“You call yourself educated in Islam, yet your ideas trap women in boxes Islam never even designed. Impressive how you ‘defend’ a faith you clearly don’t understand”
– Layyin Lala
Mubadalah.id – Sore kemarin seseorang mengirimkan sebuah postingan berjudul “Ibu Adalah Madrasah Pertama Buat Anak” (bukan sebagai keluarga) dari akun Instagram @magdaleneid. Postingan tersebut berisikan sebuah keresahan seorang kontributor yang berusaha merefleksikan kembali narasi “perempuan harus berpendidikan karena akan menjadi Ibu”. Seseorang yang mengirimkan postingan tersebut meminta pendapat saya mengenai postingan tersebut.
Lantas, saya mengutarakan bahwa saya setuju dengan refleksi kontributor tersebut. Bahwa, makna yang terdengar masyhur itu justru membatasi tujuan perempuan di ranah domestik. Secara tidak lain, makna tunggal yang sering masyarakat bicarakan sangat bias gender dan memiliki tafsir yang berperspektif patriarki (secara tidak langsung).
Lalu, apa tanggapan seseorang tersebut? saya disebut sebagai feminis liberal yang menentang ajaran Islam. Saya dicap sebagai perempuan pembangkang yang memberontak atas ketentuan-ketentuan Allah. Tentu saya mengernyitkan dahi atas vonis sepihak yang menyesatkan. Hanya karena perbedaan pandangan, saya mendapatkan perlakuan yang seharusnya tidak perlu saya dapatkan.
Tulisan ini saya hadiahkan kepada seorang laki-laki yang tidak menerima “ke-feminis-an” saya. Yang menganggap value feminis saya hanya ikut-ikutan dari budaya barat, padahal starting point saya belajar feminis dan menjadi feminis bermula dari belajar di Mubadalah.id. Sehingga, dasar saya menjadi feminis, tentu sudah bersanad pada nilai-nilai Islam yang adil dan berkesalingan, serta rahmatan lil’alamin.
Bait Al-Ummu Madrasatul Ula
الأُمُّ مَدرَسَةٌ أُولَى إِذَا أَعدَدتَهَا
أَعدَدتَ شَعبَاً طَيِّبَ الأَعرَاقِ
Artinya: Ibu adalah sekolah pertama, jika engkau mempersiapkannya (dengan baik),
Maka engkau telah mempersiapkan (kelahiran) suatu bangsa yang baik (mulia) akar-akarnya (keturunannya).
Bait tersebut merupakan bait ungkapan yang utuh dari potongan kalimat “Al-Ummu Madrasatul Ula, Ibu Sekolah Pertama bagi Anak”. Bait tersebut merupakan sebuah ungkapan terkenal dari seorang penyair Mesir bernama Hafiz Ibrahim (1872-1932).
Siapa penyair Hafiz Ibrahim? Muhammad Hafiz bin Ibrahim Afnadi Fahmi (1872–1932), yang lebih terkenal dengan nama Muhammad Hafiz Ibrahim, merupakan salah satu penyair besar Mesir pada masa Abad Pencerahan. Ia terkenal sebagai penyair yang tetap berpegang teguh pada tradisi kesusastraan Arab klasik, sehingga mendapat julukan sebagai Penyair Neoklasik. Selain itu, ia juga dikenal sebagai Penyair Rakyat dan Penyair Nasional, serta mendapat julukan “as-Sayf wa al-Qalam” (pedang dan pena) karena perjuangannya melalui karya sastra dan semangat kebangsaannya.
Setelah mengetahui biografi beliau, bait “Al-ummu madrasatun ūlā, idzā a‘dadtahā, a‘daddta sya‘ban ṭayyiba al-a‘rāq” bukanlah sebuah hadis. Melainkan sebuah ungkapan yang populer di tanah arab. Maka, kurang tepat jika bait tersebut disebut-sebut sebagai sebuah hadis dan dikaitkan secara ketat dengan hukum agama.
Oleh karenanya, saya bingung ketika dicap sebagai seorang perempuan yang membangkang atas ketentuan-ketentuan Allah, padahal bait tersebut bukanlah hadis atau ayat Al-Qur’an. Lantas hal apa yang saya pertentangkan?
Menolak Tafsir Tunggal Keluarga Ideal, Seluruh Kelurga Memiliki Kesempatan yang Sama
Bagi sebagian masyarakat (terutama masyarakat dengan kultur patriarki) bentuk keluarga ideal adalah keluarga dengan ayah bekerja dan ibu yang menjadi pengasuh atau Ibu rumah tangga. Anggapan itu diperkuat dengan “nilai agama” yang memiliki pesan bahwa fitrah perempuan lebih baik di rumah dan mengasuh anak.
Sebuah anggapan yang tidak keliru sebenarnya. Namun, menjadi keliru jika bentuk “keluarga ideal” tersebut menjadi “standar” atau “kewajiban” di masyarakat. Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa hidup di dunia ini selalu “ideal”? Padahal, zaman sudah berubah. Terlebih, in this economy, rupanya tak bisa menjamin hanya satu pasangan yang bekerja.
Hidup di Indonesia, tidak seindah hidup di negara-negara nordik dengan sistem kebijakan yang menyejahterakan warganya. Bayangkan saja, sistem kebijakan di Indonesia mempersulit masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Belum lagi kebijakan pendapatan yang sangat pas-pasan atau underpaid, namun harga barang-barang melambung tinggi.
Memaknai Ulang Jihad
Akses pendidikan dan kesehatan yang timpang, serta terbatasnya sumber daya alam karena kerusakan terjadi pada banyak tempat. Alam terkeruk habis untuk kepentingan pribadi para elit. Tidak heran, akibatnya ada begitu banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Data data terbaru, hampir 10 Juta pemuda Indonesia saat ini tidak memiliki pekerjaan.
Padahal salah satu bentuk jihad adalah memperbaiki taraf hidup. Oleh karenanya, bekerja sendiri dapat kita katakan sebagai “jihad” karena usahanya untuk memperbaiki taraf hidup. Sehingga, tidak heran jika Islam sendiri menyebut bahwa bekerja merupakan bentuk Ibadah. Bahkan, jika seseorang mati dalam keadaan bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka ia dalam kondisi syahid.
Dalam hal ini, saya memilih “tafsir” bahwa seluruh keluarga apa pun kondisinya berhak memiliki peluang yang sama untuk menentukan bentuk keluarganya sendiri tanpa dibayangi standar ideal yang dibuat masyarakat. Setiap keluarga berhak mengambil keputusan sesuai kemampuan dan kebutuhan hidup mereka.
Apakah kedua orang tua bekerja, salah satu di rumah, atau saling berbagi peran secara fleksibel. Tidak ada satu pun model keluarga yang paling benar. Seluruhnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga.
Keluarga Sekolah Pertama bagi Anak
Kembali ke pembahasan keluarga. Siapa yang menjamin bahwa seluruh keluarga di dunia ini memiliki bentuk yang ideal? Ibu yang memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan ayah yang bekerja? Tidak ada yang menjamin hal tersebut. Tidak bisakah kita menyadari bahwa ada keluarga dengan si suami yang tidak punya pekerjaan sehingga istri harus bekerja?
Bukankah juga ada keluarga dengan anak yang tidak memiliki orang tua secara lengkap bahkan harus mendapatkan asuhan oleh nenek? Padahal hal-hal seperti ini ada di sekitar kita. Kenapa kita tidak menyadari bahwa tidak semua keluarga punya bentuk yang Ideal seperti yang masyarakat standarkan?
Lalu bagaimana dengan keluarga dengan kondisi seperti itu jika standar keluarga ideal adalah Ibu di rumah dan ayah bekerja? Apakah mereka tidak punya kesempatan yang sama dengan keluarga yang “ideal” tersebut?
Maka, saya sangat berkhusnudzan bahwa bait “Al-ummu madrasatul ūlā, idzā a‘dadtahā, a‘daddta sya‘ban ṭayyiba al-a‘rāq” merupakan bentuk nasehat untuk perempuan (bukan sebagai aturan atau kewajiban). Bayangkan saja jika bait tersebut adalah ketetapan syariat agama. Tentu tidak pas jika menerapkan pada keluarga-keluarga seperti yang saya sebutkan tadi.
Jika dalam suatu keluarga, Ayah tidak memiliki pekerjaan dan Ibu bekerja, maka sangat boleh sekali Ayah memiliki tugas untuk mendidik Anak (menjadi sekolah pertama). Jika dalam suatu keluarga, seorang Ibu harus bekerja namun tidak memiliki suami, maka boleh sekali jika kemudian Nenek atau bibinya yang mendidik. Sangat penting bagi kita untuk memahami konteks sosial terlebih dahulu sebelum kita menerapkan sebuah aturan yang memang tidak pas untuk diterapkan.
Islam Merangkul Seluruh Kondisi Perempuan
Saya bertanya kembali, siapa yang menjamin bahwa hidup di dunia itu sangat ideal? Bahwa perempuan yang lahir di dunia pasti idealnya akan menjadi “Ibu” dan “memiliki anak?”. Banyak orang yang bersikeras berkata bahwa fitrahnya perempuan (dalam pandangan agama) ya menjadi Ibu dan memiliki anak.
Lalu, bagaimana dengan perempuan-perempuan yang tidak Allah takdirkan menjadi Ibu? misalnya, seorang Ibu tidak bisa memiliki keturunan karena tidak memiliki rahim. Atau, seorang Ibu tidak dapat memiliki anak karena suami mandul? Bagaimana dengan perempuan-perempuan seperti itu. Seseorang yang menyebut saya feminis liberal berkata, “Ya, itu kan case yang beda buat perempuan yang kayak gitu. Al-ummu madrasatun ūlā kan aturan Islam buat perempuan mayoritas yang bisa punya anak”. Dengan berat hati, saya tuliskan jawaban saya di sini.
Kalau begitu, berarti Islam tidak merangkul seluruh perempuan? Kalau begitu, Islam tidak ramah untuk perempuan yang tidak memiliki rahim atau perempuan yang suaminya mandul? Padahal mereka tidak bisa merubah hal tersebut melainkan hal tersebut merupakan kehendak Allah?
Bukankah secara tidak langsung kamu menyebutkan bahwa Islam hanya untuk sebagian orang saja? Padahal Al-Qur’an menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Yang merangkul seluruh kalangan baik yang kuat dan lemah. Agama untuk seluruh alam.
Bagiku, rahmat seluruh alam ya juga termasuk merangkul perempuan-perempuan yang lemah. Mereka tidak dapat memilih memiliki rahim atau tidak. Mereka tidak dapat memilih akan mendapatkan jodoh yang bisa memiliki anak atau tidak. Maka, kita sebagai umat muslim harusnya sadar dan peka terhadap case-case seperti ini. Bukan memukul rata seluruh perempuan bahwa perempuan yang ideal adalah menjadi Ibu dan memiliki anak.
Pandangan Mubadalah dan Kyai Faqih
Sewaktu mengikuti Akademi Mubadalah Muda 2023 di Cirebon, saya berkesempatan untuk mengaji langsung bersama Kyai Faqih. Saat itu, beliau menyebut bait “Al-ummu madrasatun ūlā” yang berarti sebagai “Keluarga ada sekolah pertama”. Tentunya, ada penjelasan mengapa Kyai Faqih memilih tafsir tersebut.
Dalam kajian hukum Islam yang terkenal di pesantren, ada kaidah: “maa laa yatimm al-wajibu illaa bihii fahuwa wajibun”. Artinya, jika sebuah kewajiban tidak bisa terlaksana tanpa bantuan hal lain, maka hal lain itu juga menjadi wajib. Contohnya, tugas manusia untuk memakmurkan bumi, menghadirkan kehidupan yang baik, mendidik dan menyejahterakan keluarga, serta mengelola diri. Semua itu tidak akan berjalan dengan baik tanpa ilmu. Karena itu, belajar menjadi kewajiban.
Kaidah ini sejalan dengan perkataan Imam Syafi’i. Beliau menegaskan bahwa siapa pun yang ingin kebaikan dunia, ia harus memiliki ilmu. Siapa pun yang ingin kebahagiaan akhirat juga harus memiliki ilmu. Bahkan, jika seseorang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus, maka jalan utamanya adalah ilmu pengetahuan.
Dengan dalil-dalil yang sangat jelas ini, seharusnya pandangan yang membatasi hak pendidikan perempuan tidak perlu diikuti. Sayangnya, masih banyak orang yang salah paham dengan ungkapan “perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya”. Ungkapan ini bukan hadits, tetapi hanya kata-kata mutiara.
Maka, ia tidak boleh dijadikan alasan untuk membatasi peran perempuan, apalagi meniadakan kedudukannya sebagai khalifah di bumi dan haknya untuk belajar sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits lain.
Madrasah sebagai Lingkungan Belajar
Kalaupun ungkapan “perempuan adalah madrasah pertama” kita terima, makna yang lebih tepat adalah bahwa anak-anak membutuhkan lingkungan belajar yang baik sejak dalam rumah.
Kata madrasah di sini lebih tepat dipahami sebagai lingkungan belajar, dan perempuan hanyalah salah satu contoh. Menjadi ibu yang mendidik anak tentu merupakan pekerjaan mulia, tetapi itu bukan satu-satunya peran perempuan sebagai khalifah di bumi. Dan itu juga bukan tanggung jawab perempuan saja.
Lingkungan belajar yang baik bagi anak-anak adalah tanggung jawab bersama baik ibu maupun ayah. Anak membutuhkan teladan dari kedua orang tuanya, bukan hanya dari ibu. Dalam Islam, tugas mendidik anak terbebankan kepada ayah dan ibu secara bersama. Karena itu, ungkapan yang lebih tepat adalah: “Kedua orang tua adalah madrasah pertama bagi anak-anak mereka”, bukan hanya perempuan.
Refleksi
Saya sangat menentang tafsir tunggal bahwa bait “Al-ummu madrasatun ūlā, idzā a‘dadtahā, a‘daddta sya‘ban ṭayyiba al-a‘rāq” mengharuskan perempuan menjadi Ibu dan memiliki anak. Kalimat tersebut bukanlah suatu hadis atau Ayat-Al-QUr’an, sehingga tidak tepat jika menjadi sebuah aturan yang bernilai syariat.
Jika memang seorang perempuan dengan kesadaran penuh ingin menjadi Ibu dan memiliki anak, saya akan mendukung. Saya akan mendukung jika keputusannya menjadi pendidik anak-anak dan mengurus pekerjaan domestik. Pada sisi lain, saya sangat menghormati perempuan yang memilih untuk bekerja. Saya menghormati keputusan perempuan yang memang tidak ingin berkeluarga atau memiliki anak. Saya mendukung dan menghormati apapun pilihan perempuan yang berdasarkan pada pilihan sadar.
Pada akhirnya, saya hanya ingin bertanya dengan jujur: Islam mana yang sebenarnya kamu ikuti? Sebab Islam yang saya pelajari dan yang saya pegang teguh adalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang merangkul seluruh makhluk hidup tanpa kecuali. Jika bagimu Islam hanya berlaku bagi perempuan yang memenuhi satu bentuk kehidupan tertentu (menjadi Ibu dan memiliki anak), maka izinkan saya berkata bahwa Islam yang saya yakini tidak sesempit itu.
Islam yang saya anut adalah Islam yang membuka ruang bagi setiap perempuan untuk tetap dimuliakan sebagai manusia yang utuh. Jika sikap ini membuat saya dicap “feminis liberal” olehmu, maka saya tidak peduli. Karena bagi saya, mengikuti Islam yang rahmatnya untuk seluruh alam jauh lebih penting daripada mengikuti standar yang dibuat oleh seseorang dengan pemikiran budaya patriarki sepertimu. []










































