Mubadalah.Id– Berikut ini kita akan mengangkat biografi dari Nyai Siti Ruqayyah Ma’shum. Ia adalah aktivis kesetaraan gender. Nyai Siti Ruqayyah Ma’shummengatakan bahwa anak perempuan berhak menolak nikah paksa.
Kondisi pernikahan anak di Indonesia sudah masuk dalam kategori darurat. Menurut PBB, angka perkawinan anak di Indonesia berada di peringkat ketujuh tertinggi di dunia. Dalam data analisis perkawinan usia anak dari tahun 2008 hingga 2015 tak terlihat perubahan signifikan terhadap angka perkawinan anak (relatif stabil sekitar 25 persen).
Urgensi ini yang menjadi alasan dihasilkannya fatwa tentang perkawinan anak dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan pada 25 hingga 27 April 2017, untuk mendesak perubahan batas minimal usia nikah di Indonesia dari 16 menjadi 18 tahun.
Banyak faktor penyebabnya, yang mana penyebab-penyebab itu saling berkaitan. Penyebab satu berakibat pada penyebab-penyebab lain. Sangat kompleks sehingga pernikahan dini masih sulit dicegah. Kemiskinan, ketimpangan gender, ketiadaan akses pendidikan berkualitas, putus sekolah, dan peluang kerja yang terbatassebagai akibat dari kurangnya SDM melanggengkan praktik pernikahan dini.
Sebab-sebab tersebut didukung pula dengan pemahaman teks agama yang keliru soal pernikahan anak. Masih banyak orangtua yang merasa benar telah mengawinkan anak perempuannya di usia muda, bahkan tanpa mempertimbangkan kerelaan dan kesiapan anak.
Anak Perempuan Berhak Menolak Nikah Paksa
Memang ada sebuah hadits yang memerintahkan untuk menyegerakan pernikahan anak perempuan, sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila ada orang yang engkau ridhai (senangi) akhlak dan keberagamannya datang melamar kepada (anak perempuan) kalian, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi.” (HR. Ibnu Majah).
Juga hadits-hadits soal hak ayah menikahkan anak perempuannya:
“Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dari walinya. Sedangkan gadis yang menikahkan adalah ayahnya.” (HR. Ad-Daruquthuni).
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan seorang gadis itu dimintai pendapat oleh ayahnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim).
Hadits-hadits di atas sering dijadikan landasan untuk menjustifikasi tindak pemaksaan ayah menjodohkan anak perempuannya yang masih belia. Padahal, menurut Nyai Siti Ruqayyah Ma’shum (Umat Bertanya Ulama Menjawab, 2008) para ulama juga masih berdebat tentang pernikahan anak yang belum baligh. Salah satunya Ibnu Syubrumah, ia mengatakan: “Ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil, kecuali apabila telah baligh dan ia mengizinkannya.”
Sementara itu Imam Syafi’i juga mengatakan: “Sebaik-baiknya ayah tidak mengawinkan anak perempuannya yang masih belia sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya, karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab)”.
Bahkan Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami (1997) juz IX hal 6685-6686, beliau mengutip ulama madzhab fikih yang mengatakan: “Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan keduanya, jika salah satunya dipaksa, dengan suatu ancaman membunuh, memukul atau memenjarakan misalnya, maka perkawinan tersebut menjadi fasad atau rusak”.
Maka, menurut Nyai Ma’shum, jika ada anak menolak untuk dinikahkan oleh orangtuanya karena merasa belum siap, iatidak bisa dikatakan berdosa bila dibandingkan dengan dampak negatif yang ditimbulkan jika pernikahan itu tetap dipaksakan. Orangtua yang memaksa anak untuk segera menikah justru melanggar hak dasar anak karena telah membatasi pendidikan, penghasilan, keselamatan, serta status dan peran anak di masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa batasan baligh menurut ulama fikih lebih ditekankan pada kedewasaan berpikir dan memutuskan sesuatu, sedangkan pemerintah lebih menekankan pada batasan usia, yakni 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Karena dalam menjalani sebuah perkawinan tentu butuh persiapan yang matang, yang tak hanya fisik tapi juga materi dan mental, dan ini terkait erat dengan kematangan usia dan pendidikan seseorang.
Desakan dan upaya pendewasaan usia nikah secara struktural dan kultural harus terus-menerus dilakukan di Indonesia, mengingat angka pernikahan dini yang sudah sangat tinggi (lebih dari 41.000 perempuan menikah di bawah usia 18 tahun setiap harinya) seiring dengan dampak buruk yang ditimbulkan dan kerugian yang dialami perempuan korban nikah dini.
Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia dan International Center for Research on Women berjudul Economic Impacts of Child Marriage, pernikahan usia dini akan merugikan negara berkembang hingga triliunan dollar AS pada 2030 jika tak diakhiri.
Sebaliknya, menunda usia perkawinan akan berkontribusi besar pada peningkatan derajat pendidikan perempuan dan anak, pengendalian jumlah penduduk, serta peningkatan kesejahteraan perempuan di rumah dan di tempat kerja. Penundaan perkawinantak hanya baik bagi individu yang menikah itu sendiri, tapi juga berdampak positif bagi republik ini.
Demikian penjelasan terkait Anak Perempuan Berhak Menolak Nikah Paksa. Semoga bermanfaat. [ Khansa Perempuan di Masa Nabi yang Menolak Nikah Paksa ]