“Benarkah Pezina Perempuan Disebut Lebih Awal dalam al-Qur’an, karena Ia yang Mengawali dan Menggoda?”
Mubadalah.id – Selasa sore kemarin, setelah selesai perhelatan Kongres Ulama Perempuan untuk Pemenuhan Hak-hak Disabilitas di Indonesia, datang seorang akademisi mengajak ngobrol santri Mubadalah.
Akademisi: “Kau tahu, saya sedang merenungi satu hal menarik dari Al-Qur’an. Mengapa dalam surat an-Nur ayat kedua, Allah berfirman ‘az-zāniyatu waz-zānī’ — menyebut pezina perempuan lebih dulu daripada pezina laki-laki? Bukankah ini menunjukkan bahwa perempuanlah yang sering mengawali perzinaan dengan menggoda para laki-laki?”
Santri: “Emang ada di Qur’an keterangan kayak gitu?”
Akademisi: “Ya, ayatnya jelas di situ, surat an-Nur ayat kedua.”
Ayat tentang Zina
Santri: “Saya tahu ayatnya. Maksud saya, apakah ayat itu sendiri bilang: karena perempuan yang mengawali zina dan menggoda para laki-laki, maka disebut lebih dulu? Ada begitu?”
Akademisi: “Hehe, kalau ungkapan begitu sih enggak ada. Itu tafsirnya. Banyak di berbagai narasi ceramah juga.”
Santri: “Nah, berarti bukan dari Qur’an, tapi dari manusia sang penafsir atau penceramah. Bisa jadi, penafsir melihat banyak perempuan yang tampak ‘menggoda’ atau ‘mengawali’. Tapi ia belum melihat sisi lain dari kenyataan.”
“Tidakkah kamu lihat bahwa yang membuat perempuan sering tampak seperti itu justru karena tekanan sosial dan ekonomi yang laki-laki kuasai? Yang merekrut perempuan untuk menjadi pekerja seks siapa? Lalu yang membangun bisnisnya siapa? Yang menjadi bos, pengendali, bahkan pelindungnya siapa? Kebanyakan laki-laki. Bahkan, laki-laki juga, pada praktiknya banyak yang menjadi orang yang menggoda, mengawali, mengajak, dan menjerumuskan. Jadi siapa yang sebenarnya memulai?”
Akademisi: “Iya, kalau terlihat begitu, memang perempuan sering jadi korban. Tapi kenapa Qur’an tidak menyebut laki-laki dulu, kalau memang realitasnya seperti itu?”
Santri: “Qur’an itu bukan sekadar catatan kronologis. Ia kitab petunjuk (hudā), bukan laporan urutan kejadian. Sesuatu yang tersebut al-Qur’an duluan, bukan berarti ia harus yang datang duluan secara kronologis. Surat al-Fatihah itu pertama disebut dalam Mushaf, tetapi yang turun duluan adalah Iqra. Bisa jadi, dalam pandangan tafsir saya, perempuan disebut lebih awal adalah untuk mengingatkan bahwa mereka yang paling tampak terluka.
Membaca al-Qur’an dengan Mubadalah
Bisa jadi, Qur’an menyebut az-zāniyatu (pezina perempuan) baru waz-zānī (pezina laki-laki), bisa jadi karena yang paling tampak direndahkan, disalahkan, dan menjadi objek dari dosa sosial itu adalah perempuan. Ia disebut duluan justru agar kita menaruh perhatian lebih — bukan untuk menyalahkannya, tapi untuk melindunginya.”
Akademisi: “Jadi menurutmu, penyebutan itu bukan bentuk tuduhan, tapi panggilan empati?”
Santri: “Ya. Begitu cara membaca Qur’an dengan hati yang mubadalah. Membaca ayat bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi bagaimana agar relasi menjadi adil dan saling menjaga. Kalau dalam zina, keduanya salah, tapi struktur sosial sering menimpakan beban hanya pada perempuan. Qur’an justru datang untuk menegakkan keseimbangan itu.”
“Dalam surat yang sama, Qur’an menegaskan hukum bagi keduanya — waz-zāniyatu waz-zānī fajlidū kulla wāḥid minhumā — tidak satu pun diistimewakan. Tidak ada pembenaran bahwa laki-laki lebih ringan dosanya. Tapi masyarakat kita sering membaliknya. Laki-laki kita maafkan, perempuan kita hina. Padahal Qur’an tidak pernah mengajarkan begitu.”
Akademisi: “Luar biasa. Jadi kamu membaca ayat ini bukan dalam logika siapa duluan, tapi siapa yang perlu kita pulihkan?”
Santri: “Betul. Kalau kita belajar dari semangat rahmah dan mubadalah, ayat ini justru memanggil kita untuk menegakkan perlindungan bagi perempuan. Agar kita tidak lagi membiarkan sistem sosial yang menjadikan mereka rentan, kita paksa, atau terjebak dalam lingkar dosa yang tidak mereka pilih.”
Tafsir Mubadalah
Akademisi: “Apakah ada dukungan ayat lain yang bisa mendampingi (munasabah) terhadap ayat an-Nur ini untuk menguatkan tafsir Mubadalah ini?”
Santri: “Ada, an-Nisa ayat ke-75 meminta kita untuk berjihad melindungi orang-orang yang lemah dan dilemahkan (mustad’afin), baik dari kalangan laki-laki, perempuan, maupun yang masih anak-anak. Dalam kasus-kasus seksual, yang lemah dan dilemahkan secara sosial adalah perempuan dan anak-anak, yang harus diperhatikan, dilindungi dan dibela, bahkan dengan jihad kita.”
“Hari ini, banyak perempuan yang masih kita salahkan atas dosa yang kita lakukan secara kolektif. Padahal dosa sosial itu jarang lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari ketimpangan yang harus kita ubah bersama. Jadi, siapa yang memulai berdosa bukan pertanyaan pentingnya. Tapi siapa yang mau berhenti dan memperbaiki — itulah ujian sejati keimanan kita.”
Akademisi: “Wah, makasih banyak Kang. Apakah tafsir seperti ini juga berlaku untuk dosa pencurian, di mana Surat Al-Maidah ayat ke-38 menyebut laki-laki perncuri lebih awal dari perempuan pencuri?”
Santri: “Wah, sudah dulu, Oktober ini ada momentum hari santri. Kita tutup dulu, besok ada puncak peringatan hari santri dulu, semoga tidak lambat. Kita sambung lagi soal pencuri laki-laki itu. Selamat hari santri ya!”
Akademisi: “Ya, momentumnya masih bulan Oktober, selamat hari santri, sekali lagi makasih, ini pas di bulan hari santri he he he”. []












































