Mubadalah.id – Sudah tak asing lagi bagi yang menggeluti dunia filsafat akan mengenal tiga filsuf paling berpengaruh kedi barat. Ketiga filsuf itu berasal dari Yunani: Socrates, Platon, dan Aristoteles. Ketiganya dikenal sebagai pemikir besar pada zamannya. Kecerdasan mereka melampaui zaman. Tak heran jika sampai saat ini pemikiran filsafat ketiganya masih dipelajari dan namanya masih dikenang meskipun hidup jauh puluhan abad lamanya dengan kita.
Namun apakah kunci dari semua pemikiran filsuf mereka? Bukankah ukuran otak mereka sama seperti kita? Tak mungkin juga kan para filsuf itu kepala dan otaknya lebih besar daripada kita? Bakalan lucu kalau begitu, akan seperti alien. Tapi mengapa pemikiran filsuf bisa lebih canggih daripada kita dan mereka bisa mempengaruhi banyak filsuf setelahnya sehingga dunia mengakuinya sebagai filsuf paling berpengaruh sepanjang masa. Apa kuncinya?
Salah satu kunci yang membuat pemikiran filsuf mereka membumi, dalam pandangan saya, yaitu berhubungan dengan perihal menikah. Hah menikah? Apa hubungannya menikah dengan pemikiran filsuf? Bagi kita yang bertanya begitu maka ini jawaban dari Socrates: “Dengan segala cara. Menikahlah, jika mendapatkan istri baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri buruk maka akan menjadi seorang filsuf.”
Lantas jika begitu maka semua orang berpotensi menjadi filsuf! Tapi apakah hanya dengan menikah seseorang bisa menjadi filsuf? Kenyataannya banyak orang yang sudah menikah tapi hidupnya biasa-biasa saja, kenapa Socrates mengatakan seseorang yang memiliki istri buruk akan menjadi seorang filsuf? Kemungkinan besar dikarenakan seseorang yang memiliki pasangan yang tidak baik akan memicu seseorang untuk lebih sering berpikir, ketimbang orang yang memiliki pasangan yang biasa-biasa saja.
Kita bisa ambil contoh, saat seseorang suami yang mendapati istrinya melakukan suatu kesalahan maka ia mempunyai banyak kesempatan menjelajahi semesta akal, dan belajar dari kesalahan-kesalahan istrinya. Ketika ia melihat istrinya yang tak pandai masak dan setiap pulang kerja masakannya selalu tak enak, kasinen, kemanisen, atau bahkan makanan yang disajikan gosong dan pahit.
Akan membuat si suami jadi berpikir tiap hari, tiap malam sampai-sampai ia tak bisa tidur hanya karena semalaman memikirkan istrinya yang tak bisa makan. Seandainya.
Bila dikaji secara lebih dalam, kesalahan istri tersebut telah mempengaruhi suami untuk berpikir lebih keras agar bisa memecahkan masalah-masalah kehidupan dalam ruang lingkup keluarga. Ketika istri tidak bisa memasak, suami akan berpikir dua kali untuk mengajari istrinya memasak.
Meskipun sebelum itu ia sama sekali tidak pernah memasak, namun ia akan berusaha mengajari istrinya. Ya mau gimana lagi, mau tak mau suami harus belajar susah payah dan mengajari istri daripada setiap hari hanya makan dengan mengandalkan masakan yang gagal.
Kesalahan istri juga melatih kesabaran dan mental suami. Ketika suami baru pulang kerja dan sedang lelah-lelahnya plus lapar, perut keroncongan, namun setibanya di rumah ternyata istri tidak memasakkan apapun. Akan terasa sangat menjengkelkan memang bila memiliki istri begitu.
Hidup seakan sumpek. Namun jika suami bisa menyikapi istri dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, ini akan melatih emosi suami untuk menjadi lebih welas asih, meningkatkan rasa syukur atas semua keadaan meskipun di rumah tak ada makanan.
Kehadiran istri bukan hanya melatih suami dari segi IQ melainkan juga EQ, dan bukankah pengembangan diri seringkali bermula dari lingkup keluarga sebelum meluas ke kehidupan bermasyarakat? Ini memang mungkin masalah sepele yang sering kita jumpai, namun siapa sangka permasalahan yang berasal dalam lingkup rumah tangga, dapat menjadi kunci untuk menjadikan seseorang sebagai filsuf dan pemikir hebat?
Hal ini sudah juga dibuktikan oleh Aristoteles. Suatu hari ia ditanya oleh seorang pemuda,
“Hei, kenapa engkau bisa sangat pintar seperti ini, apa kuncinya?”
Dengan santainya Aristoteles hanya menjawab, “Aku belajar dari istriku.”
Terkejut pemuda itu, ternyata kunci dibalik kecerdasan Aristoteles selama ini adalah istrinya,
“Dialah guru yang membuat Aristoteles menjadi sangat cerdas” batin pemuda tersebut.
Beberapa hari kemudian pemuda itu datang ke rumah Aristoteles untuk menemui istrinya. Namun ketika sudah menemuinya, ia malah ragu-ragu tentang penyataan Aristoteles. Di lihat-lihat istrinya tak terlalu cantik, dandanannya juga biasa-biasa saja. Lalu pemuda tadi mencoba mengajak istri Aristoteles berdiskusi. Tapi kenyataannya istri Aristoteles tak terlihat pintar dan memiliki ilmu pas-pasan.
“Ah…, bohong nih Aristoteles” gerutu si pemuda itu.
Kemudian dengan rasa tidak percaya, pemuda itu kembali menghampiri Aristoteles.
“Hei, bagaimana mungkin kamu belajar dari istrimu, istrimu saja tidak lebih pintar darimu, sudah gitu enggak cantik-cantik amat?”
Lantas Aristoteles menjawab, “Aku belajar dari kesalahan-kesalahan istriku sehingga aku mampu berbuat lebih baik tanpa harus mengulangi kesalahannya.”
Betul, kita bisa belajar dengan cara tak mengulangi kesalahan atau kesalahan-kesalahan orang lain untuk menjadi lebih baik; belajar dari tetangga, teman, keluarga, sahabat, ataupun (kalau punya) dari pacar dan terutama tentunya adalah kepada istri yang selalu dekat menemani suami.
Namun kita belajar tidak dengan berarti mencari kesalahan-kesalahan orang lain dulu, tapi bahwa setiap kesalahan ada hikmahnya. Setidaknya jika kita melakukan kesalahan kita bisa menjadi contoh buruk untuk mereka yang akan berbuat baik.
Maka janganlah pernah menyalahkan istri jika ia melakukan kesalahan. Daripada kita terus menerus memarahinya dan menyalahkannya hanya akan menimbulkan emosi dan sakit hati, mending kita belajar bersama dari kesalahan-kesalahan kita sebagai satu keluarga.
Hidup akan lebih baik jika suami mampu membimbing istri untuk tidak melakukan kesalahan kembali, bukannya untuk menjadi bahan pelampiasan emosi dan itu hanya akan memperparah keadaan. Kembali pada apa yang diungkapkan Socrates di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa, jika ingin menjadi filsuf, maka menikahlah secepatnya. Jangan ditunda-tunda kesempatan besar menjadi filsuf sudah ada di depan mata.
Tapi jangan diandaikan bahwa menikah dengan mengikuti alur perspektif Socrates, bahwa “istri baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri buruk maka akan menjadi seorang filsuf.” Belum tentu begitu. Selain itu, pernyataan dari Socrates bisa jadi juga akan terjadi kebalikannya, bukan istri yang buruk, tapi yang buruk adalah suami, bahagia dengan istri buruk, jadi filsuf dengan istri baik, dan kemungkinan lainnya. Ah, emboh. Menikah saja sudah. []