• Login
  • Register
Selasa, 24 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Menikah bukan lagi keputusan cinta yang merekah dan wangi bak mawar Damaskus di musim semi. Pernikahan tampak menjadi kalkulasi serius.

Dhuha Hadiyansyah Dhuha Hadiyansyah
24/06/2025
in Personal
0
Mau Menikah

Mau Menikah

644
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap muncul data baru tentang makin sedikitnya orang yang mau menikah atau makin lambatnya usia menikah, respon masyarakat selalu mirip. Panik massal dibalut doa dan kampanye. Ada yang bilang anak muda sekarang terlalu pilih-pilih. Terlalu manja, terlalu cinta kebebasan, tidak religius, terlalu fokus karier, terlalu individualis, terlalu banyak nonton Drakor, atau—favorit saya—terlalu takut menjalin hubungan.

Angka pernikahan di Indonesia memang terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tahun 2024 adalah periode terendah angka pernikahan dalam satu dekade terakhir dengan 1,48 juta pernikahan. Pada 2023, angka pernikahan mencapai 1,577 juta dan pada 2022 sebanyak 1,705 juta. Tren ini bukan masalah khas anak muda Indonesia saja, melainkan gejala global.

Sebagian besar negara-negara di Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika mengalami penurunan angka pernikahan, terutama sejak dekade 1970-an. Sejak saat itu, anak muda dari berbagai benua ternyata sama-sama menghadapi dilema yang mirip. Menikah itu mahal, rumit, dan bukan solusi otomatis untuk masa depan yang stabil (Lee & Payne, 2010).

Menikah bukan lagi keputusan cinta yang merekah dan wangi bak mawar Damaskus di musim semi usai pasangan mendaftar di KUA. Pernikahan tampak menjadi kalkulasi serius.

Bagaimana tidak, harga rumah naik terus, cicilan kendaraan tak kunjung lunas, gaji stagnan, utang dan balas budi ke keluarga masih mengintai (sandwich generation). Lalu sulitnya menemukan keteladanan pernikahan sakinah, dan di tengah itu semua, negara sering hadir hanya sebagai komentator—mirip tetangga julid.

Baca Juga:

Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Pernikahan adalah Pilihan, Bukan Paksaan

Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

Alasan Menikah

Secara positif, ketika generasi sekarang memilih belum menikah, alasannya mungkin bukan karena “tidak dewasa”. Melainkan justru karena mereka cukup dewasa untuk tahu bahwa menikah itu bukan pelarian dari masalah, tapi malah mengundang masalah baru. Atau, mereka menunggu waktu yang tepat untuk menikah—penurunan tren pernikahan selalu diikuti oleh meningkatnya rata-rata usia orang yang menikah.

Pugliese (2024), misalnya, memberi tambahan menarik untuk diskusi ini. Dalam kajian lintas negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development, beranggotakan 38 negara) dari tahun 1980 hingga 2014, hasil risetnya menunjukkan bahwa penurunan angka pernikahan ikut menyumbang pada anjloknya tabungan rumah tangga.

Artinya, keputusan orang untuk tidak menikah bukan hanya mengubah lanskap sosial, tapi juga punya efek ekonomi makro. Menikah ternyata memberi struktur dan motivasi untuk menabung. Ketika orang tidak menikah, dorongan itu melemah. Kalau statistik tabungan di sebuah negara anjlok, jangan cuma salahkan budaya konsumtif—sertakan juga angka nikah yang rontok. Hal ini sudah terjadi di Indonesia.

Penjelasan kultural ala “nilai-nilai keluarga yang luntur” sulit untuk dipakai sebagai satu-satunya pisau analisis melihat fenomena penurunan angka pernikahan ini. Pada banyak kasus, budaya merupakan bentuk respons terhadap kondisi material (ekonomi dan demografi).

Jadi, bukan anak muda sekarang sangat individualis lalu ogah menikah, tapi bisa jadi mereka ogah menikah kemudian budaya individualistis tercipta—sekadar contoh bahwa kita tidak perlu mendahulukan penghakiman moral pada anak muda yang enggan menikah. Karena penghakiman seperti ini akan menghalangi kita melihat akar persoalan secara utuh. Kalau biaya hidup mahal, masa depan kabur, dan pekerjaan tidak menentu, ya siapa juga yang semangat foto pre-wedding untuk ditempel di surat undangan?

Menurunnya Pernikahan Bukan Sekadar Angka

Ibarat sebuah konser: kalau butuh dana besar, persiapan panjang dan ruwet, tapi tidak ada jaminan berapa penonton yang datang untuk membeli tiket. Jangan heran kalau banyak yang memilih jadi penampil solo daripada membentuk duo, karena pilihan ini lebih hemat modal. Apalagi, jadi solois itu tidak perlu mertua. Faktanya, urusan dengan mertua juga tidak mudah—salah satu faktor perceraian yang sering ditutup-tutupi saat gugatan di pengadilan.

Setelah gelombang penurunan pernikahan ini, Indonesia akan (salah satunya pasti sedang/sudah terjadi) menghadapi tren perikutannya. Penurunan angka kelahiran (berpengaruh pada keseimbangan populasi), peningkatan perceraian (berpengaruh buruk bagi kesejahteraan anak), penurunan ekonomi (pernikahan/keluarga sangat terkait dengan kegiatan kemasyarakatan), dan perubahan norma sosial (termasuk norma tentang hubungan pra-nikah).

Maka dari itu kita perlu mencermati menurunnya pernikahan bukan sekadar angka dalam statistik kependudukan. Keengganan generasi kita untuk tidak menikah adalah jeritan kolektif. Bahwa sistem ekonomi, sosial, dan politik kita tak lagi cukup ramah bagi komitmen jangka panjang.

Jadi, kalau negara ingin angka pernikahan naik, bukan Kemenag membuat diskon nikah massal atau webinar gratis “Menikah Itu Ibadah” (anak SMP juga sudah tahu). Tapi pemerintah perlu membuat kebijakan yang konkret—seperti hunian terjangkau, akses kesehatan, fasilitas publik yang prima, perlindungan kerja, dan pendidikan yang terjangkau. []

Tags: Angka PernikahanJodohJomloMau Menikahpernikahan
Dhuha Hadiyansyah

Dhuha Hadiyansyah

Dosen pada Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan fasilitator Sekolah Pernikahan

Terkait Posts

Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Spiritual Awakening

Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

23 Juni 2025
Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Jangan Bermindset Korban

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hakikat Berkeluarga

    Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seksualitas Perempuan dalam Fikih: Antara Penghormatan dan Subordinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Salim dan Debat Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah
  • Mengkaji Ulang Fitnah Perempuan dalam Pandangan Agama
  • Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID