Mubadalah.id – Kecerdasan buatan (AI) menjanjikan percepatan, efisiensi, dan kemampuan memproses data dalam jumlah luar biasa. Dari perbankan digital hingga transportasi, dari kesehatan hingga pendidikan, AI hadir sebagai pendorong inovasi.
Namun, di balik itu, ada satu kenyataan mendasar, AI tidak memiliki nurani. Algoritma tidak memahami keadilan, empati, atau keberpihakan pada manusia. Tanpa kontrol moral, teknologi canggih ini berisiko memperkuat bias, meneguhkan ketimpangan sosial, dan melanggengkan dominasi kelompok tertentu. Teknologi tanpa etika bukan sekadar risiko teknis, bisa jadi menjadi ancaman sosial yang nyata.
Indonesia berambisi menempatkan diri di peta teknologi global. Dorongan Gibran Rakabuming Raka dalam safari politiknya, termasuk pada kunjungan Silaturahmi Nasional Alumni Menyongsong 3 Abad Buntet, Cirebon (23/10/2025), mendorong generasi muda dan santri menguasai blockchain, AI, robotik, dan bioteknologi.
Secara strategis, dorongan ini jelas, yaitu membangun kapasitas digital bangsa. Namun, tanpa persiapan sistematis, program-program tersebut berisiko menjadi simbol semata. Lulusan cakap secara teknis, tapi buta konteks sosial dan moral. Ahli robotik yang hebat bisa saja acuh terhadap implikasi sosial, AI yang pintar bisa merugikan yang lemah.
Data ekonomi menyoroti peluang sekaligus ketimpangan. Laporan PricewaterhouseCoopers (PwC, 2025) mencatat, pekerja dengan keterampilan AI mendapat kenaikan gaji rata-rata 56 persen pada 2024, naik signifikan dari 25 persen tahun sebelumnya. Kreativitas, analisis, dan literasi digital kini menjadi modal utama bertahan di era otomatisasi.
Namun survei Microsoft & LinkedIn (2024) menunjukkan, meski 92 persen pekerja Indonesia menggunakan AI dalam pekerjaan mereka, hanya 10,2 persen penduduk berpendidikan perguruan tinggi (BPS, 2025). Mayoritas tenaga kerja belum siap menghadapi disrupsi digital. Di sini terlihat paradoks AI, teknologi yang menjanjikan kemajuan sekaligus berpotensi memperlebar jurang sosial.
Teknologi Harus Selaras dengan Kemanusiaan
Ketimpangan kemanusiaan ini bukan sekadar masalah pendidikan, tapi juga akses dan budaya digital. Algoritma yang dikembangkan di negara maju membawa logika, asumsi, dan data yang tidak selalu relevan dengan konteks Indonesia. Dalam studi saya “Decolonizing Algorithms: Artificial Intelligence Bias and Digital Colonialism in Global South AI Governance” (Ghozali, 2025), saya menekankan bahwa penerapan AI tanpa adaptasi lokal dapat meneguhkan stereotip, memperkuat bias gender, regional, dan pendidikan, serta melemahkan kedaulatan digital.
Kasus Amazon (2014-2017) adalah contoh klasik. Sistem rekrutmen pada tahun 2017 berbasis AI menolak pelamar perempuan karena dilatih dari data resume dominan pria. Kata “wanita” atau universitas khusus perempuan dihukum algoritma. Ini bukan sekadar isu teknis, tapi ancaman struktural bagi keadilan sosial. AI seharusnya menjadi cermin masyarakat, bukan sekadar mesin efisiensi.
Flynn Coleman (2019) menegaskan, kemajuan teknologi harus selaras dengan nilai kemanusiaan. AI tidak boleh hanya memaksimalkan efisiensi atau keuntungan. Ia harus memperkuat martabat manusia, keadilan, dan kesempatan setara.
Di Indonesia, ini berarti teknologi harus inklusif, dari kota besar hingga desa terpencil, dengan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pengembangan. Literasi digital menjadi kunci. Masyarakat harus memahami cara kerja algoritma, potensi bias, dan implikasinya terhadap hak-hak mereka. Literasi digital bukan sekadar teknis, tapi kesadaran kritis dan etis.
Selain literasi, regulasi adaptif dan kolaborasi multi-stakeholder wajib ada. Pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bersinergi untuk memastikan AI berpihak pada rakyat, bukan sekadar pasar. Pendidikan teknologi, seperti dicita-citakan, harus menekankan penguasaan teknis sekaligus kesadaran sosial dan tanggung jawab moral. Tanpa itu, lulusan ahli AI bisa menjadi teknokrat pintar, tapi buta terhadap dampak sosial dan moral.
Ujian Moral Gelombang AI
Gelombang AI adalah ujian moral sekaligus sosial. Bagaimana memastikan akses dan keadilan? Memastikan tidak terjadi ketimpangan kemanusiaan. Bagaimana mencegah reproduksi bias algoritmik dan kolonialisme digital? Coleman (2019) menegaskan, nilai kemanusiaan harus menjadi kompas, bukan tambahan etik semu. Tanpa pedoman moral, AI hanyalah bayangan cerdas yang dingin, bukan cahaya bagi kesejahteraan sosial.
AI membawa kesempatan dan risiko bersamaan. Ia bisa mendorong inklusi sosial, percepatan inovasi, dan pemerataan kesempatan. Atau sebaliknya, menjadi alat reproduksi ketidakadilan. Jalan tengahnya: literasi, regulasi adaptif, dan partisipasi publik. Dengan kombinasi ini, AI dapat meningkatkan kualitas hidup, memperkuat solidaritas sosial, dan memperluas akses kesempatan. Tanpa itu, semua gembar-gembor AI hanyalah gema kosong.
Indonesia kini berada di persimpangan. Gelombang AI bisa menjadi jalan kemajuan inklusif atau tsunami sosial yang memperlebar ketimpangan. Tantangannya bukan sekadar mengejar kecanggihan teknologi. Ini tentang memastikan AI berpihak pada manusia, tidak menggantikan nilai, martabat, dan keadilan sosial. Gelombang AI adalah kesempatan sekaligus ujian: memperkuat kualitas hidup, membuka peluang baru, dan membuktikan bahwa kemajuan teknologi bisa selaras dengan keadilan, inklusivitas, dan tanggung jawab sosial.
AI bukan hanya mesin. Ia adalah cermin moral ujian sosial bangsa dan ketimpangan kemanusiaan. Bagaimana Indonesia menata literasi, regulasi, dan partisipasi publik akan menentukan apakah AI menjadi alat pemberdayaan atau instrumen dominasi. Gembar-gembor teknologi tidak boleh menutup mata terhadap realitas sosial dan moral. Inilah saatnya bangsa ini memutuskan, apakah gelombang AI akan menerangi masa depan atau membanjiri ketimpangan yang sudah ada. []












































