Mubadalah.id – Walaupun seluruh ulama di dunia muslim secara terus menerus memfatwakan bahwa hak sosial-ekonomi, terutama waris perempuan, adalah separuh dari hak waris laki-laki.
Berdasarkan teks-teks suci al-Qur’an yang, menurut mereka, berstatus qath’i al-dilalah (tidak bisa ditafsirkan). Tetapi dalam praktiknya, banyak masyarakat muslim yang justru mengambil fiqh jalan lain.
Mereka secara diam-diam melakukan pemberontakan terhadap ketentuan pembagian hak waris perempuan tersebut dengan caranya masing-masing.
Dengan kata lain mereka secara diam-diam meninggalkannya. Adalah sangat mungkin bahwa tindakan tidak terang-terangan mereka lakukan karena pembagian demikian kurang atau tidak adil.
Apakah dengan tindakan melawan tersebut berarti mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak beriman kepada kitab sucinya dan menentang keputusan Tuhan. Mereka menolak sebutan itu. Mereka meyakini sepenuhnya atas otentisitas, kesucian dan keagungan kitab suci tersebut.
Akan tetapi mereka juga meyakini bahwa Tuhan adalah Maha Adil, dan Keadilan Tuhan ini harus dapat mereka rasakan atau buktikan dalam kehidupan di bumi ini, bukan di langit. Dengan keyakinan ini, mereka mencari jalan, cara atau mekanisme lain yang lebih memenuhi rasa keadilan.
Dalam pencarian ini, sebagian dari mereka bermusyawarah untuk memperoleh persetujuan ahli waris yang lain.
Sebagian yang lain melakukan pembagian harta milik keluarganya sebelum mereka meninggal dunia dan sebagian lagi melalui jalan adat gono-gini (Solo-Jawa). Atau ada juga adat perpantangan (Banjarmasin Kalimantan Selatan), Seuharkat (Aceh) atau harta bersama (UU no. 1/1974 dan KHI). []