Mubadalah.id – JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) merupakan gelaran tahunan bagi insan perfilman dari berbagai negara di Asia untuk merayakan sinema. Festival ini diselenggarakan pertama kali pada 31 Juli 2006 di Yogyakarta. Agenda utama acara ini adalah pemutaran film dan kompetisi untuk memperebutkan penghargaan dalam berbagai kategori.
Berhubung saya tinggal di Yogyakarta, saya merasa perlu meluangkan waktu untuk menonton setidaknya satu film di gelaran ke-18 JAFF pada 25 November–2 Desember 2023. Pasalnya festival ini sering kali menayangkan film-film bertema unik, tidak jarang sensitif yang tidak selalu bisa dinikmati di bioskop mainstream maupun aplikasi streaming film.
Salah satu film yang saya tonton berjudul Sara. Film Sara ini mengangkat tema cukup sensitif, yaitu isu kelompok rentan, khususnya transpuan. Film ini sempat jadi perbincangan hangat karena pemeran utamanya, yaitu Oscar Lawata (yang kini menggunakan nama Asha Smara Darra) masuk nominasi pemeran utama perempuan terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia.
Sara: Mematahkan Stigma
Hampir dua puluh tahun semenjak kepergiannya, Sara (35 tahun), seorang transpuan harus kembali ke desanya karena ayahnya wafat. Dengan kepulangannya, Sara harus kembali menghadapi masa lalunya. Hal ini tidak mudah, mengingat kampung halaman Sara berada di pelosok Jawa yang masyarakatnya belum tentu bisa menerima keadaannya sebagai transpuan.
Dalam berbagai karya populer, sosok transpuan sering kali tampil sebagai pekerja di bidang-bidang marginal. Misalnya, tokoh Saiful (Donny Damara) dalam film Lovely Man (2011) yang bekerja sebagai PSK atau tokoh Zainuddin (diperankan Aming) yang bekerja sebagai pengamen dalam FTV berjudul Aku Bukan Banci Kaleng (2009).
Tokoh Sara mematahkan stigma negatif bahwa transpuan tidak mampu bekerja di sektor formal. Sama halnya dengan orang lain yang memiliki identitas gender laki-laki atau perempuan, transpuan juga punya potensi yang perlu mendapat ruang untuk berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas Sara selama work from home sembari menjaga ibunya yang sakit selepas kepergian ayahnya.
Begitu pula dengan gestur, sering kali transpuan dalam film tampil dengan gestur yang berlebihan atau kemayu, make up menor, dan cara berpakaian yang seksi. Mematahkan semua citra tersebut, Sara tampil dengan gestur anggun, nyaris sama seperti perempuan pada umumnya. Cara berpakaiannya tidak terkesan seksi. Pun payudara yang tidak terlalu menonjol karena operasi. Sisa-sisa garis wajah postur tubuh laki-laki masih membekas dalam diri Sara.
Ibu: Dimensi Afeksi
Guncangan akibat kehilangan suami membuat Muryem (Christine Hakim), ibu Sara mengalami demensia atau kepikunan. Dalam ingatannya, suaminya masih hidup. Sementara Panca, anaknya sudah meninggal lama. Muryem tak lagi mengenali Panca, terlebih lagi ia sudah berada dalam wujud yang berbeda sebagai Sara.
Kondisi Muryem membuat Sara tak tega meninggalkannya. Demi mengembalikan semangat hidup ibunya, Sara pun memotong rambut dan mengubah cara berpakaiannya menjadi laki-laki. Melihat penampilan Sara yang baru, Muryem pun menganggapnya sebagai Muh, suaminya. Hal ini tidak mudah bagi Sara, mengingat tidak harmonis hubungan dia dengan ayahnya di masa lalu.
Hubungan antara ibu dan anak dalam film Sara ini mencoba menunjukkan wajah transpuan dari dimensi afeksi. Layaknya masyarakat Timur yang mengedepankan kedekatan hubungan anak dan orang tua, film Sara menunjukkan perbedaannya dari film Barat. Barangkali relasi anak yang merawat orang tua di masa tua sebagai tanda bakti sulit kita jumpai dalam masyarakat Barat.
Ustadz Said: Inklusivitas dalam Beragama
Kondisi Muryem yang mengalami kepikunan membuat Sara harus mendampinginya ke mana pun ia pergi, tidak terkecuali untuk ibadah ke masjid. Bagi Sara, hal ini menimbulkan kondisi dilematis, mengingat pergi ke masjid mengharuskan ia menggunakan atribut keagamaan. Pilihannya ada dua: mukena atau sarung dan peci. Hal ini mengharuskan Sara menunjukkan identifikasi gendernya.
Dalam kondisi dilematis ini, Ustadz Said (Landung Simatupang), sahabat ayah Sara menyikapi kehadiran Sara dengan bijak. Ustadz Said tidak melarang Sara datang ke masjid. Hanya saja, Ustadz Said memintanya untuk tidak datang dahulu ke masjid karena masyarakat butuh waktu untuk menerima kehadiran Sara. Begitu pula ketika Sara berpenampilan sebagai laki-laki, Ustad Said hanya meminta Sara menjelaskan, alih-alih menghujat.
Ustadz Said mencoba menghadirkan inklusivitas dalam ritual keagamaan. Bagaimanapun juga, aspek spiritual menjadi bagian penting dalam diri manusia, apa pun gendernya. Maka dari itu, siapa pun perlu mendapat ruang untuk menjalin hubungan dengan Sang Pencipta.
Ayu: Ketulusan dan Penerimaan
Selain Sara, nyawa dalam film ini ialah Ayu (Mian Tiara). Ayu adalah sahabat Sara sewaktu kecil, Sara yang ia kenal sebagai anak laki-laki bernama Panca. Bagi Ayu, Panca adalah cinta pertamanya. Ia menutup hatinya selama dua puluh tahun karena berharap Panca akan kembali. Namun, penantiannya itu sia-sia karena Panca datang dalam wujud berbeda.
Perubahan relasi kekasih, pasangan, suami istri, atau love interest antara satu tokoh dan pasangannya yang memutuskan menjadi transgender cukup menarik dicermati. Seperti halnya tokoh Gerda yang suaminya, Einar memutuskan berubah menjadi Lili Elbe dalam film The Danish Girl (2015), relasi Ayu dan Sara pun menjadi kompleks.
Di satu sisi, Ayu masih melihat Sara sebagai Panca, tetapi di sisi lain Sara menegaskan bahwa hubungan mereka hanya sahabat. Ayu dengan segala ketulusannya mencoba menerima kondisi Sara kini. Ia berusaha memperlakukan Sara dengan baik sekalipun hatinya sangat mendambakan Panca.
Tanpa memaksa Sara kembali menjadi Panca, ketika Sara berpenampilan sebagai laki-laki, Ayu hanya berkata, “Aku senang melihat kamu seperti ini. Mengingatkanku pada Panca.” Pun ketika berharap Sara tidak meninggalkan, ia berkata, “Di sini aja ya. Aku juga butuh kamu.”, alih-alih meminta hubungan mereka berlanjut menjadi sepasang kekasih.
Begitu pula dengan masyarakat desa, bentuk ketidaknyamanan mereka atas kehadiran Sara hanya terbatas bisik-bisik. Tak ada bentuk penghakiman, apalagi tindak kekerasan terhadap Sara. Mereka tetap memberikan ruang aman bagi Sara untuk hidup. Film ini mencoba menyampaikan nilai bahwa tindakan tidak menyetujui tidak perlu diikuti dengan persekusi.
Tampaknya angan-angan tentang ruang aman bagi transpuan seperti dalam film Sara masih harus menempuh jalan panjang. Sama panjangnya dengan kemungkinan film dengan tema sensitif seperti ini hadir di layar bioskop mainstream. Untuk itu, tak ada salahnya sesekali Anda menonton festival film atau special screening untuk mengakses film-film alternatif. []