Mubadalah.id – Seandainya Tuhan menciptakan manusia dengan ragam wujud, disabilitas, dan cara hidupnya, mengapa kita begitu sibuk mengejar satu bentuk “normal” yang disebut sempurna?
Kata sempurna terdengar indah di telinga, tetapi sering menyisakan tekanan yang tak terlihat. Apa itu sempurna? Sejak kecil, banyak dari kita tumbuh dengan ajaran untuk mengejar kesempurnaan. Menjadi yang paling cantik, paling pintar, paling ideal, paling normal, seolah perbedaan, termasuk disabilitas, adalah sesuatu yang harus semua orang sembunyikan.
Namun, jarang kita berhenti sejenak dan bertanya: siapa sebenarnya yang pertama kali membuat konsep apa itu sempurna? Apakah Tuhan yang menuntutnya, atau manusia yang menciptakan standarnya lalu terjebak dalam penilaian yang menindas diri sendiri? Siapa yang menetapkan bahwa tubuh harus bergerak dengan cara tertentu untuk kita anggap normal? Sehingga sisanya, yang berbeda dari konsep tersebut, termasuk tubuh dengan disabilitas, kita anggap “tidak normal.”
Kalau dipikir-pikir, kenapa sih harus ada ukuran, bentuk, dan kemampuan yang kemudian kita jadikan tolok ukur nilai seseorang? Seolah-olah ada suara tak terlihat yang terus mengatur: ini normal, itu tidak, ini pantas, itu kurang, orang menilai ini layak untuk mereka kagumi, dan menganggap itu harus mereka perbaiki. Tapi lagi-lagi, dari mana suara itu datang? Dari siapa sebenarnya standar itu berasal?
Perempuan dan Kesempurnaan
Dalam banyak ruang, terutama yang menyentuh kehidupan perempuan, kata sempurna memiliki kuasa besar. Ia mengatur tubuh, sikap, bahkan cara perempuan mengekspresikan perasaan. Perempuan “sempurna” kita gambarkan memiliki tubuh ideal, wajah simetris, tutur kata lembut, dan kehidupan yang tampak teratur. Sementara tubuh dengan disabilitas, perbedaan fisik, atau cara hidup yang lain sering dianggap menyimpang dari standar itu.
Dan dari balik gambaran itu, banyak perempuan justru merasa selalu kurang: terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu keras, terlalu diam, terlalu ini, terlalu itu, atau berbeda karena disabilitasnya. Kelebihan menjadi cela, dan perbedaan berubah menjadi cacat. Sedih, bukan?
Akhirnya, dalam diam, banyak perempuan belajar menyembunyikan sisi yang rapuh, ambisi yang besar, atau amarah yang jujur, karena semua itu tak cocok dengan citra ideal yang tertanam sejak lama. Bahkan mereka yang hidup dengan disabilitas sering merasa harus menutupi perbedaan agar orang-orang menerimanya.
Akibatnya, banyak yang hidup dengan dua wajah: satu untuk dunia, satu lagi untuk dirinya sendiri. Dalam pencarian menjadi “sempurna”, perempuan justru sering kehilangan ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.
Maka, mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang: apakah manusia, dengan ragam wujud, kemampuan, dan disabilitasnya, memang Allah ciptakan untuk seragam?
Tubuh, Perbedaan, dan Tafsir yang Sempit
Kita sering lupa bahwa ada banyak bentuk gerak di dunia ini. Tidak semua bisa dilihat dengan mata, tapi sebagian justru paling nyata terasa oleh jiwa. Namun, dunia terlalu sibuk mengukur kemampuan tubuh, sampai lupa bahwa pikiran, empati, dan keteguhan hati, termasuk pada mereka yang hidup dengan disabilitas, juga punya cara sendiri untuk berjalan.
Memang, beberapa orang tak mampu melangkah dengan kaki, namun pikirannya menembus batas-batas yang tak terjangkau banyak orang. Ada yang dunia suaranya terbatas, tapi hatinya merasakan getaran kehidupan lebih dalam dari yang lain. Ada yang kata-katanya tersendat, namun tulisannya mampu mengguncang ribuan jiwa. Ironisnya, masyarakat sering menilai mereka gagal memenuhi definisi “sempurna” yang sempit dan seragam.
Padahal, Allah sudah berfirman:
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(QS. At-Tin: 4)
Ayat ini bukan jaminan fisik tanpa cacat, melainkan penegasan bahwa setiap manusia, dengan segala ragam kemampuan, kekuatan, maupun disabilitasnya, memiliki potensi dan nilai kemuliaan. Kesempurnaan dalam Islam tidak terletak pada rupa, tetapi pada makna. Manusia lahir dengan akal, rasa, dan kehendak, sebagai modal untuk menebar kebaikan, bukan untuk saling mengukur siapa yang paling utuh.
Sayangnya, dunia sibuk menatap tubuh seseorang, tetapi lupa membaca jiwanya. Padahal, di balik tubuh yang tampak “kurang”, apakah itu karena keterbatasan fisik atau disabilitas, mungkin tersimpan kekuatan yang justru Allah titipkan. Dan itu bukan untuk kita kasihani, tapi untuk kita pelajari, hargai, dan pahami.
Mungkin Kesempurnaan Itu Saling
Banyak orang mengira kesempurnaan berarti memiliki segalanya. Padahal, kesempurnaan justru hadir saat manusia saling melengkapi. Bukankah demikian? Misalnya, yang kuat belajar lembut dari yang rapuh. Yang cepat belajar sabar dari yang lambat. Begitu pun yang bisa melihat, belajar peka dari mereka dengan disabilitas, yang berjalan, mendengar, atau merasakan dunia dengan cara berbeda.
Dalam kesalingan, dunia menemukan keutuhannya. Dan satu hal yang pasti: tak seorang pun diciptakan lengkap sendirian, karena setiap manusia hanya menggenggam sepotong makna dari kehidupan. Mungkin ketika kita saling berjumpa, saling mengakui, dan saling menerima, baik yang memiliki tubuh tanpa disabilitas maupun yang hidup dengan disabilitas, barulah potongan-potongan itu menyatu, menjadi bentuk kesempurnaan yang sesungguhnya.
Saya yakin kesempurnaan bukanlah milik individu, tapi milik perjumpaan. Ia tumbuh ketika manusia berhenti menuntut bentuk yang sama, lalu mulai menghargai perbedaan sebagai bagian dari kebijaksanaan Tuhan, termasuk ragam kemampuan dan disabilitas yang ada di antara kita.
Tuhan Tidak Menciptakan yang Sia-Sia
Kalau kita meyakini bahwa Allah Maha Sempurna, maka tidak ada ciptaan-Nya yang sia-sia. Perbedaan bukan kesalahan rancangan, tetapi bagian dari keindahan yang belum kita pahami. Tubuh yang tidak bisa berjalan, tangan yang tak lengkap, pendengaran yang terbatas, pikiran yang bekerja berbeda, atau bentuk disabilitas lain, semua cara unik ciptaan bergerak di dunia, membuktikan kebesaran-Nya.
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah perbedaan bahasa dan warna kulitmu.”
(QS. Ar-Rum: 22)
Jika bahasa dan warna kulit saja termasuk tanda kebesaran, maka tubuh dan keberagaman kemampuan, termasuk disabilitas, juga demikian. Setiap manusia adalah ayat yang hidup, ayat yang layak setiap orang baca, bukan hakimi.
Kita tidak perlu lagi mencari siapa yang paling sempurna. Yang kita butuhkan adalah belajar menerima: bahwa kebaikan hadir dalam banyak bentuk, kecantikan tumbuh dalam banyak rupa, dan makna hidup lahir dari banyak cara, baik dengan atau tanpa disabilitas.
Kesempurnaan = Penerimaan
Intinya: Kesempurnaan bukan garis akhir, melainkan perjalanan menuju penerimaan. Ia bukan tentang tubuh yang utuh, melainkan hati yang berdamai dengan dirinya sendiri. Kesempurnaan bukan tentang tak pernah jatuh, tetapi tentang keberanian untuk terus berdiri dengan caranya masing-masing, dengan seluruh keunikan dan keterbatasannya.
Jadi, saat melihat seseorang yang berbeda, jangan terburu-buru merasa kasihan. Mungkin justru di wajahnya, Tuhan sedang memperlihatkan definisi kesempurnaan yang sejati, kesempurnaan yang tidak bisa orang lihat oleh mata, tetapi bisa kita rasakan oleh jiwa.
Pada akhirnya, yang disebut sempurna bukanlah mereka yang tak memiliki kekurangan, tetapi mereka yang mampu hidup berdamai dengan keterbatasannya. Mereka yang menjadikan perbedaan sebagai cara baru untuk mencintai kehidupan. Karena sesungguhnya, kesempurnaan sejati bukan tentang menjadi tanpa cela, tetapi tentang menghidupkan kasih dan makna dalam setiap kekurangan. []











































