Mubadalah.id – Di Indonesia, jilbab tidak sekadar menjadi sehelai kain penutup kepala, tetapi juga simbol identitas, spiritualitas, hingga politik. Perdebatan tentang jilbab sering kali berkelindan antara pilihan dan paksaan, antara ekspresi kebebasan dan tekanan sosial.
Kalis Mardiasih, melalui buku terbarunya Esok Jilbab Kita Rayakan, mengangkat isu ini dengan pendekatan yang reflektif dan penuh keberanian. Seperti dalam karya-karya sebelumnya, Kalis menyoroti pengalaman perempuan dalam menghadapi norma sosial yang sering kali bersinggungan dengan kebebasan individu.
Dalam buku ini, Kalis menghadirkan serangkaian narasi yang menunjukkan bagaimana jilbab tidak pernah sekadar pilihan individual. Tetapi juga bagian dari konstruksi sosial yang kompleks. Ia membahas bagaimana perempuan di Indonesia menghadapi berbagai bentuk tekanan dalam memilih apakah akan berjilbab atau tidak.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan keagamaan yang konservatif, tetapi juga di ruang-ruang yang lebih sekuler. Di mana jilbab kerap menjadi identitas budaya dan bahkan alat kontrol sosial.
Jika menilik sejarah, jilbab di Indonesia mengalami transformasi besar. Pada era Orde Baru, jilbab sempat terlarang di sekolah-sekolah negeri karena menganggapnya sebagai simbol perlawanan politik. Namun, sejak era Reformasi, jilbab justru mengalami normalisasi dan bahkan menjadi bagian dari kebijakan seragam di banyak institusi pendidikan.
Beberapa kasus yang mencuat, seperti pemaksaan siswi non-Muslim di Padang untuk mengenakan jilbab. Fakta ini menandakan bahwa jilbab tidak hanya menjadi simbol agama, tetapi juga alat regulasi sosial yang bisa bersifat represif.
Pandangan Kalis Mardiasih tentang Jilbab dan Perempuan
Dalam buku ini, Kalis Mardiasih menegaskan bahwa jilbab tidak seharusnya menjadi instrumen penilaian moral perempuan. Ia mengkritisi bagaimana perempuan sering kali dinilai dari penampilannya, bukan dari karakter atau intelektualitasnya.
Kalis menyoroti bahwa dalam banyak kasus, jilbab menjadi alat untuk mengontrol tubuh perempuan dan membatasi ruang geraknya di masyarakat. Perempuan yang tidak berjilbab sering kali menghadapi stigma sebagai kurang religius. Sementara perempuan yang berjilbab juga bisa mengalami tekanan untuk memenuhi standar kesalehan tertentu.
Lebih jauh, Kalis membongkar mitos bahwa semua perempuan yang mengenakan jilbab melakukannya dengan kesadaran penuh. Banyak perempuan yang mengenakan jilbab karena tekanan keluarga, lingkungan kerja, atau bahkan sistem pendidikan yang mengharuskan seragam Islami. Ia juga menyoroti pengalaman perempuan yang ingin melepas jilbab tetapi terhalang oleh ketakutan terhadap reaksi sosial yang negatif.
Membincang Jilbab
Diskursus tentang jilbab tidak hanya relevan di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Di mana pengalaman perempuan dengan jilbab sangat bervariasi.
Jika di Prancis, misalnya, jilbab dipersoalkan sebagai ancaman bagi sekularisme negara dan bahkan dilarang di sekolah-sekolah negeri. Di Iran, jilbab justru diwajibkan sebagai bagian dari kebijakan negara berbasis syariah. Dua pendekatan yang berlawanan ini menunjukkan bagaimana jilbab bisa menjadi alat politik yang negara gunakan untuk mengatur tubuh perempuan.
Di Turki, yang memiliki sejarah panjang sekularisme ala Mustafa Kemal Atatürk, jilbab sempat dilarang di institusi pendidikan dan pemerintahan selama beberapa dekade sebelum akhirnya kembali diperbolehkan. Sementara itu, di Malaysia, jilbab lebih banyak bersifat pilihan, meskipun norma sosial tetap memberi tekanan bagi perempuan Muslim untuk mengenakannya.
Buku Esok Jilbab Kita Rayakan juga menarik jika kita bandingkan dengan karya-karya lain yang mengangkat isu jilbab dalam konteks sosial. Misalnya, Leila Ahmed dalam A Quiet Revolution membahas bagaimana jilbab di dunia Arab mengalami kebangkitan kembali sebagai simbol resistensi terhadap kolonialisme, tetapi sekaligus menjadi alat penegakan norma patriarki dalam masyarakat. Dalam Unveiling the Truth, Asra Nomani menyoroti bagaimana jilbab di beberapa komunitas Muslim di Barat menjadi simbol kebebasan sekaligus batasan.
Salah satu poin penting yang Kalis angkat adalah pertanyaan mendasar: apakah perempuan benar-benar bebas dalam memilih jilbab, ataukah mereka memilih dalam kondisi yang telah terkondisikan oleh norma sosial dan tekanan komunitas?
Dalam beberapa kisah yang diceritakan dalam buku ini, ada perempuan yang memilih berjilbab karena kesadaran spiritual. Tetapi ada juga yang melakukannya karena tuntutan keluarga atau lingkungan kerja. Tidak sedikit pula yang mengalami dilema ketika ingin melepas jilbab tetapi takut terhadap stigma sosial.
Komodifikasi Jilbab
Dalam budaya populer Indonesia, jilbab telah mengalami komodifikasi. Merek-merek fashion Muslimah berlomba menawarkan gaya jilbab modern yang lebih stylish, dengan pesan bahwa jilbab bukan hanya soal kepatuhan agama, tetapi juga soal estetika dan citra diri. Fenomena ini juga terjadi di dunia Arab, di mana muncul tren modest fashion yang menggabungkan tuntutan religius dengan gaya hidup urban.
Melalui buku Esok Jilbab Kita Rayakan, Kalis Mardiansih mengajak pembaca untuk melihat jilbab bukan sekadar sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai ruang negosiasi perempuan dalam menghadapi berbagai tekanan sosial.
Jilbab bisa menjadi ekspresi kebebasan, tetapi juga bisa menjadi instrumen kontrol. Buku ini penting kita baca, tidak hanya oleh perempuan Muslim, tetapi juga oleh siapa saja yang ingin memahami kompleksitas identitas perempuan dalam masyarakat modern.
Dengan bahasa yang tajam namun reflektif, Kalis berhasil mengungkap bagaimana jilbab bukan hanya sekadar kain yang menutupi kepala. Tetapi juga cerita tentang kuasa, pilihan, dan perjuangan perempuan dalam mendefinisikan diri sendiri. Sebuah buku yang layak menjadi bahan diskusi di tengah dinamika sosial yang terus berkembang. []