Tulisan saya ini sebetulnya berawal dari tulisan bernada provokatif yang tersebar di media sosial. Judul tulisannya begini: “Astaghfirullah! Begini Bahayanya Jika Suami Lebih Mengutamakan Ibunya daripada Istri.” Mungkin maksudnya sih baik, ingin memberikan pencerahan kepada kita agar para suami memahami posisinya sebagai suami dari istri dan anak dari ibunya. Mestinya sih juga memahami posisinya sebagai menantu dari mertua alias orang tua sang istri. Ini hanya satu dari sekian bukti saja, betapa pernikahan memang “perjanjian yang berat” sebagaimana diabadikan Al-Qur’an.
Saya membaca tulisan tersebut beberapa kali–entah siapa penulisnya–antara judul dan isi kurang sesuai. Untuk itu saya akan mencoba turut menduduk-perkarakan persoalan ini dari kacamata yang lebih adil dengan kacamata kesalingan.
Harus dipahami bahwa sebelum maupun setelah menikah, perempuan tetap mulia. Ia tidak lantas menjadi hina karena pernikahan. Untuk itu, suami harus memahami bahwa ia dan istri itu bukan dalam hubungan atasan dan bawahan atau budak dan majikan. Istri itu adalah mitra suami, bukan konco wingkingnya (teman belakang) suami. Jadi istri dan suami tetap harus saling memuliakan sampai kapanpun.
Berikutnya, pernikahan juga hanya bisa terwujud jika ada keridhaan dan kesepakatan dari kedua belah pihak. Dengan kata lain, dalam menjalani proses rumah tangga, suami tidak boleh egois mengedepankan ego pribadinya dalam memutuskan segala kebijakan dalam rumah tangga.
Istri harus selalu dilibatkan dalam memutuskan persoalan apapun. Kita tidak boleh menjadi suami atau istri yang egois dan mau menang sendiri. Segala sesuatunya harus dipikir secara logis dan tetap melibatkan hati nurani. Ini agar keputusan yang diambil tidak berujung penyesalan.
Terkait dengan sikap suami terhadap ibu kandungnya, istri dan mertuanya, ini harus tetap proporsional dan kondisional. Tidak ada kata mutlak dan saklek. Suami memuliakan ibu kandungnya itu penting, sama pentingnya manakala suami memuliakan istri dan mertuanya.
Sehingga penekanannya jangan sampai berat sebelah atau menegasikan salah seorang pihak. Proporsi dan kondisinya harus jelas dan dipahami agar tidak ada kesan suami lebih mengutamakan ibu kandungnya secara berlebihan dan mengenyampingkan istri dan mertuanya.
Ada kalanya suami lebih mengutamakan istri, ibu atau mertuanya. Misalnya dalam kondisi ibu kandung dari suami sedang sakit yang parah. Dalam kondisi seperti ini istri juga yakin akan memahami. Bahkan bukan hanya suami yang memuliakan ibunya, tetapi juga istri akan memuliakan ibu mertua sebagaimana ia memuliakan ibu kandungnya sendiri.
Ada juga kala di mana suami mengutamakan istri ketimbang ibunya, misal istri sedang dalam kondisi hamil, mana mungkin suami tega menelantarkan istri yang sedang repot dalam kondisi sedang hamil. Inilah yang saya sebut sebagai sikap proporsional dan kondisional.
Sehingga kalau kemudian dalam realitasnya ditemukan ada kasus istri dan suami yang cek-cok hanya karena ada kesan suami lebih mengutamakan ibunya, kita harus bisa melerai dan membantunya. Sebab bisa jadi keduanya sedang salah paham atau memang pahamnya salah.
Soal nafkah, tempat tinggal, hak pakai, pendidikan dan perhatian itu tidak perlu dijadikan beban dan disikapi dengan saklek. Dasarnya begini bahwa istri dan suami itu bersama memikirkan soal nafkah, tempat tinggal juga untuk bersama (ada yang masih serumah dengan orang tua, dengan mertua atau memilih tinggal sendiri), istri dan suami bersama saling memakai dan menjaga apapun yang ada di rumah, termasuk istri dan suami berhak melanjutkan pendidikan.
“Baik-buruknya istri tergantung pada suami.” Sepintas pernyataan ini bisa dibenarkan. Tetapi apabila dipahami secara lebih dalam, apa benar baik-buruknya istri tergantung pada suami? Saya sih tidak mematok harus seperti itu. Sebab ada kalanya suami yang jahat, karena tabiatnya begitu.
Juga ada kalanya istri jahat karena akibat perbuatannya sendiri. Akhirnya istri dan suami itu harus saling menjaga dan mengingatkan. Apabila suami melakukan kesalahan, sudah sepatutnya istri mengingatkan dan suami pun sadar untuk meminta maaf serta tidak mengulanginya lagi. Begitupun dengan istri apabila melakukan kesalahan.
Jadi sudahlah jangan dipermasalahkan dan dibuat ribet. Karena setiap pasangan, ada ujian dan masalahnya masing-masing. Kita tidak ada hak untuk men-generalisir dan menakut-nakuti siapapun karena satu kasus tertentu. Waspada itu perlu tetapi juga bukan dengan cara paranoid seperti itu.
Segala sesuatu dalam rumah tangga, kalau disikapi dengan kepala dingin, Insya Allah akan dimudahkan oleh Allah. Sebab sering kali yang memperkeruh suasana adalah kita sendiri, mudah panik dan emosional. Istri dan suami pandai-pandailah bicara dari hati ke hati, mengedepankan musyawarah, biasakan shalat berjamaah, dan lain sebagainya. []