Minggu lalu, saat makan bubur di Care Free Day (CFD) di Kabupaten Cirebon, saya bertemu dengan salah satu sahabat perempuan waktu sekolah Madrasah Tsanawiyah (Mts) dulu. Rupanya dia ke sini sedang olahraga bersama suami dan anak laki-lakinya. Agak kaget dan sedikit panggling juga sih, karena sudah beberapa tahun kita tidak bertemu.
Sekalinya ketemu dengan sahabat, tentu saja kita cerita tentang banyak hal, baik mengenai kabar, pekerjaan, pendidikan, sampai tentang jodoh, anak dan banyak hal lainnya. Saya yang belum menikah justru tidak bercerita banyak soal jodoh, karena mau apa yang diceritakan tentang kehidupan jomblo.
Setelah ngobrol banyak hal, sampai akhirnya obrolan kita kepada sebuah kabar bahagia, bahwa saat ini dirinya tidak lama lagi akan melahirkan anak keduanya. Kata dokter, setelah pemeriksaan Ultrasonografi (USG), dirinya akan melahirkan anak perempuan.
Saya yang mendengarnya turut berbahagia. Wahhhh selamat ya, akhirnya teman saya ini akan punya anak perempuan juga, jadi sudah sepasang, anak pertama laki-laki dan anak kedua perempuan. Saya hanya berdoa semoga sehat-sehat terus ya.
Lebih lanjut, dirinya bercerita bahwa untuk mempersiapkan kehadiran anak buah hatinya ini agak berbeda, sang suami telah menyiapkan berbagai perkelengkapan bayi mulai dari baju, sarung tangan, kaos kaki, slimut, tempat tidur, dan lain-lain, yang semuanya hampir berwarna pink. Kata sang suami, warna pink itu menjadi simbol kelembutan. Dalam hal ini rupanya sang suaminya ingin anaknya menjadi perempuan yang lembut, sabar, dan senang melayani kebutuhan orang lain.
Tetapi, kebahagian yang dirasakan oleh kedua orang tuanya, tidak dirasakan oleh anak laki-lakinya. Anaknya justru merasa sedih, karena kalau sudah besar nanti, dirinya tidak bisa mengajak adiknya untuk bermain, apalagi bermain sepak bola.
Dari pojok, anaknya laki-lakinya mengatakan seperti ini, “Iya betul om, kalau nanti kakak punya adik perempuan, nanti kakak nggak bisa ngajak si adek main sepak bola om, kan nggak asyik, masa main bola sama perempuan.. hehehe.“
Dari sebelah kiri, sang suaminya langsung menimpali, “Ehhh jangan salah, ibumu kan pinter masak, nanti kalau adikmu sudah besar, dia akan belajar banyak masakan ke ibumu, dan kalau sudah bisa, dia juga yang akan masakin makanan yang paling enak buat kamu dan keluarga kita juga lho. Nanti adikmu juga bisa menjadi penerus dari ibumu kak…”
Tak lama kemudian, setelah bubur mereka abis, mereka langsung pamitan dan melanjutkan untuk berolahraga. Akhirnya perjumpaan kita selesai di sini.
Sepenggal cerita di atas mungkin tampak biasa-biasa saja bagi sebagaian kehidupan masyarakat kita. Bahwa sejak kecil kita memang sudah terbiasa diajarkan bagaimana berperilaku sesuai jenis kelamin kita. Kalau perempuan, ya harus berperilaku bagaimana menjadi orang yang lembut, sabar, menerima dan bisa melayani.
Terlebih perilaku tersebut diperkuat dengan cara pengasuhan kedua orang tuanya,seperti dari kisah di atas, kita bisa merasakan bahwa sejak dalam kandungan saja, perempuan sudah dicetak dengan simbol warna, bahwa perempuan itu harus menjadi pribadi yang lembut dan penyabar.
Coba bayangkan ya teman-teman, masih dalam kandungan sekalipun dia sudah dibentuk harus seperti ini dan seperti itu. Ah memang sungguh terlalu … hehehe
Memang tidak salah juga sih sebagai orang tua untuk memprogram anaknya nanti akan menjadi seperti apa, karena urusan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban kedua orang tuanya. Apakah anaknya akan menjadi seorang yang memiliki sifat lembut atau menjadi anak yang penyabar sekalipun seperti di atas, keputusan itu semua ada di tangan ibu dan bapaknya.
Tapi yang harus diingat adalah sifat kelembutan dan penyabar inilah saya kira membuat sebagian perempuan ketika dewasa nanti memiliki jiwa yang nrimo (menerima). Misalnya dalam beberapa kasus, perempuan akan menerima kalau pendidikannya hanya sampai SMP atau SMA, perempuan akan menerima kalau ia dinikahkan diusia anak, perempuan akan menerima ketika sudah menikah nanti, hari-harinya banyak dihabiskan untuk urusan dapur, mulai mengatur menu, belanja, memasak, dan mencuci, hingga membersihkan seluruh pekerjaan rumah.
Ketika menjadi seorang pekerja sekalipun, perempuan sering kali tidak dihargai, penghasilan yang diperoleh dari bekerja hanya dianggap sebagai penghasilan sampingan. Dan ketika perempuan mencoba melawan atau keluar dari zona itu semua, tak jarang sebagaian masyarakat akan menyebutnya sebagai perempuan yang menyimpang dari kodratnya.
Begitupun seperti cerita di atas ini, bahwa pekerjaan perempuan akan melanjutkan pekerjaan perempuan-perempuan sebelumnya, yaitu urusan dapur, kasur dan sumur. Hal ini nampak sangat berbeda dengan anak laki-laki, sejak kecil anak laki-laki justru sudah diajarkan tentang ketangkasan, keberanian, kepemimpinan, harus menjadi laki-laki yang kuat, tangguh, bertanggung jawab, tidak boleh cengeng, dan tidak ada pembatasan yang khusus untuk dirinya sendiri. Selain itu, laki-laki pun harus berpendidikan tinggi, harus mapan, harus aktif, dan berbagai keharusan yang harus dimiliki laki-laki.
Hal inilah, akhirnya membuat keberuntungan itu hanya ada pada pihak anak laki-laki, karena anak laki-laki bisa melakukan hal apapun yang membuat dirinya menjadi lebih baik dan baik lagi. Apalagi jika anak laki-lakinya berprestasi, maka tentu saja hal ini membuat orang tuanya semakin mendukung dirinya.
Sebetulnya dari sini kita sendiri bisa membaca bahwa dari beberapa rentetan persoalan yang terjadi di sebagian kehidupan masyakat kita telah melahirkan banyak sekali bentuk ketidakadilan gender yang dihadapi oleh anak perempuan.
Anak perempuan dan anak laki-laki secara jelas diperlakukan secara berbeda. Anak perempuan sangat dibatasi dalam segala perannya sedangkan anak laki-laki justru diajarkan bahkan didukung dalam segala peran yang dilakukannya.
Mungkin bagi sebagian masyarakat itu adalah hal yang sudah biasa terjadi, dan mungkin menganggapnya sebagai suatu yang wajar-wajar saja. Tetapi hal ini tidak bagi ajaran agama Islam. Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Dzat Maha Adil, saya kira keadilan merupakan salah satu ajaran Islam yang mendasar dalam hal apapun, termasuk dalam pola pendidikan anak.
Dr. Siti Musdah Mulia dalam bukunya Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam menyebutkan, Islam hadir di dunia tidak lain kecuali untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk keadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidak adilan terhadap perempuan.
Dengan begitu masih dalam pandangan Ibu Musdah, bahwa Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni Pertama, dari hakikat kemanusiaan, Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan dalam rangka peningkatan kualitas kemanusiaan. Hak tersebut antara lain, waris (Q.S an-Nisa 4:11), persaksian (Q.S al-Baqarah 2:282) dan lain-lain.
Kedua, Islam mengajarkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki mendapatkan pahala yang sama atas amal saleh yang dibuatnya. Sebaliknya, laki-laki dan perempuan memperoleh azab yang sama atas pelanggaran yang diperbuatnya. Ketiga, Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antar umat manusia.
Dalam al-Qur’an sendiri banyak sekali dijumpai ayat-ayat tentang keadilan yang diperintahkan secara tegas, misalnya dalam perintah menegakkan keadilan, kebaikan, dan berbuat baik kepada keluarga (Q.S an-Nahl 16:90), menegakkan keadilan sekalipun terhadap diri sendiri, keluarga maupun orang dekat (Q.S an-Nisa 4:135, Q.S al-An°am 6:152) dan masih banyak lagi.
Maka dengan begitu, saya kira sudah jelas ya, bahwa konsep keadilan ini harus menjadi konsep yang sangat mendasar bagi kita semua yang menjalani kehidupan ini. Hal ini bisa kita wujudkan dengan memandang semua manusia sebagai makhluk yang sama dan setara, baik laki-laki maupun perempuan.
Terlebih, untuk anak laki-laki maupun perempuan, ataupun bagi para perempuan dan laki-laki lainnya, ibu-ibu dan bapak-bapak yang baca tulisan ini, saya berharap mulai dari sekarang coba ubahlah cara mendidik anak-anak dengan konsep keadilan ini. Jangan pernah membedakan lagi ya antara anak laki-laki dengan perempuan, baik dalam pendidikannya, pekerjaannya, sampai pada perhatian dan kasih sayangnya.
Karena saya yakin jika orang tua sebagai guru pertama dan utama, dan keluarga sebagai sekolah pertama dan utama bisa menerapkan konsep keadilan dengan nyata, maka akan tumbuhlah generasi-generasi yang berkualitas yang mempunyai prinsip keadilan sejak dini. []