Mubadalah.id – Apakah patriarki masih ada? Ya, di beberapa daerah masih menancap akar-akar patriarki yang begitu kuat dan tetap tumbuh subur tanpa bisa digugat. Film menjadi salah satu jendela untuk melihat bagaimana patriarki masih bekerja untuk menenggelamkan kemanusiaan. Sudah bukan rahasia lagi, patriarki mendominasi seluruh ruang di muka bumi ini. Termasuk ruang perempuan yang paling privat sekalipun.
Banyak film mengekpresikan suka duka dengan meminjam kisah-kisah manusia. Pantas saja jika dalam beberapa film seolah sedang mementaskan kisah kita. Namun kadang, film juga menjadi cara untuk merealisasikan imajinasi yang tidak bisa terwujud di dunia nyata. Dan, film sering menjadi harapan untuk meneriakkan feminisme, mengubah perspektif masyarakat yang sulit diwujudkan di dunia nyata.
Tidak banyak film yang mengupayakan perubahan, dimana kemanusiaan seharusnya didahulukan dan terlebih dapat menyulut keberanian. Dari beberapa film yang saya tonton, beberapa diantaranya adalah sangat berani. Mungkin film-film ini tidak asing juga bagi Anda. Berikut adalah tiga film yang menguak fakta bahwa patriarki masih terjadi.
- Wadjda
Mengisahkan seorang anak perempuan yang memperjuangkan keinginannya untuk memiliki sepeda, namun apa daya hukum di negeri itu berkata lain. Menaiki sepeda bagi anak perempuan adalah cela, larangan. Film yang diproduksi di Arab, dan disutradarai langsung oleh perempuan Arab bernama Haifa Al Mansour ini, menyuguhkan kesedihan bertumpuk dalam sebuah keluarga.
Wadjda, seorang gadis kecil yang cerdas dan rebel mencoba menyadari hukum-hukum dan tradisi yang harus diterimanya, namun di sisi lain nalarnya menggiring pada obsesi-obsesi kecilnya. Dengan sekuat tenaga, Wadjda berusaha mewujudkan keinginannya dengan cara berjualan dan mengikuti kompetisi baca Alquran.
Lagi-lagi ia gagal. Meskipun Wadjda menang dalam kompetisi baca Quran, namun kepala sekolah akhirnya mengetahui niat Wadjda untuk membeli sepeda, sehingga ia berkeputusan untuk mendonasikan hadiahnya ke Palestina.
Bukan hanya Wadjda yang memiliki kepedihan, namun juga ibunya. Ibu Wadjda yang selalu menolak pekerjaan lebih baik, demi suaminya yang cemburuan akhirnya harus tenggelam dalam kepahitan. Suaminya menikah dengan perempuan lain, karena ia tak kunjung melahirkan anak laki-laki.
Setiap sisipan visualnya membawa suasana Arab. Tak ada satu gambar pun yang tak bercerita. Setiap perempuan yang terlihat di film ini membawa karakternya masing-masing. Khususnya Wadjda yang menginspirasi setiap perempuan untuk mengejar keinginannya. Ia mampu memecah aturan-aturan yang beku, hanya dengan menjadi dirinya sendiri dan mengejar keinginannya yang sangat sederhana.
- Pink
Pink adalah film India dan diproduksi di India dan dibintangi oleh aktor kawakan Amithab Bachan. Film bergenre thriller ini menceritakan tentang tiga orang perempuan yang terjebak dalam pertemanan dan akhirnya saling menekan. Ketiganya menjadi tertekan dan menekan satu sama lain setelah peristiwa pelecehan seksual yang diterima oleh salah satu dari mereka.
Awalnya mereka hendak mencari keadilan dengan melaporkan peristiwa pelecehan seksual yang mereka terima pada pihak yang berwajib. Namun, bermusuhan dengan pria yang berasal dari keluarga kaya, membuat semua tuntutan mereka berbalik. Ketiga perempuan ini diserang dengan adat, etika dan norma-norma yang secara mutlak menempatkan perempuan di posisi yang selalu kalah.
Hukum untuk perempuan nampaknya tidak pernah menang di India. Film yang diwarnai dengan adu pendapat di pengadilan ini cukup menegangkan. Bagian yang paling menarik dari film ini adalah bagaimana perkosaan didefinisikan dan bagaimana pengetahuan hukum yang lemah dapat menjerat balik sebuah kebenaran.
Kesadaran dan strategi dalam hukum perlu diketahui oleh setiap orang, khususnya perempuan. Hukum tidak selalu menghadirkan keadilan dan bisa jadi memberi celah bagi siapa saja yang bisa memanfaatkannya.
- Dukhtar
Berlatar belakang Bangladesh, Dukhtar menyuguhkan pilunya derita anak perempuan bernama Zainab yang hampir tidak bisa menghindari “pernikahan anak” turun temurun. Ibunya yang masih menyimpan baju pernikahan penuh darah, tidak ingin mewariskan duka pada anaknya.
Dengan rekaman kaset yang berisi percakapan antara dia dan putrinya, sang ibu mengelabuhi seisi rumah. Pernikahan batal, karena Zainab dan ibunya kabur. Perjumpaan mereka dengan sopir truk yang merupakan mantan dari tantara Mujahidin, menjadi jalan keluar sementara dari pelariannya.
Meski berakhir dengan cerita yang nggantung, namun film ini cukup memberi gambaran bahwa perkawinan anak masih banyak berlangsung. Di sisi lain juga menginspirasi kita untuk berani mengambil jalan yang kita yakini dan inginkan. Tidak semua tradisi harus diteruskan dan diikuti. Dan, hentikan duka turun temurun mulai dari kita.
Belakangan, kita sedikit bisa bernafas lega. Platform streaming film seperti Netflix, Amazon Prime, Hulu, mulai banyak memproduksi film-film yang menyuarakan feminisme, termasuk kesetaraan dan kemanusiaan. Wadjdja, Dukhtar, dan Pink hanya tiga diantara sejumlah film yang menyulut keberanian membongkar budaya patriarki. Yuk, sempatkan menonton. []