Mubadalah.id – Siapa yang belum pernah mendengar istilah generasi sandwich (sandwich generation)? Tentu istilah ini telah sering melintasi gendang telinga kita dewasa ini.
Sebagaimana kita pahami, frasa generasi sandwich mulanya mencuat dari Dorothy Miller di tahun 1981. Pekerja sosial itu meminjam kata “sandwich” untuk menggambarkan orang dengan beban ekonomi berlapis.
Sebagaimana wujud sandwich yang berlapis, Miller memotret bagaimana seseorang mesti menanggung kebutuhan dua generasi berbeda. Mereka mesti bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan generasi sebelumnya, yakni orang tua. Selain itu, juga generasi sesudahnya, yaitu anak—bahkan cucu.
Namun, dalam konteks kehidupan berpasangan (pernikahan), lapisan itu bertambah. Mertua (orang tua pasangan), datang sebagai lapisan baru yang tentu mustahil diabaikan. Kini, jadilah sandwich itu kian menebal, juga membesar. Maka, menjadi tidak berlebihan bila kita menyebutnya sebagai “generasi sandwich jumbo”.
Kian kesini, kian menjadi
Selain lapisan sandwich yang kian menebal, kuantitas generasi sandwich jumbo di pelbagai negara—termasuk Indonesia—juga mengalami peningkatan. Manajer Program Jaminan Sosial Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization / ILO), Ippe Tsugura, menyebut bahwa Indonesia memiliki tingkat penuaan populasi (aging population) yang cukup cepat.
Proses penuaan yang berlangsung “kilat” itu mengakibatkan jumlah populasi masyarakat sepuh membengkak. Sementara, di lain sisi, masa financial independent pada generasi muda mengalami penundaan.
Beberapa penyebabnya yakni pilihan untuk studi lanjut, iklim kompetisi dunia kerja yang makin ketat, serta tanggungan biaya hidup yang kian mahal. Tak pelak, fenomena generasi sandwich jumbo tak lagi bisa terhindarkan. Kita bisa menyebutnya sebagai inevitable existence yang mesti diterima dengan lapang dada.
Dilema antara bakti dan beban
Menariknya, pada banyak masyarakat, fenomena generasi sandwich jumbo ini justru dianggap berkah. Kesempatan untuk menanggung biaya hidup orang tua merupakan ladang bakti (birrul walidain).
Akibatnya, alih-alih beroleh penyiasatan, fenomena ini justru diglorifikasi dengan pelbagai dalil. Padahal, dari segi ekonomi, situasi tersebut tampak sebagai beban bagi generasi kini.
Memang betul bahwa sudah menjadi kewajiban bagi anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Meski begitu, hal ini tak lantas berarti bahwa orang tua bisa seenaknya membebani anak. Karenanya, proses perencanaan anak pada rumah tangga perlu memproyeksikan pembiayaan jangka panjang. Pasangan mesti secara sadar merintis asuransi hari tua sejak dini.
Perlunya financial literacy
Fenomena generasi sandwich jumbo yang membayangi pasangan muda sejatinya menyiratkan perlunya literasi keuangan (financial literacy) sebelum lekas membina pesiar balewisma.
Kita tak lagi bisa memungkiri bahwa bakti kita kepada orang tua kini makin beroleh tantangan. Sebagai sebuah kebaikan, tentu kita perlu ikhlas untuk melaksanakannya.
Namun, tentu menjadi sulit untuk bersikap tulus jika bakti itu berubah menjadi beban berlapis. Karenanya, penyiasatan bijak berbekal literasi mesti mewajah.
Penelitian oleh Fred van Raaij et al (2020) mengemukakan bila keputusan bersama dengan pasangan dalam hal finansial keluarga mempunyai signifikansi baik.
Dalam banyak tipe perencanaan dan relasi antara pasutri, keputusan bersama yang berdasarkan pemahaman finansial dapat meminimalisasi potensi masalah keuangan di masa depan.
“…we find that syncratic financial management and having a joint instead of a separate bank account correlates with fewer financial problems,..” (Fred van Raaij et al, 2020).
Cukup kita, anak kita jangan
Sebagian dari kita boleh jadi merupakan generasi sandwich jumbo. Kita tentu mesti menerimanya, selain juga menyiasatinya seperti telah dikemukakan.
Namun, pengalaman menjadi generasi sandwich jumbo idealnya tak perlu kita wariskan. Anak-anak kita di masa depan punya hak untuk merdeka dari jeratan beban ini (birrul awlad). Ippe Tsugura bahkan menyebut agar generasi hari ini tak berharap bakal beroleh perawatan dari anak-anaknya. Maksud Ippe tentu baik: mengajak kita untuk sadar dan tahu diri.
Jepang, negara asal Ippe, merupakan contoh ideal. Di sana, setiap warga negara yang telah menginjak usia 20 tahun beroleh kewajiban membayar premi asuransi hari tua. Teladan negeri Sakura itu kiranya bisa kita ikuti. Jika kini usia kita telah lewat dari 20 tahun, tentu tak salah bila segera lekas merintis langkah bijak tersebut.
Tak pernah ada yang tahu akan takdir yang menimpa setiap manusia. Karenanya, bersiap sebaik mungkin adalah upaya paling masuk akal. Sebaik-baik mereka yang beruntung, jelas lebih baik mereka yang waspada dan bersiaga. Lagi pula, bukankah tuhan menyeru hambanya untuk senantiasa berusaha? []












































