Mubadalah.id – Istsbat nikah menjadi salah satu simpul di mana fiqh, maqashid, keadilan sosial, perlindungan martabat manusia, serta peran pemerintah saling bertemu. Ia memiliki peran signifikan dalam memberikan keabsahan pernikahan dan perlindungan sosial publik yang dapat terakses oleh pasangan, anak, keluarga, dan negara.
Dalam perjalanannya, praktik itsbat nikah berkelindan antara kemaslahatan yang terbawa terhadap keluarga dengan kerentanan interseksionalitas identitas dan relasi kuasa. Untuk mengurai kelindan tersebut, tadarus subuh ke-169 pada Hari Minggu (09/11) mengangkat diskusi dengan tajuk “Itsbat Nikah”.
Pada sesi kali ini, diskusi ditemani oleh dua narasumber, yakni Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan Dr. Nyai Iklilah Muzayyanah dari Jaringan Alimat, Pusat Riset Gender – Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI).
Mengenal itsbath nikah
Dalam buku Fiqh al-Usrah, Kang Faqih mendefinisikan itsbat nikah sebagai sebuah pengakuan pasangan suami istri di hadapan petugas pemerintah dan meminta pernikahannya ditetapkan secara sah.
Dari definisi tersebut, ada tiga komponen menarik untuk terulas, yakni: (1) pengakuan, (2) peran petugas pemerintah (3) adanya suami istri.
Oleh karena itu, prasyarat terpenting untuk mewujudkan keberadaan itsbat nikah adalah adanya peran pemerintah. Negara telah memberikan aturan mengenai hal ini dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling PN dan PA/MS dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran, Pasal 1 (3).
Ada beberapa ketentuan yang harus terpenuhi untuk mengajukan itsbat nikah pada pengadilan Agama, sebagaimana yang tertuang dalam website pa-kebumen.go.id.
Jika dirunut ke teks fikih klasik, pengakuan kedua pasangan tidak cukup, masih butuh penyebutan keabsahan dan terpenuhinya syarat oleh wali dan dua saksi yang adil, seperti yang telah termaktub kitab fikih I’anah Thalibin.
Maka, kita ketahui secara jelas bahwa pengakuan pernikahan, sebagaimana dalam kitab klasik, tidak sesederhana pengakuan dari suami dan istri. Dalam konteks itsbat nikah, kita membutuhkan beberapa syarat seperti yang telah saya singgung di atas.
Urgensi dan Kemaslaahatan Itsbath Nikah
Bagi pasangan, itsbat nikah berfungsi sebagai pintu masuk untuk mendapatkan perlindungan hukum negara terhadap berbagai isu perkawinan. Sebab, pada faktanya organisasi keagamaan tidak hadir dalam melindungi perkawianan yang tidak tercatatkan.
Oleh karena itu, harapan masyarakat bertumpu pada peran pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk melindungi hak-hak dan kewajiban isbath nikah. Ada banyak yang perlu terlindungi, seperti terkait hal perwalian anak, konflik dan KDRT, poligami, harta gono gini, dan waris.
Sementara bagi anak, itsbat nikah berfungsi untuk melegalkan kepemilikan akta lahir pada anak dengan nama ayah dan ibu. Pengakuan ini penting untuk melegalkan nisbat anak kepada ayah dan ibu biologisnya di mata hukum.
Kerentanan di balik praktik itsbath nikah
Kendati demikian, layanan itsbat nikah masih memberikan celah hukum pada praktik yang melanggengkan perkawinan yang tidak tercatat. Dalam riset yang Bu Nyai Iklilah lakukan, setidaknya ada dua fenomena yang mencerminkan kerentanan tersebut.
Pertama adalah fenomena perkawinan anak. Adanya itsbat nikah menyebabkan banyaknya perkawinan anak yang sengaja untuk tidak diberikan pencatatan. Mereka beralasan karena untuk menghindari prosedur dispensasi kawin yang cenderung menghabiskan banyak sumber daya. Tentu hal ini rentan menimbulkan praktik pidana pada pasangan perkawinan anak dan tidak terpenuhinya hak-hak kenegaraan.
Selain itu, penunda pencatatan perkawinan anak di usia dewasa juga didasari pada alasan keuntungan ekonomi. Masyarakat lebih memilih mengikut itsbat nikah massal yang terselenggara oleh pemerintah, lantaran itu lebih menguntungkan secara ekonomi.
Fenomena kedua adalah perkawinan poligami. Kerentanan itsbat nikah juga berkelindan dengan relasi kuasa. Dalam konteks perkawinan poligami, itsbat nikah menyebabkan penundaan pencatatan perkawinan istri kedua dan seterusnya hingga memperoleh izin istri pertama.
Aturan negara yang terbaru juga tidak berpihak pada pihak yang dirugikan, yakni istri pertama. Regulasi KUHP 2023 tidak lagi mengatur perlindungan istri atas tindakan suami yang melakukan poligami tidak tercatatat, berbeda dengan KUHP lama pasal 279.
Problematika itsbath nikah ini menyadarkan kita betapa banyaknya kasus-kasus kehidupan real di sekitar kita yang luput dari perhatian fikih. Fatwa-fatwa keagamaan cenderung membahas hal-hal umum dan universal, sehingga perlu adanya putusan hukum fikih yang bersifat terperinci dan jelas.
Ada Ide menarik dari Kang Faqih tentang bagaimana fatwa fikih menyasar isu-isu kehidupan real, termasuk perihal itsbath nikah. Menurutnya, Jika melakukan kilas balik ke kumpulan fatwa fikih ulama’ klasik, banyak kita jumpai fatwa-fatwa yang terperinci dan menyasar ke persoalan masyarakat sehari-hari. Untuk itu, kita memeerlukan upaya kolaboratif untuk mewujudkan revitalisasi fatwa-fatwa keagamaan oleh para ahli hukum Islam di Indonesia.
Revitalisasi ini penting untuk menjawab tantangan zaman. Fatwa kontekstual yang responsif dapat menjembatani kesenjangan antara teks klasik dengan realitas kekinian, tanpa harus mengorbankan keadilan yang menjadi ruh syariat Islam. []












































