Al-Baqarah adalah nama surat kedua setelah al-Fatihah dalam tertib Mushaf Qur’an Utsmani. Terdiri dari 286 ayat yang juga panjang-panjang, Al-Baqarah adalah surat terpanjang dalam al-Qur’an. Semua ayat-ayat ini, dalam percetakan populer sekarang, mengambil 48 halaman sendiri. Nama surat Al-Baqarah secara bahasa berarti sapi betina. Nama Surat Al-Baqarah diambil dari ayat 67-71 yang bercerita mengenai Nabi Musa as dan kuamnya Bani Israel yang diperintahkan untuk menyembelih sapi betina.
Mengapa sapi betina?
Ayat-ayat tersebut tidak memberikan alasan. Tetapi yang pasti, sapi betina ada dan dikenal baik oleh Bani Israel saat itu. Bahkan, dianggap hewan istimewa. Jika kisahnya tentang Bangsa Indonesia pada abad itu, bisa jadi hewanya adalah kerbau atau ayam. Israel kuno sendiri sangat mendewakan sapi betina. Di ayat sebelumnya, 51 dan 54 dari Surat al-Baqarah, ada kisah sekelompok pengikut Nabi Musa as yang beralih menyembah anak sapi. Ketika mereka lama ditinggal Nabi Musa as. Begitupun di ayat 92-93 di Surat al-Baqarah, dan 153 Surat an-Nisa, dan 152 Surat al-A’raf. Ini menandakan bahwa Bani Israel sangat akrab dengan sapi, bahkan ada sekelompok orang di antara mereka yang menganggapnya penting sekali dalam siklus kehidupan mereka. Bahkan tak segan mendewakannya.
Apakah juga demikian di mata al-Qur’an?
Ada lima nama binatang yang dijadikan sebagai nama-nama surat dalam al-Qur’an. Sapi betina (al-Baqararh, surat ke-2), lebah (an-Nahl, surat ke-16), semut (an-Naml, surat ke 27), laba-laba (al-‘Ankabut, surat ke 29) dan gajah (al-Fiil, surat ke-105). Kelima binatang ini dijadikan nama surat karena di dalam surat-surat itu, ada kisah mengenai binatang terkait. Sesuatu atau seseorang disebut al-Qur’an, tidak serta merta menjadikannya penting dan istimewa di matanya. Karena al-Qur’an juga memiliki nama-nama surat orang-orang yang dikecam berperilaku buruk. Seperti “orang-orang munafik” yang menjadi nama surat yang ke-63 (al-Munaafiquun) dan “orang-orang yang curang” nama surat ke-83 (al-Muthaffifiin). Mereka tentu saja bukan orang-orang istimewa di mata al-Qur’an.
Madu, misalnya, disebutkan al-Qur’an sebagai minuman penduduk surga (QS. Muhammad, 47: 15). Di ayat lain, ia diungkapkan sebagai cairan yang keluar dari lebah yang menjadi obat bagi manusia (QS. An-Nahl, 16: 69). Penyebutan al-Qur’an ini tidak serta merta lalu menjadikan madu menjadi minuman yang istimewa, dan harus menjadi obat bagi untuk segala penyakit. Tentu saja tidak. Konteks al-Qur’an menyebutnya juga bukan demikian. Madu memang baik dan memiliki kandungan yang bisa memperkuat imunitas tubuh sehingga bisa melawan penyakit yang datang.
Tetapi jenis madu sendiri beragam. Kandunganya berbeda-beda. Penggunaanya untuk apa, kapan, dan berapa takaran, memerlukan kerja-kerja akal dan ilmu pengetahuan. Dua ayat tersebut tentang madu itu saja tidak cukup. Begitupun ketika akal dan ilmu pengetahuan menemukan tanaman lain sebagai obat, atau formula-formula lain sebagai obat, atau tindakan tertentu sebagai pengobatan, ini sama sekali tidak bertentangan dengan kedua ayat tentang madu tersebut. Apalagi al-Qur’an sendiri telah berkali-kali meminta kita untuk menggunakan akal pikiran dalam segala hal, terutama dalam mengelola kehidupan.
Kita tidak bisa menyatakan madu lebih baik dari kunyit hanya karena yang pertama disebut al-Qur’an sementara yang kedua tidak. Baik madu maupun kunyit, keduanya ditemukan dan dijelaskan melalui pengetahuan akal dan pengalaman ilmu manusia, yang tentu saja direstui al-Qur’an. Karena hasil akal dan ilmu pengetahuan diapresiasi sangat baik oleh al-Qur’an (QS. Al-Isra, 17: 36; QS. An-Nahl, 16: 43; dan QS. Al-Anbiya, 21: 7).
Dengan demikian, penamaan Surat al-Baqarah tidak serta merta menjadikan sapi betina sebagai binatang yang terbaik. Penyembelihannya tidak bisa juga dianggap paling utama hanya karena ada kisah Bani Israil yang diperintah menyembelih sapi. Penyembelihan sapi tidak bisa dijadikan identitas Islam yang harus selalu dilakukan untuk membedakan diri dari identitas Hindu yang melarangnya.
Di sini, ijtihad Sunan Kudus yang melarang penyembelihan sapi, menggantinya dengan kerbau, sebagai penghormatan terhadap masyarakat Hindu yang bertetangga, adalah juga patut dihargai. Karena menghormati tetangga jauh lebih penting dibanding menyembelih sapi itu sendiri. Ayat dan hadits tentang berbuat baik pada orang, khususnya tetangga, jauh lebih banyak dan lebih tegas dibanding tentang sapi.
Al-Qur’an bukanlah kitab fauna yang berbicara tentang keistimewaan binatang. Ia lebih merupakan sumber pelajaran dalam mengelola hidup yang universal, kapanpun dan dimanapun. Termasuk dalam kondisi ketika seseorang tidak memiliki binatang sekalipun. Karena yang lebih penting adalah tentang pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah-kisah binatang tersebut, dan kisah orang-orang terkait binatang tersebut.
Dalam Surat al-Baqarah, tidak penting sapinya, tidak juga kisah Bani Israil dengan sapi mereka, tetapi yang penting adalah pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut. Surat al-Baqarah sendiri tidak sekedar kisah sapi. Ada banyak kisah, hukum, dan pelajaran. Ada 286 ayat yang oleh A. Hassan dikelompokkan menjadi 56 topik (al-Furqan, 2010). Ziauddin Sardar sendiri mengelompokkan ayat-ayat ini dalam 19 topik (Reading the Qur’an, 2011). Sementara Abdullah Yusuf Ali lebih sederhana, mengelompokkanya hanya dalam 9 topik (The Meaining of the Holy Qur’an, 1991).
Untuk memperoleh gambaran umum tentang kandungan Surat al-Baqarah, topik-topik yang diusulkan Sardar bisa diketengahkan di sini. Yaitu: pertama, al-Qur’an dan Keraguan (mulai ayat 1-7). Kedua, tentang orang-orang munafik (ayat 8-20). Ketiga, tentang surga (ayat 21-29). Keempat, kejatuhan ke bumi dan setan (ayat 30-39). Kelima, Bani (anak-anak) Israil (ayat 40-141). Keenam, umat moderat (ayat 142-152). Ketujuh, umat terbaik (ayat 153-177).
Kedelapan, hukum keadilan (ayat 178-182). Kesembilan, tentang puasa (ayat 183-189). Kesepuluh, perang dan damai (ayat 190-195). Kesebalas, tentang haji (ayat 196-203). Keduabelas, tentang kekafiran dan hijrah (ayat 204-218). Ketigabelas, tentang pernikahan dan perceraian (ayat 219-242). Keempat belas, tentang kualitas kepemimpinan (ayat 243-254). Kelimabelas, tentang keagungan Tuhan dan kebebasan beragama (ayat 255-257). Keenambelas, berdebat dengan Tuhan (ayat 258-260). Ketujuhbelas, sedekah dan riba (ayat 261-281). Kedelapanbelas, tentang kesaksian (ayat 282-283). Kesembilanbelas, tentang ibadah (ayat 284-286).
Jika menggunakan metodologi Qira’ah Mubadalah, ayat-ayat ini bisa dipilah dulu mana saja yang berbicara tentang relasi antar manusia. Lalu diklasifikasi mana yang bisa dikategorikan sebagai ayat-ayat yang prinsip, baik mabadi’ maupun qawa’id, dan mana ayat-ayat yang partikular kontekstual (juz’iyyat). Ayat-ayat yang prinsip lalu menjadi pemandu dalam memaknai ayat-ayat yang partikular. Jika ada yang melakukannya, bisa jadi akan menghasilkan tafsir-tafsir yang menarik. Siapa tahu kamu atau aku punya kesempatan, ada tenaga dan ide untuk kerja tafsir itu. Semoga. Amiin.