Mubadalah.id – Cinta adalah bahasan yang selalu menarik untuk dijadikan obrolan. Mencintai boleh namun jangan jadi budak cinta. Cinta berlebihan atau istilah kekiniannya adalah Bucinisme, yaitu ideologi atau paham cinta yang sangat berlebihan. Sering kali terjadi pada dua orang yang memadu kasih dalam menjalin hubungan. Bucinisme ini bisa menimpa pada usia berapapun, mulai remaja hingga lansia. Bisa remaja, dewasa bahkan tua.
Awal proses cinta adalah perasaan terpesona, tahap di mana salah satu pihak terkesan pada lainnya, atau saling merasa terkesan. Entah dikarenakan wajahnya, keromantisannya, humorisnya atau lainnya. Perasaan tersebut murni timbul dari reaksi pada ketertarikan, reaksi senyawa kimia yang membuat kasmaran.
Rasa kasmaran menjadi ingin tahu yang besar pada doi, dan ini tidak bertahan lama. Pengalaman baru ini terus menerus untuk menggali lebih dalam tentang si doi. Ledakan perasaan yang bikin mabuk pada setiap orang yang merasakannya, seperti mabuk kepayang dengan penuh perasaan sayang.
Bucinisme atau istilah lainnya, budak cinta karena cinta buta, memiliki perasaan yang terlalu berlebihan. Perasan kasmaran ini menimbulkan senyawa kimia di dalam aliran darah. Bucinisme menciptakan sensasi tergila-gila, yang terinduksi secara kimiawi. Cara kerja senyawa kimia itu berdampak pada tidak teraturnya emosi yang menjadikan perasaan kita tidak menentu, seperti: susah makan, susah tidur, terlalu bersemangat, selalu ingin dekat dengan pasangan, akan uring-uringan apabila sedang cemburu, bahkan bisa menjadi pelaku kekerasan.
Baru-baru ini ada kasus viral banyaknya permintaan dispensasi nikah di usia muda karena maraknya kehamilan tidak diinginkan (KTD). Bucinisme yang melanda kawula muda, bahwa memiliki pacar adalah status yang dianggap keren di kalangan mereka. Menikah muda menjadi tren dan dianggap untuk menjadi solusi dari permasalahan hidupnya. Benarkan demikian?
Tren Seks Berisiko di Kalangan Remaja
Masa remaja adalah masa transisi yang tertandai adanya gejolak emosi yang tidak stabil dan juga kita kenal sebagai masa pencarian identitas diri. Termasuk rasa penasaran yang sangat besar dalam hal hubungan seksual. Beberapa faktor penyebab seks berisiko adalah pertama, sikap orang tua yang menganggap edukasi seks adalah hal tabu. Kedua, nilai agama dan budaya yang tidak kita laksanakan dengan baik. Ketiga, kurangnya edukasi seks di daerah-daerah, dan keempat maraknya pornografi online melalui media sosial.
Risiko dari seks berisiko adalah terjadinya kehamilan diinginkan (KTD). Perempuan yang hamil di usia kurang dari 20 tahun berpotensi mengalami robek mulut rahim dan pendarahan, mengalami pre eklamsia atau tekanan darah tinggi, kaki bengkak dan kejang saat persalinan. Perkawinan di usia terlalu muda bisa menyebabkan pertumbuhan tulang akan terhenti, tulang mudah keropos, dan bahkan berisiko kanker mulut rahim.
Usia yang sehat untuk perempuan melahirkan adalah di atas 20 tahun dan di bawah 36 tahun. Di usia 20 tahun, diameter panggul wanita sudah mencapai 10 cm. Sudah cukup ideal dan proporsional untuk melahirkan bayi dengan diameter kepala 9 – 10 cm. Kehamilan pada usia remaja memiliki risiko pada janin yang tidak berkembang secara maksimal.
Risiko pada Kehamilan Remaja
Pertama, risiko anak lahir prematur, risiko ketuban pecah dini. Ketika ketuban pecah dini maka terpaksa bayi dilahirkan prematur dan membutuhkan biaya perawatan yang lebih banyak. Kedua, Berat bayi lahir rendah. Janin belum berkembang sepenuhnya. Kondisi tersebut rentan depresi, pasif, risiko mengalami diabetes tipe-2, hingga penurunan tingkat kecerdasan akibat kurang gizi.
Ketiga, gizi buruk atau stunting. Kehamilan pada ibu yang berusia 20 tahun ke bawah dapat memicu anak mengalami gizi buruk dan terhambat perkembangannya. Gizi buruk disebabkan faktor asupan nutrisi ibu tak cukup selama kehamilan. Bimbingan pranikah dan pemeriksaan kesehatan perlu remaja ikuti, terutama bagi yang sedang mempersiapkan pernikahan, dan bagi mereka yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD).
Bimbingan pra nikah bertujuan untuk memaksimalkan program antenatal care (ANC). Supaya remaja yang terlanjur menjadi penyintas KTD, mendapatkan pelayanan minimal sebanyak enam kali seperti mengetahui cara merawat anak, memberikan nutrisi bagi diri dan anak, hingga akses kepada layanan keluarga berencana yang mereka belum pahami (KB).
Menikah di Saat yang Tepat
Pengadilan Agama (PA) Ponorogo menerima 191 permohonan anak menikah dini selama 2022. Mekutip dari detik Jatim, sebanyak 184 permohonan pengajuan dispensasi pernikahan untuk anak yang berusia 15-19 tahun. Sedangkan 7 perkara lainnya untuk yang berusia di bawah 15 tahun. PA Ponorogo mengabulkan 176 perkara. Sebanyak 125 perkara terkabulkan atas alasan hamil dan melahirkan. Sisanya mereka kabulkan karena anak lebih memilih menikah ketimbang melanjutkan sekolah.
Kasus tingginya angka permohonan pengajuan dispensasi pernikahan juga terjadi di Pengadilan Agama Tulungagung. Sebanyak 372 anak mengajukan permohonan menikah dini dalam catatan administrasi selama tahun 2022. Dalam aturan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa usia minimal adalah 19 tahun. perkawinan di bawah usia tersebut harus melalui pengajuan permohonan ke Pengadilan Agama.
Kasus pernikahan dini menunjukkan bahwa pergaulan berisiko bagi anak di bawah umur cukup tinggi. Pernikahan di usia dini terjadi kepada pasangan berusia di bawah 19 tahun. Penyebabnya karena kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, desakan orang tua agar terhindar dari pergaulan bebas, dan adanya persepsi masyarakat bahwa menikah di usia dini akan terhindar dari julukan ‘perawan tua’ atau ‘bujang tak laku’. Sebuah anggapan yang seharusnya tidak terpelihara di zaman modern saat ini.
Pernikahan di usia dini dapat menimbulkan berbagai dampak besar. Secara psikologis, emosi pada masa remaja masih belum stabil yang berpengaruh pada pola asuh terhadap anaknya, bahkan rawan terjadi baby blues pada orang tua yang masih usia remaja. Kondisi jiwa yang tidak stabil akan berpengaruh pula pada hubungan suami istri, kemudian timbul konflik. Jika masing-masing individu tidak dapat mengendalikan diri dalam mengontrol emosi dan mampu menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga, dampaknya dapat mengakibatkan perceraian.
Mengenal Bucinisme
Bucinisme dalam membina hubungan tidak akan berdampak negatif jika terjadi pada pasangan yang tepat, sehat secara mental, serta cukup dalam usia menikah. Namun akan terjadi sebaliknya sebaliknya, jika salah satu pihak adalah pribadi yang manipulatif, toxic dan red flag. Di mana remaja sangat rentan menjadi korban per bucinan.
Pihak perempuanlah yang paling banyak dirugikan. Laki-laki bisa lepas tanggung jawab tanpa mendapatkan bekas apa pun dalam tubuhnya. Sebaliknya, perempuan berisiko hamil dengan rentetan proses kodratinya yang panjang dan melelahkan seperti melahirkan, nifas dan menyusui.
Stigma negatif terhadap kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD), juga hanya tersematkan pada pihak perempuan saja. Pihak perempuan akan mendapat labelling hingga dia dewasa bahkan pada status anaknya. Saat ada pemberitaan bayi terbuang misalnya, yang mudah kita deteksi dari bayi adalah siapa ibunya, tanpa menelusuri siapa bapaknya.
Padahal perbuatan dari adanya bayi tersebut adalah dari perbuatan laki-laki dan perempuan. Namun imbas dari perbuatan itu, yang bisa kita kenai pasal pidana hanya pada pihak perempuan saja. Maka para remaja seharusnya memiliki pengetahuan terkait organ reproduksinya, pendidikan seks, dan pembinaan dalam menyiapkan rumah tangga. Sehingga mereka akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan.
Pada hakikatnya pernikahan bukanlah hanya sebuah ikatan yang bertujuan untuk melegalkan hubungan biologis saja antara laki-laki dan perempuan. Namun juga untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Kematangan emosi dan kecukupan usia merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan dalam berumah tangga. []