Rasulullah telah wafat, tetapi kenangan tentangnya tak pernah pergi. Tak ada yang sanggup menceritakan dengan kata-kata betapa para sahabat dan kaum muslimin berduka. Para penulis syair seakan kehabisan tinta untuk membuat puisi. Setiap sahabat harus berjuang dengan cara masing-masing untuk mengatasi rasa kehilangan akan sosok yang agung itu.
Namun, semua usaha terasa sia-sia bagi Bilal. Di setiap sudut Madinah yang ia lihat adalah sosok sang Nabi. Air mata selalu mengalir setiap memasuki Masjid Nabawi. Ia menyaksikan bayangannya sendiri menemui Nabi setiap waktu shalat tiba, atau Nabi sendiri yang datang memintanya azan. Mereka lakukan itu setiap lima kali sehari. Setiap Bilal naik menara untuk azan, ia pasti melirik Nabi di bawah sana sedang tersenyum menatapnya.
Kenangan itu terlalu membekas. Sejak Rasul pergi, ia berhenti mengumandangkan azan. Tak ada yang bisa memerintahnya, termasuk Khalifah Abu Bakar. Bilal sudah memutuskan cara terbaik untuk berdamai dengan kehilangan adalah pergi dari Madinah. Ia menemui Khalifah Abu Bakar untuk meminta izin. Ia ingin menetap di tanah Syam.
“Haruskah engkau pergi sejauh itu ya Bilal?” Abu Bakar tak bisa menahan kesedihan mendengar sahabat Rasulullah yang terompahnya telah terdengar di surga itu akan pergi meninggalkan Madinah.
“Aku selalu melihat Rasulullah ke mana pun melangkahkan kaki di kota ini.”Air mata Bilal merebak. Sahabat Abu Bakar terdiam. Ia tahu perasaan itu. Kalau saja di pundaknya tak ada beban untuk meneruskan kepemimpinan Rasulullah, mungkin ia ingin mengasingkan diri seperti Bilal.
Pribadi Nabi sangat istimewa. Tak pernah ada yang bosan memandang wajahnya, seperti tak ada yang ingin segera beranjak pergi ketika mendengar suaranya. Siapa pun akan merasa aman di dekatnya. Akhlaknya terlalu memikat. Setiap orang merasa paling dicintai Nabi walau sebentar saja baru mengenalnya. Abu Bakar tak bisa menahan kepergian Bilal. Mereka berpisah dengan janji setia sebagai sahabat maupun sebagai umat terhadap pemimpinnya.
Hari-hari terus berlalu bagai anak-anak panah yang melesat. Bilal menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah berharap akan bertemu lagi dengan Rasulullah di akhirat kelak. Sampai suatu malam ia bermimpi didatangi Nabi. Seakan nyata, sosok agung itu menghampirinya dan berkata, “Alangkah kerasnya hatimu wahai Bilal! Kenapa lama sekali kau tak datang mengunjungiku?”
Bilal terbangun dengan tetes-tetes keringat. Antara bahagia dan sedih ia bisa berjumpa dengan Nabi. Benarkah Nabi ingin ia mengunjunginya? Bukankah sudah lama ia tak mengunjungi rumah sekaligus kubur Nabi di Madinah? Kerinduan seketika meluap. Bilal segera berkemas. Ia menyiapkan seeokor unta untuk mengunjungi Madinah.
Kedatangan Bilal disambut hangat Abu Bakar. Umar Bin Khatab dan beberapa sahabat seangkatannya ikut berkumpul di Masjid Nabawi. Segera saja mereka teringat dengan Rasulullah. Tak ada yang bisa menyembunyikan air mata yang menetes pada pertemuan hari itu.
“Wahai Bilal, bisakah engkau mengumandangkan azan selagi kita berkumpul hari ini? Kami ingin mengenang hari-hari indah bersama Rasul dengan mendengar suaramu,” pinta salah satu sahabat. Bilal hanya menggeleng lemah. Ia tak mau melakukan suatu hal yang bisa membangkitkan kenangan terindahnya bersama Nabi.
Sampai beberapa waktu kemudian datanglah dua cucu kesayangan Nabi. Bilal segera mencium dan memeluk mereka. Hasan dan Husen sangat mirip kakeknya. Mereka menatap Bilal penuh harap, “Bukankah engkau muazin kakek kami? Maukah engkau azan untuk kami?”
Seandainya bukan karena cucu Nabi yang meminta, pastilah Bilal sudah menolaknya. Ditariknya napas panjang. Sudah lama ia tidak naik menara. Semua orang yang berkumpul merasa gembira sekaligus cemas. Melihat Bilal naik, orang-orang berkumpul mendekat. Masjid Nabawi penuh dengan kaum muslimin yang ingin mendengar suara Bilal.
Lagi-lagi Bilal tak kuasa menahan tangis. Ia ingat bagaimana hari-harinya bersama Nabi. Sesampainya di menara, ia seakan melihat Nabi di bawah sana berdiri dan tersenyum. Bilal terdiam cukup lama, sementara kaum muslimin semakin penuh sesak. Dengan menguatkan hati Bilal memulai azannya. “Allahuakbar … Allahuakbar ….”
Pertahanan Bilal runtuh. Air mata berhamburan. Kaum muslimin terdiam. Wajah mereka telah basah. Inilah azan yang selalu mereka dengar saat bersama Rasul. Kota Madinah mendadak hening. Suara Bilal telah menghentikan orang-orang dari semua aktivitasnya. Mereka berhamburan menuju masjid. Para Ibu membawa serta anak-anaknya. Mereka berlari kencang dan berkata, “Apakah Rasulullah telah dibangkitkan kembali?”
“Allahuakbar Allahuakbar ….” Suara Bilal kembali menggetarkan Madinah. Hanya isakan tangis yang memenuhi udara.
“Asyhaduallailahailallah … Asyhaduallailahailallah …” Bilal berhenti sejenak. Dadanya semakin sesak.
“Waasyhaduanna Muhammadu ….” Bilal tak sanggup lagi. Ia tak bisa melanjutkan menyebut nama Nabi dalam azannya.
Berapa kali pun mencoba, Bilal tak bisa mengeluarkan suaranya. Hanya isak tangis yang menggema. Para sahabat dan kaum muslimin menyeka air mata. Bilal tak pernah mengumandangkan azan lagi sepanjang hidupnya. Mereka menjadi saksi bahwa manusia agung itu telah mengubah kegelapan menjadi cahaya. Rasulullah telah pergi, tapi tak pernah benar-benar pergi dari hati orang-orang yang mencintainya. Kerinduan terhadap Nabi telah membawa satu harapan tertinggi. Kelak mereka akan bertemu kembali.
Anas Ra mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullah, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Ra mengatakan, ‘Saya mencintai Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka meskipun saya tidak mampu melakukan amalan yang mereka lakukan.’ (HR. Bukhari)