Mubadalah.id – Saya tidak sedang membaca buku teori Pancasila ketika kesadaran itu muncul. Saya juga tidak sedang duduk di ruang kuliah atau mengikuti diskusi kebangsaan. Kesadaran itu justru datang saat saya menonton sebuah video singkat di Reels Instagram milik akun @azmi_azmi. Video tersebut merekam suasana Natal di Dusun Thekelan, Salatiga.
Warga lintas agama terlihat saling membantu, menjaga keamanan, menyapa dengan senyum, dan berdiri berdampingan tanpa rasa curiga. Video itu sederhana, tetapi meninggalkan kesan yang dalam. Di tengah media sosial yang sering terpenuhi kemarahan dan perdebatan identitas, Salatiga justru menampilkan wajah Indonesia yang tenang dan dewasa. Di sanalah saya merasa Pancasila di kota Salatiga benar benar hidup.
Salatiga memang kerap disebut sebagai kota toleran. Namun toleransi di kota ini tidak berhenti sebagai label atau penghargaan administratif. Ia hadir dalam praktik keseharian. Ketika merayakan Natal, warga non Kristen tidak merasa terancam.
Mereka justru hadir sebagai bagian dari suasana. Mereka membantu mengatur lalu lintas, menjaga lingkungan, dan memastikan ibadah berjalan aman. Tidak ada rasa paling benar. Tidak ada keinginan untuk menonjolkan identitas secara berlebihan. Yang ada adalah kesadaran bahwa hidup bersama menuntut saling menjaga.
Pancasila adalah Cara Hidup
Apa yang terlihat Pancasila di Kota Salatiga menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara yang dihafalkan sejak sekolah dasar. Pancasila adalah cara hidup. Ketuhanan tidak kita maknai secara sempit, tetapi kita jalani dengan penghormatan terhadap keyakinan orang lain.
Kemanusiaan terwujudkan melalui empati dan kepedulian. Persatuan tidak terbangun lewat penyeragaman, tetapi lewat penerimaan atas perbedaan. Dalam suasana seperti ini, Pancasila tidak terasa sebagai doktrin negara, melainkan sebagai nilai bersama yang tumbuh dari bawah.
Dimensi sila pertama Pancasila pun menemukan makna yang lebih substantif. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dimaknai secara eksklusif, melainkan sebagai landasan etis untuk menghormati keyakinan orang lain.
Pola keberagamaan ini sejalan dengan temuan Lista dkk. (2023) yang menegaskan bahwa internalisasi nilai Pancasila melalui pendidikan dan interaksi sosial mampu membentuk kesadaran etika, hukum, dan toleransi di kalangan generasi muda. Keberagamaan tidak menjadi sumber dominasi, melainkan energi moral untuk menjaga kemanusiaan.
Representasi nilai Pancasila di Salatiga juga tercermin melalui ruang publiknya. Keberadaan Alun-Alun Pancasila, misalnya, bukan sekadar penamaan simbolik, tetapi mengandung makna sosial yang lebih dalam.
Penelitian Putra dan Therik (2022) menunjukkan bahwa Alun-Alun Pancasila Salatiga berfungsi sebagai representasi tata nilai masyarakat, di mana simbol kepahlawanan, solidaritas, dan kebersamaan melekat pada pengalaman warga sehari-hari. Ruang publik ini menjadi arena interaksi lintas identitas yang memungkinkan nilai persatuan dan kemanusiaan dialami secara langsung, bukan sekadar diajarkan.
Jalan Etis Pancasila
Menariknya, momen tersebut justru saya temukan lewat media sosial. Selama ini media sosial sering kita tuduh sebagai ruang yang memperuncing perbedaan. Namun video Salatiga menunjukkan sisi lain.
Media sosial juga bisa menjadi ruang penyebaran nilai baik. Reels Instagram itu bukan sekadar konten viral, melainkan dokumentasi sosial tentang bagaimana Pancasila dijalankan dalam kehidupan nyata. Bagi generasi muda, tayangan seperti ini jauh lebih bermakna daripada ceramah panjang tentang ideologi.
Pemaknaan ini sejalan dengan pandangan KH. As’ad Said Ali dalam bukunya Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. As’ad menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar konsensus politik, melainkan jalan etis untuk menjaga kemaslahatan bersama dalam masyarakat yang majemuk.
Pancasila, menurutnya, bekerja efektif bukan melalui pemaksaan ideologis, melainkan melalui internalisasi nilai keadilan, moderasi, dan saling menghormati. Praktik kerukunan Natal di Salatiga menunjukkan bagaimana Pancasila berfungsi sebagai perekat sosial yang mencegah konflik dan memperkuat kohesi masyarakat.
Fondasi Kebangsaan
Di banyak tempat, Pancasila sering menjadi slogan politik. Ia terucapkan dalam pidato, terpasang di baliho, dan menjadi alat legitimasi. Namun dalam praktik, nilai nilainya justru sering kita langgar. Salatiga memberi pelajaran berbeda.
Pancasila tidak banyak tersebut, tetapi dijalani. Tidak ada narasi besar tentang ideologi, tetapi ada tindakan kecil yang konsisten. Menjaga ibadah tetangga yang berbeda agama mungkin terlihat sepele, tetapi di situlah fondasi kebangsaan dirawat.
Tentu saja, kerukunan seperti ini tidak muncul dengan sendirinya dan tidak boleh kita anggap selesai. Tantangan ke depan tetap ada. Politisasi agama, penyebaran ujaran kebencian, dan infiltrasi paham eksklusif bisa menggerus kepercayaan sosial jika tidak kita antisipasi.
Karena itu, pengalaman Salatiga penting untuk terus tersebarkan. Bukan untuk kita puja secara berlebihan, tetapi untuk kita jadikan cermin bahwa Pancasila bisa bekerja jika diberi ruang dalam kehidupan sehari hari.
Pancasila tidak hidup di teks, tetapi di relasi antar manusia. Ia hadir dalam sikap saling menghormati, dalam kesediaan menjaga satu sama lain, dan dalam keberanian menerima perbedaan tanpa rasa takut. Dari sebuah video singkat di Reels Instagram, Salatiga mengajarkan bahwa Indonesia yang rukun bukan utopia. Ia nyata, ada, dan sedang dijalani. Tinggal apakah kita mau belajar dan menirunya. []


















































