Mubadalah.id — Di tengah kuatnya seruan nasional menghentikan praktik pemotongan atau pelukaan genital perempuan (P2GP), Sekretaris Alimat, Prof. Alimatul Qibtiyah, menegaskan bahwa gerakan perempuan tidak hanya bergerak lewat forum-forum formal. Tetapi berjalan melalui proses panjang yaitu mengubah perspektif, membangkitkan kesadaran, dan menuliskan pengalaman-pengalaman perempuan.
Hal itu ia sampaikan dalam Dialog Publik Nasional dan Peluncuran Buku Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti di Jakarta, Rabu, 19 November 2025.
Prof. Alim menyebutkan alasan mendasar penerbitan buku ini. “Kita tahu bahwa fatwa KUPI menyatakan sunat perempuan itu haram. Bukan hanya karena tidak pernah dicontohkan Nabi, tetapi karena praktik itu menimbulkan kerusakan,” ujarnya.
Sebagai organisasi penyangga KUPI yang fokus pada keadilan keluarga Islam, Prof. Alim memikul mandat untuk menerjemahkan fatwa ke ruang sosial. Sosialisasi dilakukan bukan hanya melalui perguruan tinggi, tetapi juga lewat jejaring perempuan seperti Aisyiyah, Muslimat NU, hingga komunitas non-akademik.
Dari proses inilah benih penulisan itu tumbuh. Setiap peserta didorong untuk menuliskan pengalaman termasuk pergulatan batin, hasil temuan lapangan, hingga testimoni warga.
“Kekuatan Alimat bukan hanya menyampaikan materi, lalu selesai. Tetapi menindaklanjuti, mengajak peserta menuliskan apa yang mereka alami,” jelas Prof. Alim.
Menuliskan Pengalaman Perempuan
Dalam proses ini, hanya sebagian kecil peserta yang akhirnya mengirimkan tulisan. “Menulis itu tidak semudah membalik telapak tangan,” katanya.
Menurutnya, pada tahun 2024, ruang digital belum seakrab sekarang. Keterampilan menulis belum didukung teknologi seperti kini. Maka ketika 20 peserta datang, yang menulis bisa hanya belasan. Namun dampaknya meluas.
“Saya selalu bilang, peserta memang 20 orang. Tapi gerbong mereka bisa ribuan,” ungkapnya.
Menurut Prof. Alim monev Alimat yang sebenarnya lebih tepat disebut ruang penulisan pengalaman perempuan menjadi momen krusial. Bahkan, dengan keahliannya di bidang komunikasi, mendampingi peserta mengolah data lapangan menjadi tulisan human interest.
Ia mengajarkan teknik dasar membuka tulisan yaitu membuat lead yang menggugah, memadukan bunyi, peristiwa, dan emosi. “Karena ini bukan jurnal. Ini tulisan populer yang harus menggugah hati dan menggerakkan,” ujarnya.
Makanya, para penulis diajak memperhalus sudut pandang. Lead tidak boleh datar. Mereka harus membuat pembuka yang memaksa pembaca berhenti dan merasa.
“Bukan fiksi. Tetapi fakta yang ditulis dengan cara yang menyentuh,” katanya.
Fakta Lapangan
Dalam proses penyusunan buku, kisah-kisah lapangan memukul logika dan perasaan sekaligus. Seorang peserta dari Jember, misalnya, setelah mengikuti sosialisasi langsung mendatangi puskesmas, mencari dukun, dan mengonfirmasi apakah praktik sunat di daerahnya masih berupa pemotongan klitoris. Hasilnya mengejutkan, praktik itu ternyata masih terjadi.
Di ruang lain, seorang dosen mensurvei seluruh mahasiswanya. Jawabnnya, mayoritas tidak mengetahui istilah P2GP. Tetapi mengenal sunat perempuan sebagai ritual tradisi.
Temuan-temuan inilah yang kemudian dilebur dalam tulisan penuh detail, perih, luka, keheningan, ketakutan, juga keberanian. “Kadang perempuan membawa trauma sendirian. Maka tulisan membantu mereka membongkar apa yang selama ini ditutup,” kata Prof. Alim.
Mengapa Perspektif Perempuan Penting?
Dalam proses pendampingan, Prof. Alim menekankan bahwa penulisan feminis bukan tentang siapa penulisnya, tetapi tentang cara pandangnya. Tulisan perempuan berangkat dari pengalaman tubuh, emosi, dan relasi. Ada refleksi, ada keberanian menunjukkan kegelisahan.
“Personal is political,” tegas Prof. Alim. Karena itu, tulisan perempuan bukan sekadar narasi. Ia adalah perlawanan terhadap struktur sosial yang melanggengkan praktik berbahaya termasuk P2GP.
Para penulis juga didorong memprioritaskan suara penyintas. Termasuk keberanian mereka, perjuangan mereka mencari keadilan, hingga upaya mereka melindungi generasi selanjutnya.
“Melalui rasa sakitnya, seorang perempuan bisa menemukan suaranya,” ujar Prof. Alim.
Prof. Alim tidak menutupi bahwa proses penyuntingan menjadi perjalanan emosional tersendiri. Banyak tulisan awalnya panjang, melompat-lompat, atau tidak fokus. Ada yang hanya tiga halaman, ada yang puluhan. Ia bersama dua editor lain harus mengolahnya menjadi karya yang utuh dan layak terbit.
“Mengeditnya benar-benar menguras emosi,” katanya. Sebab setiap kata membawa jejak penderitaan perempuan, cerita yang selama ini perempuan simpan dan baru sekarang keluar ke ruang publik.
Pada buku 2025, prosesnya lebih tertata. Ada batas 2.000–4.000 kata. Ada standar human interest yang ketat. Namun esensinya sama yaitu setiap tulisan harus membawa ruh pengalaman perempuan.
Buku ini terdiri dari tiga bagian yang memotret dinamika advokasi P2GP dari berbagai daerah:
Pertama, pergulatan hati nurani penulis saat menyaksikan praktik sunat dalam tiga generasi. Kedua, cerita perempuan yang berani melawan tradisi dan mengubah pandangan publik di desanya.
Ketiga, kisah para penggerak muda yang menyadarkan Gen Z bahwa tubuh perempuan bukan objek adat. Keempat, narasi dari pesantren, majelis taklim, kampus, dan komunitas perempuan yang mulai memahami bahwa praktik ini harus kita hentikan bersama.
Setiap tulisan adalah potongan realitas yang diramu dengan pendekatan sastrawi, namun tetap berpijak pada fakta lapangan.
Menulis sebagai Gerakan Perubahan
Prof. Alim menegaskan bahwa buku ini bukan hanya dokumentasi. Ia adalah jejak langkah gerakan sosial. Sebuah bukti bahwa perubahan tidak lahir dari seminar besar saja. Tetapi dari keberanian perempuan menuliskan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan.
“Ini adalah kerja kemanusiaan. Kita menulis agar tidak ada lagi anak perempuan yang tumbuh dari sakitnya praktik P2GP yang seharusnya tidak pernah mereka alami,” pungkasnya. []








































