Mubadalah.id – Perdebatan soal ayat al-Qur’an yang dianggap membolehkan suami memukul istri selalu muncul dalam diskusi tentang relasi gender dalam Islam.
Banyak literatur klasik menempatkan QS. an-Nisa ayat 34 sebagai legitimasi tindakan pemukulan, seolah-olah al-Qur’an memberi ruang. Bahkan menganjurkan kekerasan sebagai bentuk pendidikan bagi istri.
Berikut ayatnya:
وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ
“Para istri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka…” (QS. an-Nisa : 34)
Jika kita baca secara teks, ayat tersebut tampak jelas bahwa suami boleh memukul istri. Namun tafsir tekstualis seperti itu sering kali mengabaikan konteks sejarah, kondisi sosial, dan pendekatan etis yang menjadi ruh ajaran Islam.
Pemahaman literal semacam ini tidak hanya menegasikan nilai utama Islam yaitu perlindungan terhadap martabat manusia. Tetapi juga membuka jalan bagi pembenaran kekerasan dalam rumah tangga.
Kita perlu mengingat bahwa al-Qur’an turun pada masyarakat yang sangat jahiliyah, bahkan terbiasa melakukan kekerasan. Perempuan tidak hanya berhak dipukul; mereka bisa dibunuh, diwariskan sebagai harta, atau dinikahi paksa tanpa suara sedikit pun.
Dengan kondisi masyarakat seperti itu, QS. an-Nisa ayat 34 sesungguhnya merupakan intervensi bertahap (gradual) yang mencoba memutus rantai kekerasan, bukan memperpanjangnya.
Pada masa itu, pemukulan adalah bentuk kekerasan paling ringan daripada praktik kejam lain yang sudah mereka anggap biasa. Karena itu, memahami ayat ini sebagai anjuran memukul jelas sangat bertentang dari spirit pembebasan ajaran Islam.
Pertanyaan pentingnya: Apakah Al-Qur’an benar-benar membenarkan kekerasan? Atau apakah ia sedang memberi jalan keluar yang lebih beradab daripada budaya yang telah mengakar ribuan tahun? []











































