Mubadalah.id – Minggu, 9 November 2025, menjadi hari yang berbeda bagi saya. Pagi itu, saya bergabung dalam kegiatan “Cewek Bike-Bike” (CBB) di Cirebon, sebuah event yang mengumpulkan lebih dari seratus perempuan dengan sepeda masing-masing—ada yang sepeda lipat, sepeda gunung, bahkan sepeda tua.
Sekilas, kegiatan ini tampak seperti olahraga biasa. Namun bagi saya, CBB lebih dari itu. Ia adalah bukti nyata dari keberanian perempuan mengisi ruang yang selama ini sering dibatasi oleh rasa takut, standar sosial, dan penilaian publik.
Di antara kayuhan sepeda dan tawa peserta, ada rasa lega karena hadir tanpa tekanan, tanpa perlu menyesuaikan diri dengan ekspektasi siapa pun. Bahkan menjadi ruang yang aman, ramah, dan menyenangkan.
Inisiatif ini lahir dari pasangan suami-istri, Sigit BT dan Azizah (@sokbike), yang menjadikan CBB sebagai kampanye gaya hidup sehat. Namun, yang membuatnya istimewa adalah mempraktikkan apa yang mereka lakukan untuk diri sendiri, mereka perluas menjadi manfaat bagi banyak perempuan lain.
Tidak hanya mengajak berolahraga, mereka membuka ruang bagi perempuan untuk mencoba, belajar, dan merasa nyaman di dunia yang selama ini kerap menghakimi keberadaan mereka.
Menghidupkan Sepeda yang Lama Terpakir
Sigit menjelaskan bahwa tujuan utama CBB adalah menghidupkan kembali sepeda-sepeda yang lama terparkir dan mengenalkan olahraga bersepeda bagi perempuan yang belum pernah mencobanya.
Dalam praktiknya, ini adalah bentuk pemberdayaan bahwa perempuan diberikan kesempatan memulai sesuatu baru, menemukan kenyamanan, dan merasakan bahwa tubuh mereka, yang sering kali bekerja tanpa henti untuk memenuhi tuntutan pekerjaan, keluarga, dan masyarakat, juga layak dirawat.
Ruang publik memang tidak selalu netral bagi perempuan. Ada rasa was-was, ada penilaian, ada standar tertentu yang membuat perempuan tidak bebas bergerak. Dengan CBB, pasangan ini menggeser norma itu. Mereka menunjukkan bahwa membangun kehidupan sehat dapat dimulai dari rumah, dari relasi yang saling mendukung, dan kemudian meluas menjadi manfaat bagi orang lain.
Mengikuti CBB bukan sekadar soal mengayuh sepeda. Ini tentang merayakan tubuh sendiri. Ritme kayuhan yang santai, angin pagi Cirebon, dan tawa yang bersahutan membuat pengalaman bersepeda itu menjadi refleksi penting bahwa tubuh perempuan pantas bergerak untuk dirinya sendiri, bukan hanya untuk memenuhi tuntutan orang lain.
Saya juga menemukan pelajaran kecil dari outfit warna-warni yang wajib dikenakan oleh para peserta. Awalnya, saya ragu—saya cenderung memilih warna netral dan aman. Hasilnya? Warna-warna cerah itu ternyata ikut membangkitkan suasana hati, membuat saya merasa bagian dari kebahagiaan itu.
Karena kadang, perempuan memang butuh dipaksa untuk mencoba hal baru agar sadar bahwa kebahagiaan menunggu di luar pola lama.
Ada Games dan Doorprize
Selain bersepeda, CBB menghadirkan games, sesi foto, dan doorprize. Sehingga seluruh rangkaian membuat acara hidup dan akrab, meskipun banyak peserta baru bertemu pagi itu. Saya sendiri mendapat doorprize berupa sunscreen, yang menjadi bonus manis. Sekaligus pengingat bahwa apresiasi kecil juga penting dalam membangun pengalaman positif.
Yang paling mengesankan adalah seluruh kegiatan ini gratis. Panitia mengedepankan pada manfaat komunitas, bukan keuntungan finansial. Respons masyarakat menunjukkan tingginya antusiasme perempuan untuk terlibat dalam aktivitas sehat dan aman. Hal yang selama ini jarang disediakan ruangnya di kota kita.
CBB bukan sekadar event satu kali. Ia adalah gerakan kecil yang bisa berkembang menjadi tradisi rutin. Ia menegaskan bahwa ruang aman perempuan tidak selalu harus berupa forum formal, seminar, atau advokasi berat. Ruang aman bisa hadir dari hal sederhana yaitu tertawa, bergerak, dan merasakan kebebasan tanpa takut dihakimi.
Refleksi terpenting dari pengalaman ini adalah apa yang dimulai dari pasangan kecil dan rumah tangga Sigit BT dan Azizah yang saling mendukung menjadi manfaat bagi perempuan lain, memperluas ruang aman dalam masyarakat.
Karena kota yang sehat adalah kota yang memberi ruang bagi perempuan untuk bergerak. Ketika perempuan bergerak, mereka merasa merdeka, berdaya, dan energi positif itu menular ke lingkungan sekitarnya.
Kami tidak hanya mengayuh pedal, tapi juga mengayuh harapan untuk ruang publik yang inklusif. Di setiap kayuhan, ada keinginan untuk hadir tanpa takut, tanpa ragu, tanpa batasan sosial yang mengekang.
Semoga kegiatan seperti ini terus hadir, semakin banyak perempuan berani mencoba hal baru, dan prinsip kesaling selalu menjadi dasar setiap kegiatan yang memberi manfaat bagi masyarakat luas. []












































