Mubadalah.id – Ada satu kegelisahan yang belakangan sering menempel di kepala saya sebagai dokter muda. Saya merasa memulai banyak hal sedikit lebih belakangan dibandingkan teman-teman sebaya di bidang lain. Ketika mereka bercerita tentang kontrak kerja tetap atau rencana menikah, saya masih bolak-balik dari ruang periksa ke ruang jaga. Di momen seperti itu, saya sering bertanya pelan dalam hati, “Apakah saya ini benar-benar merasa tertinggal?”
Pelan-pelan, saya sadar bahwa kegelisahan ini bukan hanya milik saya. Di zaman ketika setiap kabar baik berseliweran di layar gawai, hidup mudah sekali terlihat seperti lomba lari. Kita melihat teman sebaya yang tampak mapan dan berkeluarga, sementara diri sendiri merasa tidak ke mana-mana. Langkah kecil yang kita ambil seolah tidak sebanding dengan capaian orang lain.
Media sosial jarang memperlihatkan lembur yang melelahkan atau kecemasan yang datang menjelang tidur. Yang muncul justru foto wisuda, kantor baru, cincin tunangan, dan liburan singkat yang tampak sempurna. Pelan-pelan, kita mulai bertanya dan merasa tertinggal, “Hidupku kok masih begini-begini saja?”
Dari titik itu, saya mencoba berhenti sejenak. Saya menanyakan satu hal sederhana pada diri sendiri. “Benarkah semua yang terlambat selalu berarti gagal, atau cara saya memandang diri yang perlu diatur ulang agar lebih adil, termasuk kepada diri sendiri?“
Bukan Terlambat, Hanya Lintasannya Saja Berbeda
Setiap orang punya lintasan hidup yang unik. Ada yang cepat menemukan ritme, ada yang perlu waktu berputar lebih lama sebelum tahu ingin ke mana. Ketika kita menjadikan cepat atau lambatnya pencapaian sebagai satu-satunya ukuran, kita mudah merasa hidup tidak berkembang, karier tidak maju, dan diri sendiri tidak punya apa pun untuk dibanggakan. Dari sana, rasa lelah fisik, jenuh emosional, dan penat mental pelan-pelan menumpuk.
Di saat yang sama, kita sering merasa jauh lebih lembut kepada orang lain daripada kepada diri sendiri. Ketika kawan bercerita bahwa ia merasa tertinggal, kita sigap menenangkan: setiap orang punya waktunya. Namun ketika diri sendiri yang melangkah pelan, kata-kata yang muncul justru lebih keras. Kamu tidak cukup berusaha, kamu lambat, kamu kalah jauh. Keadilan yang biasa kita suarakan untuk orang lain, kadang tidak kita berikan kepada diri sendiri.
Padahal, jika hidup selalu diukur dengan standar orang lain, rasa tidak puas tidak akan pernah selesai. Ukuran syukur bergeser dari nikmat yang sudah kita miliki ke pencapaian orang lain yang terus kita jadikan pembanding.
Mengakui bahwa jalur hidup berbeda-beda tidak berarti kita berhenti berusaha. Kesadaran ini menolong kita fokus pada langkah yang memang bisa kita ambil, sambil menghormati perbedaan ritme satu kehidupan dengan kehidupan lain. Di sana, saya jadi belajar memandang diri dan orang lain secara sejajar. Tidak ada hidup yang lebih sah hanya karena lebih cepat, dan tidak ada yang layak diremehkan hanya karena lebih pelan.
Jalur Panjang di Dunia Kedokteran
Di antara banyak lintasan hidup, saya memilih jalur di bidang kesehatan khususnya kedokteran. Tahun demi tahun, saya habiskan untuk pendidikan, praktik, dan jaga. Sementara ketika menengok teman sebaya, rasanya saya yang paling tertinggal untuk mengejar pencapaian-pencapaian duniawi itu.
Namun ketika saya menengok perjalanan ini dengan lebih pelan, saya mulai melihat hal lain yang sebelumnya terlewat. Malam-malam jaga perlahan melatih kepekaan saya terhadap tanda-tanda kecil pada pasien.
Obrolan dengan keluarga pasien mengasah empati, sekaligus mengajarkan cara menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang lembut. Dari kelelahan yang datang bergantian, saya belajar bahwa tubuh memperhatikan tubuh adalah bentuk keadilan, bukan hanya dijadikan alat yang terus mendapat paksaan untuk kuat.
Pelan-pelan saya juga belajar berdamai dengan ritme yang berbeda. Bagi dokter muda seperti saya, jalur yang berputar dan terasa tertunda ini bukan hukuman, melainkan bagian dari cara hidup mematangkan langkah. Semua yang terlambat bukan berarti gagal.
Terkadang, kita hanya sedang diminta menyiapkan diri sedikit lebih lama. Kalimat itu bukan sekadar penghiburan, melainkan cara baru memandang proses yang sedang berlangsung. Kemudian saya belajar bahwa menjadi bermanfaat tidak selalu berarti datang paling cepat, tetapi hadir dengan kualitas yang paling siap.
Memberi Jeda dan Merawat Diri
Meski begitu, rasa cemas tentang masa depan tentu tidak hilang begitu saja. Wajar jika sesekali kita merasa takut soal karier, pernikahan, atau ekspektasi keluarga. Wajar juga jika ada hari ketika kita merasa langkah sendiri terlalu kecil dibandingkan milik orang lain. Namun di tengah keriuhan itu, kita tetap berhak memberi diri sendiri jeda.
Jeda tidak selalu berarti berhenti total. Kadang, jeda hadir sesederhana menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kita mengajak tubuh berhenti sebentar dari ketegangan. Kalau perlu, kita ulangi beberapa kali sampai dada terasa sedikit lebih lapang.
Setelah itu, kita bisa duduk sebentar dan menuliskan hal-hal yang sebenarnya sudah berhasil kita lakukan: pendidikan yang kita tempuh sejauh ini, tantangan yang pernah kita lewati, orang-orang yang pernah kita bantu, atau keputusan berat yang sanggup kita ambil. Sering kali, pencapaian-pencapaian kecil itu tertimbun oleh kebiasaan membandingkan diri.
Sekecil apa pun langkah yang sudah kita ambil, semuanya tetap layak diapresiasi. Kita bisa merayakannya dengan cara sederhana: menuliskannya di jurnal, mengucap syukur dalam doa, atau sekadar mengizinkan diri tersenyum karena berhasil bertahan sampai hari ini. Kalimat-kalimat lembut kepada diri sendiri mungkin terdengar sepele, tetapi pelan-pelan bisa menggeser cara kita memandang hidup. Kita belajar bahwa bersikap hangat kepada diri bukan bentuk kemalasan, melainkan bagian dari tanggung jawab menjaga amanah tubuh dan jiwa.
Ketika rasa syukur mulai bertunas, kecemasan pun perlahan kehilangan cengkeramannya. Kita tidak lagi melihat hidup sebagai deret kegagalan, melainkan rangkaian proses yang masih terus berjalan. Kita menyadari bahwa diri juga berhak diperlakukan sebagai subjek yang berharga, bukan sekadar makhluk yang harus selalu mengejar dan mengimbangi orang lain.
Tidak Semua yang Berjalan Lambat Berarti Gagal
Pada akhirnya, hidup tidak menawarkan satu garis waktu yang sama untuk semua orang. Ada yang menikah lebih dulu, ada yang menyelesaikan studi lebih cepat, ada yang kariernya melesat di usia muda, dan ada yang baru menemukan jalannya setelah berputar cukup lama. Tidak ada satu pun yang otomatis lebih mulia hanya karena lebih cepat.
Menunda panen tidak serta merta membuat ladang gagal. Kadang, tanah memang butuh lebih banyak waktu untuk menyerap air. Akar butuh sedikit waktu lagi untuk menguat. Tunas butuh sinar yang tepat untuk tumbuh. Demikian juga dengan hidup. Apa yang tampak terlambat di mata orang lain bisa jadi hanya fase persiapan yang sedang bekerja diam-diam.
Bagi dokter muda seperti saya, dan siapa pun yang merasa jalannya berputar, kelambatan bukan selalu tanda kegagalan. Kelambatan bisa menjadi ruang untuk belajar mengenali diri, memperdalam niat, dan mematangkan cara kita melangkah. Kita boleh lelah, kita boleh berhenti sebentar, tetapi kita tidak perlu mencoret nilai diri hanya karena belum sampai di titik yang sama dengan orang lain.
Semua yang terlambat bukan berarti gagal. Barangkali, kita hanya sedang diajak berjalan dengan ritme yang berbeda, agar ketika sampai nanti, kita benar-benar siap berdiri di sana, lebih utuh, lebih tenang, dan lebih adil pada diri sendiri maupun pada orang lain. []












































