka juga memiliki kemampuan meminimalisir dampak negatif dalam diri mereka yang juga berbeda. Intensitas Bullying yang diterima juga menjadi satu poin penting yang harus kita cermati ketika memandang perbedaan dampak itu pada korban.
Apapun itu, perundungan tidak boleh kita biarkan. Muda, tua, jelek, cantik, kaya, miskin, semua adalah klasifikasi dalam hidup yang seharusnya tidak menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain, kan?
Jika pada akhirnya perundungan ini tetap tidak bisa hilang setidaknya kita, sebagai ibu, sebagai perempuan bersama laki-laki, sebagai penjaga generasi sudah berusaha menjadi pengawal dan pengawas yang mencegah itu, kan? Karena setelah ikhtiar, kata para pemuka agama maka ada tahapan untuk bertawakal.
Ingat baik-baik jargon berikut :
“Apakah dengan merundungku kau bahagia?”
“Semua orang berhak bahagia, termasuk aku! Tapi, tidak dengan cara perundungan terhadap orang lain!”
Stop Bullying! Mari tingkatkan kecerdasan emosi kita! Karena tidak selamanya realitas akan berkhianat. []