Bisa jadi, di tengah situasi social distancing seperti saat ini, ketika setiap orang diminta untuk diam di rumah atau kerja dari rumah, lebih banyak lagi pasangan yang dilanda kebosanan dan mungkin akhirnya berujung pada perceraian. Fenomena itulah yang terjadi di China di hari-hari pertama pembukaan karantina. Banyak pasangan yang bercerai karena kebosanan dan meningkatnya KDRT selama masa lockdown.
Di satu sisi, kebersamaan dalam waktu yang lama berdampak positif terhadap peningkatan quality time dalam relasi keluarga. Ayah atau ibu yang selama ini jarang bertemu dengan anak-anak, suami atau istri yang jarang bertemu karena dipisahkan oleh pekerjaan, kini memiliki waktu yang lebih banyak untuk saling berhubungan satu sama lain.
Di sisi lain, kebersamaan yang cukup lama di rumah juga bisa memicu kebosanan. Beberapa menunjukkan bahwa kebosanan akan berimbas pada meningkatnya depresi, menurunnya semangat dan kualitas kerja, rendahnya motivasi, mengganggu hubungan interpersonal, bahkan menurunkan kepuasan seksual. Pada pasangan suami istri, berbagai dampak negatif dari kebosanan itu akan akan memicu ketidakpuasan, pertengkaran, KDRT, dan akhirnya berujung pada perceraian.
Selain menambah quality time bersama keluarga, kebersamaan yang lama di satu tempat yang terbatas (rumah) juga bisa memicu kebosanan. Sebab, salah satu pemicu kebosanan adalah kebiasaan dan aktivitas yang monoton dan repetitif serta kurangnya rangsangan eksternal. Faktor pemicu kebosanan itu ada dalam situasi karantina, ketika satu keluarga diharuskan terus bersama di satu ruang untuk jangka waktu yang lama.
Bagi sebagian orang yang memang bisa melakukan pekerjaan dari rumah, mungkin situasi tidak banyak mengubah pola relasi dalam keluarga. Berbeda halnya bagi orang yang diharuskan berada di rumah tetapi tak bisa bekerja dari rumah. Bagi kelompok kedua, dibutuhkan upaya lebih keras untuk menyesuaikan diri. Rutinitas yang terus berulang-ulang itu makin lama akan memicu stress, baik bagi pelakunya atau orang lain di sekitarnya.
Tips Mengatasi Kebosanan Selama WFH
Pertama, kebersamaan untuk jangka waktu yang lama, selain memicu kebosanan juga akan menyingkapkan kebiasaan dan karakter sejati seseorang. Kesalahan-kesalahan kecil yang terus-terus dilakukan seseorang, makin lama akan menutupi kebaikan yang dimilikinya. Karenanya, ketika mendapati kebiasaan, sifat, atau perilaku yang tidak disukai pada diri pasangan, alihkan pikiran Anda dengan mengingat segala kebaikan dan cintanya. Pikirkan sifat dan kebiasaan baik yang dulu membuat Anda tertarik dan mencintainya.
Kedua, jangan lewatkan sehari pun tanpa mengungkapkan perasaan cinta, sayang, dan syukur kepada pasangan Anda. Tetapi jangan kaget jika kata-kata syukur dan ungkapan-ungkapan penuh cinta yang Anda sampaikan tidak mengubah perilaku dan kebiasaan pasangan Anda. Setidaknya, kata-kata baik dan puja-puji itu akan mengubah perasaan Anda kepadanya.
Ketiga, kadang-kadang kebosanan dipicu oleh kemarahan atau kekesalan yang dipendam dan ditekan. Alih-alih berharap dan memaksa pasangan untuk berubah mengikuti keinginan Anda, ungkapkan dan lakukan berbagai kebaikan yang sangat mungkin menjadi vitamin yang menghidupkan hubungan Anda. Kemarahan atau ekspresi emosional lain tidak harus ditekan dan dipendam. Carilah cara yang lebih santai untuk mengungkapkannya.
Keempat, kebosanan kadang-kadang muncul karena kurangnya perhatian. Pasangan Anda hari ini jauh berbeda dari saat Anda pertama kali bertemu dengannya. Waktu telah mengubah dan menumbuhkannya. Perhatikanlah pencapaian dan perubahan yang dialaminya. Ungkapkan perhatian dan penghargaan Anda kepadanya.
Kelima, sering kali kebosanan muncul karena kita merasa bosan dengan hidup kita sendiri. Kita bosan karena beberapa impian dan harapan kita pribadi tidak pernah tercapai dan terwujud. Lalu, alih-alih berusaha mewujudkan mimpi dan harapan itu, Anda mencari kambing hitam dan menyalahkan pasangan Anda sebagai penyebabnya. Jadi, daripada menumpuk kebosanan, keluhan, dan putus asa karena impian yang tidak juga terwujud, lebih baik Anda memulai langkah untuk mewujudkannya, atau menyingkirkan impian itu dan menggantinya dengan impian bersama.
Jadi, dalam situasi seperti ini, “bersyukur” jauh lebih baik daripada “bersabar”. Ketika “bersabar” yang kerap muncul di pikiran dan menjadi perhatian adalah kekurangan dan kelemahan pasangan.
Sikap “bersabar” menutupi segala kebaikan dan keistimewaan yang dimiliki pasangan. Sebaliknya, bersyukur memunculkan segala kebaikan dan keistimewaan pasangan yang tanpanya hidup kita menjadi lebih sulit dan berbeda.
Selama lockdown lihatlah (lookdown) pasangan orang lain yang mungkin lebih buruk, lebih jahat, lebih menderita, dan lebih tidak memperhatikan pasangan dan keluarganya. Dengan cara itu kita akan lebih banyak bersyukur. []
