Mubadalah.id – Di lingkungan yang didominasi laki-laki dengan profesi pekerjaan yang dianggap “keras”, perempuan sering menghadapi dilema yang melelahkan. Mereka berusaha tampil profesional, namun tetap harus memenuhi ekspektasi sosial yang timpang. Ironisnya, sebagian perempuan justru ikut melanggengkan budaya maskulin toksik yang merugikan mereka sendiri.
Beberapa perempuan menganggap lembur berlebihan sebagai bukti dedikasi, walau tubuh sudah menolak. Seperti pengalamanku, tetap lanjut kerja lembur walaupun sedang sakit kepala akibat datang bulan. Ada pula yang membenarkan sikap senior laki-laki yang lebih mempercayakan pekerjaan teknis pada rekan sesama laki-laki, seolah kemampuan perempuan masih belum layak.
Beberapa mungkin menyadari, namun tidak bisa bersuara karena jumlah perempuan yang minoritas. Dalam percakapan ringan, komentar seperti “iya perempuan kan nggak pernah salah” kerap kali terdengar. Candaan itu tampak sepele, tetapi menyembunyikan ketimpangan yang nyata akibat maskulin toksik.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana internalisasi patriarki bekerja secara halus. Perempuan tidak hanya menjadi korban, sebagian juga ikut menjaga sistem yang menindas mereka. Ketika sesama perempuan menilai bahwa “begitulah cara kerja dunia engineering,” mereka tanpa sadar memperkuat sistem patriarki.
Mengurai Akar Maskulin Toksik: Patriarki dan Bias Gender
Budaya maskulin toksik tumbuh dari pandangan bahwa kekuatan berarti dominasi dan ketegasan tanpa empati. Di dunia profesional, nilai itu menjelma menjadi tuntutan untuk selalu siap, bekerja totalitas, dan agaknya menjauh dari hal-hal yang mencerminkan lembut atau feminim. Empati dicap sebagai kelemahan, sementara bekerja dengan all out dianggap bukti loyalitas. Tuntutan ini adalah manifestasi lain dari tekanan maskulin toksik.
Sebagian perempuan ikut menilai dirinya dengan ukuran yang sama. Mereka menahan kelelahan, menertawakan rekan yang “terlalu sensitif,” atau diam saat kebijakan tidak adil terjadi. Banyak yang memilih diam dan menyesuaikan diri karena takut tidak dianggap sebagai bagian dari lingkungan kerja atau tidak profesional.
Di sisi lain, sebagian tafsir keagamaan sering memberi pembenaran pada struktur timpang, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…..” Q.S. An-Nisa: 34, tentang qawwamun kerap dibaca sebagai legitimasi kepemimpinan mutlak laki-laki.
Padahal, dalam kerangka Mubadalah, qawwamah bermakna tanggung jawab etis untuk melindungi dan menegakkan keadilan, bukan untuk menguasai. Tafsir yang kaku ini sering menjadi pemicu maskulin toksik dalam ranah domestik maupun profesional.
Pihak-pihak tertentu sering melencengkan hadis-hadis tentang ketaatan istri dari konteksnya, lalu memakainya untuk menormalisasi relasi hierarkis. Padahal, semangat Islam sejati menekankan kesalingan, hubungan yang setara, saling menghargai, dan saling membantu dan menopang dalam setiap peran sosial, termasuk di dunia kerja.
Jalan Keluar dari Maskulin Toksik: Implementasi Prinsip Kesalingan (Mubadalah)
Prinsip mubadalah mengajarkan bahwa setiap ajaran agama yang berlaku bagi laki-laki juga berlaku bagi perempuan, dan sebaliknya. Dalam konteks kerja, kesalingan berarti mengakui bahwa profesionalisme tidak meniadakan empati. Profesionalisme tetap sejalan dengan harmonisasi dengan mengedepankan kepedulian akan kondisi rekan kerja yang memiliki ritme kerja dan kondisi tubuh yang berbeda-beda.
Selama mengikuti beberapa seminar, webinar, maupun pelatihan kesetaraan gender dan feminisme dari tahun 2018, aku paham dan menjadi lebih berempati pada sesama manusia terutama pada pengalaman perempuan yang unik dan berbeda.
Di ruang kerja yang maskulin ini, menjadi sadar sendirian di tengah budaya yang memaklumi ketimpangan agaknya sulit untuk menegakkan kesetaraan, antara ingin bersuara tetapi takut mendapatkan label ‘terlalu kaku dan kolot’. Namun, jika memilih diam pasti hanya akan memperpanjang rantai patriarki yang tiada putus.
Kesalingan menuntut kita untuk melawan budaya maskulin toksik tanpa meniru kekerasannya. Kita bisa menunjukkan bahwa menghargai batas tubuh, mengutamakan kolaborasi, dan menolak diskriminasi bukan tanda kelemahan, tetapi bukti kedewasaan profesional. Melawan dengan empati memang tidak cepat, karena gerakan ini bukan gerakan yang pragmatis. Tetapi harus tetap optimis bahwa empati mampu menyembuhkan.
Melawan Budaya Maskulin Toksik Secara Kolektif
Membangun circle yang sehat
Memulai percakapan tanpa menyalahkan. Selain menerapkan nilai harmonisasi sebagai pegawai yang professional, percakapan juga mampu menjadi jembatan lebih akrab dengan rekan kerja baik laki-laki dan perempuan.
Melalui percakapan tanpa menghakimi, bisa menunjukkan bahwa maskulin toksik juga bisa menyakiti laki-laki, sebab laki-laki juga tidak boleh kebanyakan mengekspresikan emosinya. Dengan percakapan yang empati, bisa membuka jalan perubahan yang damai.
Menciptakan Zona Aman untuk Bertumbuh
Membangun atau mencari ruang aman di mana perempuan bisa berbagi pengalaman tanpa takut pelabelan buruk atau ‘bar-bar’ baik melalui diskusi komunitas, forum kecil, maupun media sosial. Dari percakapan yang jujur, kesadaran kolektif bisa tumbuh dan mengubah cara pandang banyak orang.
Kesetaraan sebagai Keberanian Moral
Kesetaraan tidak hadir dari diam dan berpangku tangan melihat adanya ketimpangan. Ia hadir dari keberanian moral untuk memanusiakan manusia dan membuat ruang aman. Perempuan tidak menuntut keistimewaan, mereka hanya ingin ruang yang adil untuk berproses dan berdaya tanpa prasangka.
Prinsip Mubadalah mengingatkan bahwa relasi adil adalah pondasi kemanusiaan. Di dunia kerja, kesalingan bukan hanya konsep spiritual, tetapi panduan etis untuk membangun lingkungan yang sehat dan saling menghormati.
Perjuangan ini mungkin terasa sepi dan melelahkan sebab kadang seperti melawan arus. Namun, setiap langkah kecil menuju kesadaran tetap bermakna. Karena perubahan besar selalu berawal dari keberanian, “cukup sudah kita menormalisasi yang seharusnya tidak, seperti maskulin toksik.” []

			









































