Mubadalah.id – Di tengah derasnya arus informasi, pesantren kerap menjadi objek penilaian publik yang serampangan. Cukup satu video pendek, satu potongan peristiwa, atau satu komentar dari orang yang tidak pernah merasakan hidup di pesantren. Lalu muncullah tuduhan bahwa pesantren memperbudak santri, kiai kaya dari amplop, santri bekerja tanpa upah, dan seterusnya.
Tuduhan-tuduhan ini tidak hanya ngawur, tetapi menunjukkan betapa jauhnya sebagian masyarakat dari pemahaman yang benar tentang pendidikan pesantren.
Bahkan ada jarak lebar antara apa yang dibayangkan publik dan apa yang sungguh-sungguh terjadi di pesantren. Masyarakat melihat santri menyapu halaman, membantu di dapur, mengurus keperluan pondok, atau melayani kiai dan nyai. Lalu mereka menyimpulkannya sebagai bentuk eksploitasi. Padahal yang mereka lihat hanya dari luar tanpa mengetahui nilai, tradisi, dan pendidikan di balik kegiatan itu.
Bagi santri, kegiatan-kegiatan tersebut bukan beban, bukan paksaan, dan bukan pula perbudakan. Mereka menjalankannya karena kesadaran bahwa ilmu tidak datang tanpa adab. Melayani guru, membantu pondok, menjaga kebersihan, dan mengatur aktivitas harian adalah bagian dari pendidikan karakter yang tidak bisa ditulis di kurikulum sekolah umum.
Di pesantren, belajar tidak hanya dilakukan di kelas. Melainkan ia hadir dalam setiap aktivitas harian yang membentuk kemandirian, kedisiplinan, dan kepekaan sosial.
Guru Mengajar dengan Ketulusan
Saya masih ingat betul masa mondok dulu. Para kiai, nyai, ustadz dan ustadzah mengajar kami dengan ketulusan yang luar biasa. Mereka datang saat hujan, tetap mengajar saat sakit ringan, dan mengulang pelajaran ketika kami tidak paham. Bahkan mereka tidak mengukur jasa mereka dengan amplop atau bayaran.
Melainkan, ada kebahagiaan tersendiri bagi mereka, ketika melihat santri tumbuh, berubah, dan mengamalkan ilmu. Tradisi keikhlasan itu tidak dibangun dalam semalam. Tapi ia lahir dari kultur panjang pendidikan Islam yang menjadikan ilmu sebagai amanah, bukan komoditas.
Karena itu, ketika ada orang luar yang menilai pesantren hanya dari satu cuplikan video, lalu menyimpulkan bahwa santri diperbudak, sesungguhnya merekalah yang tidak paham apa-apa.
Mereka tidak pernah melihat bagaimana santri saling mendukung, bagaimana hubungan santri-kiai bukan hanya hubungan guru-murid, tapi hubungan spiritual yang membentuk hidup seseorang. Bahkan, mereka tidak melihat bagaimana pesantren menjadi tempat ratusan ribu anak muda diselamatkan dari putus sekolah, kenakalan remaja, atau ketumpulan moral.
Pendidikan di pesantren adalah proses yang menghimpun tiga hal sekaligus yaitu ilmu, karakter, dan adab. Ketiganya berjalan beriringan. Saat santri belajar kitab kuning, mereka juga belajar cara hidup. Saat mereka menghafal pelajaran, mereka juga belajar mengatur diri.
Bahkan, saat mereka melayani pondok, mereka sedang belajar mengemban tanggung jawab. Jarang ada lembaga pendidikan di negeri ini yang mampu menggabungkan pola asuh, pendidikan moral, dan ilmu secara serapi pesantren.
Rendahnya Literasi tentang Pesantren
Sayangnya, literasi publik tentang pesantren masih sangat rendah. Orang mudah menghakimi sebelum memahami. Mudah menyebarkan komentar sebelum mencari informasi. Termasuk mudah menuduh sebelum bertanya.
Hal inilah yang menjadi masalah kita hari ini. Banyak orang ingin terlihat kritis, tetapi tidak mau bersusah payah meneliti. Mereka tidak tahu konteks, tidak memahami tradisi, tetapi paling cepat menganalisis.
Karena itu, penting bagi masyarakat untuk membedakan antara kritik dan fitnah. Kritik dibangun dari pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian. Fitnah lahir dari ketidaktahuan.
Sehingga, jika ingin menilai pesantren, datanglah ke pesantren. Lihat cara pendidikannya bekerja. Dengarkan cerita para santri. Saksikan bagaimana adab dan ilmu para santri praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah itu barulah menimbang secara adil.
Pesantren bukan lembaga yang sempurna. Tidak ada lembaga yang sempurna. Ada hal-hal yang perlu dibenahi, ada aturan yang perlu disesuaikan, ada oknum yang kadang merusak wajah pesantren. Namun menggeneralisasi semuanya sebagai tempat perbudakan adalah sikap yang tidak hanya keliru, tetapi juga merusak kontribusi besar pesantren bagi bangsa.
Di saat banyak institusi pendidikan gagal membangun ketangguhan moral generasi muda, pesantren justru menawarkan ruang bertumbuh yang lengkap yaitu kecerdasan, karakter, adab, dan spiritualitas.
Maka sebelum publik menghakimi, belajarlah memahami. Sebelum menuduh, carilah fakta. Dan sebelum menyimpulkan, lihatlah pesantren dengan mata yang lebih jernih.
Pesantren bukan tempat perbudakan. Ia adalah tempat pendidikan. Tempat melahirkan manusia yang matang secara ilmu dan jiwa. Tempat yang semestinya didukung, bukan dijatuhkan oleh prasangka dangkal. []











































