Mubadalah.id – Dalam forum peluncuran buku dan dialog publik mengenai penghentian praktik pemotongan atau perlukaan genital perempuan (P2GP) yang digelar Alimat, Ketua Majelis Musyawarah Keagamaan KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, kembali menegaskan posisi KUPI sebagai salah satu kekuatan keagamaan yang konsisten memperjuangkan kemaslahatan tubuh perempuan.
Tetapi kali ini, ia tidak hanya bicara tentang dasar teologis atau hasil fatwa. Ia menyoroti pentingnya perubahan strategi ke depan yaitu KUPI harus dilibatkan sejak awal dalam setiap kebijakan negara yang menyentuh tubuh, martabat, dan keselamatan perempuan.
Ia menggarisbawahi bahwa sejumlah kebijakan publik masih berjalan tanpa konsultasi dini dengan lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki kepakaran dalam fikih perempuan.
“Kemenkes itu punya Majelis Syariah. Idealnya, sebelum kebijakan keluar, kita sudah duduk bersama. Bukan setelah aturan terbit, baru kita dipanggil,” ujarnya.
Meski KUPI selalu siap hadir kapan pun diminta, pola keterlibatan hanya di tahap akhir membuat tantangan semakin besa. Terutama ketika harus berhadapan dengan otoritas keagamaan lain yang memiliki pengaruh luas.
Namun Nyai Badriyah mengakui satu hal penting yaitu sikap teologis KUPI berbeda dengan sebagian kelompok Islam arus utama, hubungan KUPI dengan institusi-institusi besar Islam di Indonesia tetap terjaga dengan baik. Termasuk silaturahmi intelektual (silatul fikri) juga menjadi jembatan yang membuat dinamika perbedaan tetap dalam batas kewajaran.
“Ada hal-hal yang berbeda, iya. Tetapi itu bagian dari implikasi perjuangan. Perbedaan tidak harus berujung pada permusuhan,” tegasnya.
Karena itu, ia menilai pendekatan naratif yang digunakan buku Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Buku itu tidak hanya mengemukakan data medis atau pandangan fikih, tetapi menyuarakan prinsip kemaslahatan dengan cara-cara yang tetap beradab.
Ia menyebutnya sebagai bentuk komunikasi moral KUPI yaitu menyuarakan hal yang makruf dengan cara yang makruf.
Trilogi KUPI
Dalam penjelasannya, Nyai Badriyah kembali mengingatkan bahwa keseluruhan sikap KUPI terhadap P2GP berdiri di atas “Trilogi KUPI” tiga landasan metodologis yang menuntun ijtihad keagamaan mereka.
Trilogi itu mencakup cara pandang pada kemaslahatan, pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan keagamaan, serta keterlibatan laki-laki dan perempuan secara setara dalam proses keilmuan.
Ia menegaskan bahwa tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan hakiki. Keadilan itu hanya mungkin tercapai bila tubuh perempuan dipahami sebagai ayat Tuhan—ayat kauniyah—yang harus dibaca dengan jujur, ilmiah, dan penuh penghormatan.
P2GP, lanjutnya, merupakan praktik berbahaya yang tidak memiliki dasar dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. “Hal yang maksiat harus disampaikan dengan jelas dan tegas. Tetapi tidak perlu kasar,” katanya.
Metodologi ini pula yang membuat fatwa KUPI tentang P2GP menjadi salah satu fatwa yang paling kuat secara epistemologis di Indonesia. Ia telah melewati diskusi panjang sejak 2015, perdebatan intens, dan berbagai resistensi.
Tetapi konsistensi itu terbayar ketika fatwa resmi dikeluarkan pada Kongres KUPI II tahun 2022 dan menjadi rujukan penting dalam penyusunan regulasi nasional.
“P2GP adalah contoh bahwa sekalipun berhadapan dengan tembok besar, metodologi yang kuat membuat kita tetap bisa bergerak. Kita memilih narasi yang makruf, bukan narasi yang memecah,” ungkapnya.
Perjuangan Struktural Berhasil, Kini Saatnya Menyelesaikan Perjuangan Kultural
Nyai Badriyah mengakui bahwa lahirnya Peraturan Pemerintah terkait pelarangan P2GP adalah tonggak besar. Ia menyebutnya sebagai capaian struktural yang paling mendasar dalam perjuangan ini.
Namun ia memperingatkan bahwa PP tidak otomatis mengubah budaya. Perlawanan kultural justru masih panjang. Dari desa ke desa, dari forum keagamaan ke tenaga kesehatan, dari ruang keluarga hingga ruang kebijakan.
Karena itulah, kolaborasi harus semakin kita perkuat. Bukan hanya antara KUPI dan pemerintah, tetapi antara ulama perempuan, akademisi, aktivis, dan komunitas lokal. Ia mengapresiasi penuh para penulis buku dan jaringan yang terus bekerja di akar rumput.
“Kita berhasil sampai titik ini, tetapi angin dari kanan kiri semakin kencang. Maka kolaborasi harus semakin solid. Kita menyasar simpul-simpul strategi percepatan, tetapi tetap dengan cara yang ma’ruf,” ujarnya.
Peran ulama perempuan, menurutnya, menjadi krusial pada fase ini. Mereka dihormati di komunitasnya, dipercaya jamaahnya, dan mampu menjembatani bahasa fikih dengan bahasa keseharian masyarakat. Melalui mereka, perjuangan kultural dapat digerakkan dengan lebih halus, lebih dekat, dan lebih efektif.
Bergerak Menuju Peradaban yang Berkeadilan
Nyai Badriyah menegaskan bahwa KUPI tidak akan berhenti sampai P2GP benar-benar hilang dari budaya keagamaan dan sosial Indonesia. Perjuangan ini, katanya, bukan hanya tentang tubuh perempuan, tetapi tentang masa depan peradaban.
“Kita memilih cara yang makruf, metode yang ilmiah, dan argumentasi yang dapat kita pertanggungjawabkan. Dengan itu, insya Allah kita terus melangkah menuju cita-cita bersama yaitu peradaban yang berkeadilan dan keberkahan,” jelasnya.
Ia menutup dengan penghormatan penuh kepada para penulis, peneliti, dan penggerak lapangan yang bekerja tanpa lelah. Mereka adalah garda depan yang memastikan amanat kemaslahatan ini tidak berhenti di ruang seminar, tetapi hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. []






































