Mubadalah.id – Perusakan hutan, pencemaran sungai, dan perampasan lahan pertanian terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Aktivis lingkungan, menegaskan bahwa kerusakan ekologi tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga berdampak langsung pada tubuh dan kehidupan perempuan.
Dalam momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), mereka menyoroti bahwa darurat ekologis adalah darurat bagi perempuan, terutama perempuan adat, petani, dan buruh tambang.
Perempuan adat adalah mereka yang berada di garis depan penjagaan hutan dan sumber daya alam. Namun ekspansi tambang dan perkebunan kerap merusak wilayah adat dan memicu kekerasan terhadap perempuan.
Data Komnas Perempuan mencatat 115 kasus konflik sumber daya alam yang melibatkan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2001–2021.
Di Sumatera Utara, perempuan masyarakat adat Desa Sihaporas, Simalungun, mengalami kriminalisasi saat menolak penebangan hutan oleh perusahaan perkebunan.
Di Papua, Hutan Perempuan di Teluk Youtefa menyusut lebih dari 50 persen akibat pembangunan dan pencemaran. Bahkan, penurunan hasil laut serta paparan logam berat meningkatkan risiko keracunan dan gangguan reproduksi bagi perempuan Enggros.
Dengan hilangnya hutan juga berarti hilangnya ruang aman perempuan adat untuk berbagi pengetahuan, menjaga budaya, dan melindungi diri dari kekerasan. Sedangkan perempuan adat selama ini masih menjadi target intimidasi, pelecehan, dan kekerasan fisik saat mempertahankan tanah leluhur.
Sementara itu, perempuan petani menghadapi situasi serupa. Mereka mengerjakan sebagian besar pekerjaan pertanian, tetapi hanya sedikit yang memiliki hak atas lahan. Proyek food estate, perkebunan skala besar, dan proyek energi kerap memicu perampasan tanah.
Solidaritas Perempuan mencatat kenaikan 100 persen konflik agraria di era Presiden Jokowi, dengan 2.939 kasus yang berdampak pada 1,7 juta warga, termasuk perempuan.
Di Poso, Sulawesi Tengah, perempuan petani diusir dari lahan ketika Bank Tanah mengklaim tanah eks-HGU perusahaan besar. Mereka yang melawan dikriminalisasi, sementara keluarga mereka jatuh dalam kemiskinan.
Oleh sebab itu, kerusakan lingkungan justru memperberat beban perempuan petani, mulai dari gagal panen hingga meningkatnya risiko penyakit akibat pencemaran air dan tanah.
Pertambangan
Bahkan di sektor pertambangan, perempuan buruh tambang menghadapi tekanan berlapis: kerusakan ekologi, risiko kerja tinggi, upah rendah, hingga kekerasan seksual.
Di Kalimantan Timur, dengan 5,3 juta hektare lahan konsesi tambang batu bara, perempuan buruh tambang melaporkan pelecehan seksual dan intimidasi yang sulit mereka laporkan karena ancaman kehilangan pekerjaan.
Di Maluku Utara, 11 warga adat Maba Sangaji ditahan setelah memprotes pencemaran sungai oleh perusahaan tambang. Di antara mereka ada perempuan yang hanya berupaya menjaga sumber air minum keluarga.
Pencemaran sungai, tanah rusak, dan udara berdebu berdampak langsung pada kesehatan perempuan dan anak-anak. Kematian anak di lubang tambang serta penyakit akibat pencemaran disebut aktivis sebagai bentuk kekerasan yang tidak tercatat.
Aktivis menilai darurat ekologi dan kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan yang saling terkait, didorong oleh sistem kuasa patriarki dan praktik ekstraktif yang mengutamakan keuntungan.
Pada momentum 16 HAKTP, mereka mendesak pemerintah mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat, mereformasi regulasi agraria agar perempuan petani memperoleh hak atas tanah, serta memperketat aturan bagi perusahaan tambang yang merusak lingkungan.
Perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak operasional mereka/ Sementara masyarakat kita dorong untuk terus mendukung perjuangan perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Aktivis menegaskan bahwa perlindungan perempuan tidak dapat kita pisahkan dari perlindungan alam. Bahkan, perubahan kebijakan dan pola pikir kita butuhkan untuk memastikan keadilan bagi perempuan dan kelestarian lingkungan. []






































