• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Apakah Iddah Wajib bagi Perempuan Bekerja Mencari Nafkah?

Perempuan yang sedang iddah, tentu saja dibolehkan untuk bekerja mencari nafkah. Karena bekerja adalah cara dia untuk melanjutkan kehidupannya, bahkan bisa jadi juga bagi kehidupan anak-anaknya

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
18/04/2022
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Iddah

Iddah

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Iddah adalah masa tunggu bagi perempuan yang dicerai suaminya selama sekitar tiga bulan, atau ditinggal wafat suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Bagi perempuan yang sedang hamil, masa tunggunya, minimal sampai melahirkan bayinya. Kewajiban ini disebutkan dalam al-Qur’an.

Selama masa tunggu ini, semua ulama sepakat, perempuan tidak boleh melamar atau menerima pinangan laki-laki. Apalagi melangsungkan akad pernikahan. Sama sekali tidak boleh, tanpa ada perbedaan di antara ulama. Mengenai hukum-hukum lain, ulama berbeda pendapat. Misalnya keluar rumah, berhias, bersosialisasi, dan yang lain. Setidaknya, ada perdebatan mengenai bentuk, waktu, dan jenisnya.

Kewajiban masa tunggu dalam itu disebutkan dalam berbagai ayat al-Qur’an. Seperti surat al-Baqarah (QS. 2: 228) yang menyebutkan masa tunggu para perempuan yang dicerai itu selama tiga kali periode haid. Sementara surat ath-Thalaq (QS. 65: 4) menyatakan, bagi para perempuan yang tidak lagi haid, masa tunggunya adalah tiga bulan, dan yang sedang hamil sampai waktu melahirkan bayinya.

Mengenai masa tunggu para perempuan yang ditinggal wafat suami mereka ada di surat al-Baqarah (QS. 2: 234). Disebutkan di sini, masa tunggu mereka adalah empat bulan sepuluh hari. Jika perempuan yang ditinggal wafat itu sedang hamil, ulama berbeda pendapat: apakah tetap empat bulan sepuluh hari (QS. 2: 234), atau justru sampai melahirkan (QS. 65: 4).

Hikmah dari Ketentuan Iddah

Kitab al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (jilid 29, hal. 307) menyebutkan beberapa hikmah dari ketentuan iddah ini. Yang utama adalah kejelasan ada atau tidaknya pembuahan di dalam rahim perempuan, agar nasab bayinya nanti kepada suaminya yang menceraikan tersebut, atau yang meninggal dunia. Jika perempuan itu menikah dengan laki-laki lain, nasab bayi tersebut akan tidak jelas kepada suami pertama atau kedua.

Hikmah lain adalah masa tunggu ini adalah masa refleksi dan mawas diri, dengan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk merenungkan kesalahan masing-masing dan bisa jadi mau kembali lagi menjadi suami dan istri. Jika perempuan sudah langsung diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain, maka sudah tidak mungkin bisa rujuk kembali sebagai suami istri.

Baca Juga:

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Being Independent Woman is Not Always About Money, Bro!

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Masa iddah ini juga, dalam hikmah yang lain, merupakan perlindungan akhir bagi perempuan dari ikatan pernikahan awal, sebelum bisa berumah tangga dengan laki-laki lain. Karena itu, diwajibkan bagi suaminya untuk tetap memenuhi segala kebutuhan perempuan yang diceraikan atau ditinggal wafat, selama masa iddah ini. Baik kebutuhan papan, pangan, atau yang lain.

Khusus bagi perempuan yang ditinggal wafat suami, masa iddah juga merupakan masa perkabungan. Awalnya, di masa Jahiliah, dalam masa perkabungan ini perempuan akan diminta norma tradisi untuk menjerit, menangis, merobek-robek pakaian, memukul-mukul diri, menampakkan kelusuhan, dan segala ekspresi kesedihan dan perkabungan dalam waktu yang tidak terbatas.

Islam membatasi hanya empat bulan sepuluh hari, sekaligus untuk menguji kondisi kehamilan perempuan. Namun, semua tindakan yang merusak dan merugikan dilarang, seperti memukul diri, merobek-robek pakaian, dan menangis berkepanjangan. Perkabungan ini disebut juga ihdad.

Benarkah Perempuan Dilarang Bekerja pada Masa Iddah?

Sebenarnya yang dibicarakan para ulama fiqh bukan soal bekerja, melainkan keluar rumah (lihat: al-mawsu’ah, jilid 29, hal. 348-353). Inipun dibedakan antara iddah cerai dengan iddah (atau ihdad) wafat. Dalam iddah cerai, semua ulama melarang perempuan keluar rumah pada malam hari, kecuali ada kebutuhan mendesak. Tetapi, mereka berbeda pendapat pada siang hari, boleh atau tidak untuk keluar rumah. Sementara cerai wafat, semua ulama memperbolehkan perempuan keluar rumah pada siang hari untuk suatu kebutuhan tertentu.

Madzhab Hanafi dan Syafi’i melarang keluar rumah pada malam maupun siang hari untuk iddah cerai. Madzhab Maliki dan Hanbali hanya melarang malam hari saja, karena berpotensi diganggu laki-laki jahat atau dituju (untuk dinikahi) laki-laki yang mungkin baik. Siang hari, terutama jika ada kebutuhan, perempuan yang sedang iddah boleh keluar rumah.

Kebutuhan yang dimaksud adalah hal-hal mengenai kehidupan perempuan. Seperti kekhawatiran terhadap nyawa, kesehatan, atau hartanya. Hal-hal yang termasuk hiburan, seperti traveling, bahkan haji dan umrah, kecuali jika tidak ada waktu lagi, tidak termasuk kebutuhan yang dibolehkan.

Bekerja tidak dibahas dalam kitab ini. Apakah bekerja bisa masuk kebutuhan yang membolehkan perempuan yang sedang iddah boleh keluar rumah? Seharusnya ya masuk. Karena bekerja merupakan bagian dari kebutuhan untuk memenuhi nafkah hidup. Apalagi para ulama fiqh, ketika membolehkan keluar rumah itu, merujuk pada hadits tentang bibi Jabir bin Abdullah ra.

عن جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ طُلِّقَتْ خَالَتِى فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ فَأَتَتِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ بَلَى فَجُدِّى نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِى أَوْ تَفْعَلِى مَعْرُوفًا (صحيح مسلم، رقم: 3794).

Dari Jabir bin Abdullah ra, berkata: bibiku dicerai, lalu ketika (keluar rumah) mau memotong dan memanen kurma, ada seorang laki-laki yang melarangnya keluar rumah. Bibiku kemudian mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya mengenai hal ini. Nabi Saw kemudian menjawab: “Boleh, potong dan panen kurma itu. Dengan begitu, kamu bisa sedekah atau berbuat baik”. (Sahih Muslim, no. hadits: 3794).

Memotong, memanen, atau memetik kurma adalah pekerjaan perkebunan atau pertanian. Nabi Muhammad Saw ketika ditanya seorang perempuan, yang sedang iddah dan dilarang laki-laki dari keluar rumah, justru memerintahkan untuk tetap bisa melakukan pekerjaan tersebut. Karena dalam pekerjaan itu, kata Nabi Saw, seseorang bisa memberi sesuatu kepada orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain.

Dengan demikian, perempuan yang sedang iddah, tentu saja dibolehkan untuk bekerja mencari nafkah. Karena bekerja adalah cara dia untuk melanjutkan kehidupannya, bahkan bisa jadi kehidupan anak-anaknya. Bekerja juga, seperti kata Nabi Saw, adalah wasilah atau jalan bagi seseorang untuk berbuat baik kepada orang lain. Wallahu a’lam. []

Tags: hukum keluarga IslamHukum SyariatIddahkeluargaperempuan bekerja
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual

    Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut
  • Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID