Mubadalah.id – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kembali menegaskan perannya sebagai kekuatan moral dan intelektual dalam lanskap keagamaan dan kebangsaan Indonesia. Melalui Halaqah Kubra yang digelar di Hall Convention UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (12/12/2025), KUPI membuka ruang refleksi mendalam untuk menyongsong KUPI ke-3 yang dijadwalkan berlangsung pada 2027.
Forum ini menghadirkan sejumlah tokoh nasional, di antaranya Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, serta Ketua Majelis Musyawarah KUPI Nyai Hj. Badriyah Fayumi. Sejak awal, halaqah ini bukan sebagai pertemuan seremonial, melainkan sebagai ruang konsolidasi gagasan, nilai, dan arah gerakan.
Dalam sambutannya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas menegaskan bahwa kehadiran KUPI hari ini menunjukkan wajah lain otoritas keagamaan Islam di Indonesia otoritas yang berangkat dari pengalaman, pengetahuan, dan suara perempuan.
“Hari ini, KUPI hadir membuktikan bahwa gerakan ulama perempuan Indonesia bukan sekadar gerakan keilmuan. Tetapi gerakan peradaban,” ujar GKR Hemas di hadapan ratusan peserta.
Menurutnya, selama ini pengalaman perempuan kerap diletakkan di pinggiran diskursus keagamaan. Padahal, pengalaman tersebut justru merupakan sumber penting dalam membangun otoritas keagamaan yang adil dan relevan dengan realitas sosial.
“Suara perempuan, pengalaman perempuan, adalah bagian dari sumber otoritas keagamaan Islam yang setara dan harus kita akui,” tegasnya.
Ma’ruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki
Selain itu, GKR Hemas menyoroti tiga spirit dasar yang menjadi fondasi gerakan KUPI: Ma’ruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki. Menurutnya, ketiga nilai ini sangat relevan di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi berbagai krisis sekaligus.
“Kita sedang menghadapi disrupsi sosial, krisis lingkungan, dan menguatnya konservatisme yang sering kali membatasi ruang gerak perempuan,” katanya.
Dalam situasi semacam ini, lanjut GKR Hemas, bangsa Indonesia membutuhkan kepemimpinan moral yang jernih kepemimpinan yang tidak hanya berbicara tentang teks. Tetapi juga berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.
Ia menilai pendekatan keulamaan perempuan yang dikembangkan KUPI menawarkan alternatif penting: tafsir keagamaan yang berakar pada nilai-nilai Islam sekaligus peka terhadap realitas sosial kontemporer. []






































