Sampai pertengahan tahun 2020, lebih dari 100 orang, di wilayah III Cirebon, yang ditangkap Densus 88 Anti Teror Mabes Polri karena terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia. Beberapa diantaranya meninggal dunia baik di tempat kejadian perkara, maupun pada saat penangkapan atau pada saat menjalani masa hukuman di penjara, karena sakit.
Di samping itu, beberapa orang juga di duga bergabung dengan ISIS di Syria. Sejak tahun 2010, juga tercatat lebih dari 5 kali ancaman bom di wilayah III Cirebon dan beberapa DPO teroris ditangkap Densus 88 di wilayah III Cirebon.
Angka ini tentu terlihat sangat kecil prosentasenya, jika disandingkan dengan jumlah penduduk di wilayah III Cirebon yang mencapai kurang lebih 6 juta jiwa. Namun jika dilihat sebagai fenomena gunung es, maka bisa dilihat berapa banyak orang yang sudah terpapar paham radikal dan intoleran ini. Karena orang yang ditangkap Densus 88, maka secara hukum dia melanggar undang-undang nomor 15 tahun 2003 yang direvisi menjadi undang-undang nomor 5 tahun 2018.
Sementara dari sisi pemahaman dan keyakinan, yang bersangkutan sudah memiliki pemahaman intoleran, menganggap hanya diri dan kelompoknya saja yang benar. Sementara yang lain salah bahkan kafir, karena hidup dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam sehingga dianggap thagut.
Lebih jauh mereka menginginkan perubahan pada sistem pemerintahan dan menggantinya dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah. Sehingga dengan berbagai cara, mereka berupaya merubah sistem pemerintahan ini, walaupun dengan cara kekerasan.
Penelitian yang dilakukan Fahmina institute di wilayah III Cirebon (Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir menemukan 51 kasus intoleransi, dalam beragam bentuknya. Temuan lainnya adalah makin maraknya benih-benih radikalisme di tengah-tengah masyarakat.
Seperti ditemukannya buku ajar untuk anak PAUD di Kabupaten Cirebon yang berjudul “Anak Islam Suka Membaca”. Buku ini di dalamnya memuat narasi kekerasan seperti “Garuda nama apa”, “Selesai raih bantai Kyai”, “Sahid di medan Jihad” dan lain sebagainya.
Fahmina juga mencatat terdapat buku ajar untuk anak SMA yang membolehkan membunuh orang tuanya karena berbeda paham. Temuan lainnya adalah adanya beberapa anak SMA di salah satu sekolah yang tidak mau mengikuti upacara bendera dan tidak mau mengikuti pelajaran Sejarah Indonesia karena dianggap musyrik.
Narasi-narasi yang mengarah pada radikalisme juga berkembang di masyarakat, seperti musik itu haram, orang yang biasa ziarah kubur atau tahlil dianggap sebagai ahli bid’ah dan musyrik sehingga boleh dibunuh. Mengikuti perayaan tahun baru masehi dengan membunyikan terompet itu haram. Juga muncul narasi yang melarang bahkan dikatakan haram terlibat dalam pesta demokrasi, terutama pada pemilu 2019.
Upaya menyebarkan paham intoleran juga dilakukan oleh oknum guru, pada saat pendidikan jarak jauh (daring) dengan mengarahkan siswa untuk merujuk dan mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh ustad-ustad di media sosial yang keras dan memiliki paham intoleran.
Data ini menunjukkan bahwa wilayah Cirebon masih menjadi basis persemaian kelompok radikal. Hal ini membuktikan apa yang disampaikan beberapa peneliti dan akademisi. Seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Jakarta) yang pada tahun 2010 menghadiri salah satu acara di Cirebon. Beliau mengatakan bahwa Cirebon berpotensi menjadi daerah persemaian dan perekrutan kelompok radikal Jama’ah Islamiyah. Demikian juga Dr. Adnan Anwar (Wasekjen PBNU 2010-2015) mengatakan bahwa Cirebon zona merah perekrutan kelompok radikal.
Tentu kita berharap Cirebon kembali menjadi daerah yang toleran, ramah dan damai sebagaimana diajarkan para pendirinya. Kondisi kehidupan yang pernah kita rasakan sampai sebelum masa reformasi. Di mana masyarakat Cirebon bisa hidup rukun damai meski dalam perbedaan keyakinan, suku dan etnis. Semua warga Cirebon memahami dan sadar bahwa Cirebon dihuni oleh orang dengan berbagai etnis, agama, budaya dan lain sebagainya. Karena Cirebon merupakan daerah tujuan urbanisasi bagi masyarakat di sekitarnya bahkan lintas propinsi.
Upaya untuk mengembalikan kondisi Cirebon, merupakan tanggungjawab semua pihak. Kita tidak bisa menyerahkan hanya kepada Densus 88 saja. Sebab Densus 88 hanya bertugas menangkap mereka yang dianggap melanggar hukum terutama UU nomor 5 tahun 2018. Kita juga tidak bisa menyerahkan kepada pemerintah daerah saja, karena keterbatasan meraka terkait SDM dan SDA yang dimiliki.
Pelibatan semua pihak, terutama masyarakat desa adalah solusi penting yang bisa dilakukan saat ini. Sebab di sisi lain perekrutan yang dilakukan kelompok teroris juga banyak dilakukan di tingkat desa. Sehingga desa menjadi basis pertahanan utama agar warganya tidak terbawa pada paham-paham yang dipropagandakan kelompok teroris.
Masyarakat desa harus dikuatkan pengetahuannya tentang apa dan bagaimana terorisme. Bagaimana tahapan seseorang menjadi teroris. Ciri-ciri orang terpapar paham teroris, serta bentuk-bentuk aksi teroris yang terjadi selama ini.
Intervensi yang bisa dilakukan dalam bentuk penguatan pemahaman masyarakat yang disebut dengan deteksi dini radikalisme agama. Dengan deteksi dini masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman secara benar, apa yang harus mereka hindari dan apa yang harus mereka lakukan ketika tetangga atau keluarganya terlihat mulai terpapar paham-paham intoleran dan radikal.
Dalam deteksi dini, masyarakat juga diberi pengetahuan agar tidak menstigma orang yang memiliki kemiripan secara fisik dengan kelompok teroris. Karena radikalisme harus dibuktikan dengan pemikiran maupun tindakan, tidak sekedar pada penampilan saja.
Dalam konteks desa, deteksi dini penting untuk segera diterapkan. Deteksi dini adalah sistem yang ditujukkan bagi warga desa untuk dapat mendeteksi tanda dan gejala awal ekstrimisme kekerasan dan melakukan penanganan sedini mungkin ditingkat desa dengan sistem rujukan ditingkat Kecamatan dan Kabupaten. Dengan deteksi dini, diharapkan muncul respon cepat dan penanganan sedini mungkin yang dilakukan masyarakat, sehingga bisa mencegah dan menurunkan tingkat resiko terhadap masyarakat terutama kelompok rentan (perempuan, kaum muda dan anak-anak).
Dengan deteksi dini, diharapkan masyarakat memiliki pengetahuan dan kesiapan dalam menjaga warganya agar tidak terpapar paham intoleran dan radikal. Apalagi paham intoleran, terkadang mengelabui masyarakat karena dibubuhi dalil-dalil agama.
Sehingga tidak heran kalau paham intoleran ini, sangat mudah mempengaruhi masyarakat. Apalagi saat ini, kondisi sosial masyarakat desa sudah jauh berubah bila dibandingkan dengan sebelum reformasi. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, turut andil pada perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat desa.
Tradisi masyarakat desa yang sebelumnya bergantung pada kyai, atau tokoh masyarakat dalam segala hal, secara perlahan bergeser ke teknologi informasi. Kharisma kyai dan tokoh masyarakat diambil alih oleh teknologi informasi. Melalui internet, masyarakat mendapatkan informasi dan pengetahuan yang diinginkannya.
Sehingga ikatan batin antara kyai atau tokoh masyarakat yang sebelumnya terjalin melalui komunikasi intensif, di mana warga menanyakan berbagai hal kehidupan kepada kyai atau tokoh masyarakat, perlahan mulai berkurang bahkan hilang. Karena semua persoalan warga, solusinya kini didapatkan melalui media sosial. Termasuk masalah agama, mereka mendapatkannya melalui teknologi komunikasi baik televisi maupun media sosial.
Perubahan kultur ini, membuat tokoh masyarakat tidak bisa lagi memberikan arahan dan kontrol warganya secara langsung. Karena media yang mensuplai pengetahuan kepada masyarakat tersebut, langsung masuk dan bisa diakses kapanpun dan dimanapun di saat mereka membutuhkannya. Masyarakat tidak lagi membutuhkan kyai hanya untuk mengetahui dalil suatu masalah. Cukup dengan membuka HP dan menuliskan apa yang inginkannya, maka HP akan menyuguhkan berbagai macam dalil agama yang diinginkan.
Dalam konteks ini penting untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait bagaimana memilih dalil yang sesuai dengan kondisi dimana dia tinggal dan juga aman dan diterima orang lain. Masyarakat harus punya filter mana yang baik dan mana yang buruk di media sosial. Masyarakat harus tahu bahwa media sosial ibarat hutan belantara di mana dialah yang harus bisa menjaga diri dari serangan informasi yang justru akan menjerumuskan dan informasi mana yang akan menyelamatkan dirinya.
Pelibatan masyarakat dalam mencegah radikalisme juga bisa dilakukan dengan mengembalikan fungsi-fungsi sosial, agama dan budaya di desa. Tradisi kumpul dalam berbagai bentuknya penting untuk kembali dihidupkan. Karena tradisi ini bisa mengikat batin antar warga untuk saling mengenal lebih jauh antara satu dengan lainnya.
Dengan kegiatan ini antar warga bisa saling mengetahui apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh tetangganya. Kegiatan mengaji setelah sholat maktubah dan maghrib mengaji juga penting dilakukan. Kegiatan mengaji ini bisa memberikan pengetahuan keagamaan kepada anak-anak dan pemuda.
Sehingga ketika di kemudian hari mereka berkenalan dengan paham keagamaan yang baru, minimal dia bisa mendiskusikan dalam dirinya. Sehingga ketika paham keagamaan tersebut berbeda dengan pemahaman yang dulu diterima dari kyai saat di musholla atau madrasah dia bisa menanyakan kepada kyainya tersebut dan tidak menerima begitu saja.
Dengan menghidupkan dan menggerakkan kembali tradisi sosial-keagamaan masyarakat, diharapkan secara perlahan mampu memutus mata rantai persemaian radikalisme agama. Dengan demikian, diharapkan dalam beberapa tahun kedepan kehidupan yang diidamkan semua pihak bisa terwujud. Wallahu a’lam. []