Mubadalah.id – Mustahil bagi manusia untuk tidak memiliki emosi marah dalam dirinya. Marah adalah reaksi normal yang mungkin terjadi sebagai tanda kepada otak bahwa ada suatu hal yang tidak tepat dan memberikan energi pada tubuh untuk memperbaiki keadaan. Marah bukanlah hal buruk, namun cara mengekspresikannya haruslah tepat, agar ekspresi marah tersebut dapat menghasilkan hal-hal yang baik dan positif. Sebagaimana cara mengendalikan marah ala Nabi.
Marah merupakan emosi yang menjadi bagian dari nafsu amarah, ia harus dikendalikan, bukan dimusnahkan. Manusia membutuhkan emosi ini untuk dapat memerangi kemungkaran dan ketidak-adilan yang terjadi dalam kehidupan. Marah dapat menjadi emosi negatif saat marah tidak dikendalikan dengan baik. Marah dengan definisi ini kerap menimbulkan pertikaian dan menjadi awal munculnya perpecahan. Adanya ketidak-cocokan terhadap suatu hal sering membuat seseorang merasa risih dan marah.
Seseorang yang sedang marah dapat dikenali dengan berbagai tanda, bisa dari postur tubuhnya, intonasi suaranya, maupun sikapnya. Jika seseorang telah terlatih mengendalikan marah, maka emosi marah yang timbul dalam dirinya dapat diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan hal-hal yang positif, baik secara psikis pribadinya, maupun terhadap relasi-relasi yang terikat dengannya.
Berbeda dengan pribadi-pribadi yang belum dapat dengan baik dalam mengendalikan marah, ekspresi marah yang dihasilkan justru menimbulkan masalah-masalah baru dalam relasi yang sedang mengalami ketidak-cocokan tersebut. Kita semua tidak mau dong emosi dalam diri ini membawa kerugian dalam relasi yang sedang kita bangun, jadi sebenarnya bagaimana sih cara mengendalikan marah ala Nabi yang islami.
Nabi mengganjar orang-orang yang dapat menahan amarah dengan imbalan apapun, yang ia inginkan saat kelak kiamat tiba (HR. Imam Abu Daud No. 4.777 dan Ibnu Majah No. 4.186). Guna mendapatkan keistimewaan ini, maka Kanjeng Nabi juga memberikan tuntunannya untuk dapat dilakukan oleh umatnya. Seperti bunyi hadis masyhur yang artinya, “Bila salah satu dari kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang, maka telah cukup. Namun jika tidak hilang, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud No. 4782)
Tahapan Cara Mengendalikan Marah Ala Nabi
Setidaknya ada dua tahapan, cara mengendalikan marah ala Nabi, yang harus dilakukan seseorang saat rasa marah hinggap dalam dirinya: Pertama, untuk merubah posisi dari berdiri untuk duduk; Kedua, merubah posisi dari duduk dengan berbaring. Perubahan posisi dari berdiri ke duduk tentu memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengendalikan marah. Kita dapat merasakan perubahan intonasi suara yang keluar saat kita merubah posisi dari berdiri ke duduk, tentu suara yang keluar saat kita duduk tidak selantang saat kita berdiri.
Posisi duduk ini juga mengisyaratkan, bahwa hal yang dapat membuat kita marah hendaknya diobrolkan bersama dengan pihak-pihak terkait, dimusyawarahkan dan dicari bersama bagaimana baiknya. Duduk adalah simbol dari musyawarah, komunikasi yang baik, agar tidak ada prasangka-prasangka buruk yang membuat perkara semakin keruh dalam relasi yang ada. Dengan komunikasi yang baik, akan membuka jalan kemaslahatan yang akan menciptakan relasi yang damai antar sesama.
Dengan duduk, kesalahpahaman dapat dikonfirmasi, diluruskan, dan diterima dengan lapang, karena pada umumnya orang yang sedang marah merasa apa yang diyakini merupakan kebenaran tunggal, apa yang diyakini liyan sebagai kesalahan. Dengan duduk bersama, segala bentuk kesombongan diri akan luruh dengan sendirinya, sehingga marah pun akan meredam dengan sendirinya. Jika telah demikian, marah tidak lagi merugikan, baik untuk kesehatan jiwa diri sendiri, maupun terhadap keharmonisan relasi dengan orang lain.
Posisi berbaring setelah duduk merupakan tanda, bahwa marah itu beragam tingkatannya, tidak semua hal yang menjadi sumber kemarahan dapat diselesaikan dengan duduk, melainkan dengan berbaring. Berbaring adalah tanda, bahwa kita memerlukan ruang untuk sendiri, ruang untuk menafakkuri hal-hal yang membuat kita marah dengan posisi yang sangat nyaman, yakni posisi berbaring.
Bukankah nabi juga meminta kita untuk berwudlu saat marah (HR. Abu Daud No. 4784)? Anjuran-anjuran ini merupakan penekanan, bahwa dalam mengendalikan marah kita butuh ruang untuk berpikir dan intropeksi diri, agar rasa marah tersebut tidak menghantui dan mengendalikan diri kita yang kemudian dapat melahirkan hal-hal buruk.
Saat seseorang mampu mengintrospeksi dirinya dengan ragam cara yang baginya merupakan kondisi yang nyaman, maka seseorang akan menemukan kedamaian dalam diri. Marahnya akan hilang, ia akan menerima, ia akan memaafkan, ia akan menyadari, ia akan mengambil hikmah atas apa yang membuatnya marah, ia akan memperbaiki apa yang terlanjur ia lakukan, ia tidak akan mengulangi kembali apa yang memberikan kerugian-kerugian dalam dirinya, ia akan merubah marah tersebut menjadi sesuatu yang menguntungkan banyak pihak.
Demikianlah marah yang seharusnya. Sebagaimana wejangan Abah Anom untuk dapat direnungi bersama, “Harus hati-hati, di dalam benar juga ada salahnya.” Teman-teman salingers, yuk mulai sekarang bersama-sama melatih marah, agar marahnya kita menjadi marah yang mendatangkan kemaslahatan untuk sesama, bukan marah yang bersifat mafsadat dan menimbulkan banyak masalah yang menjadi sumber pertikaian dan perpecahan di antara kita.
Terutama dalam relasi pasutri, jika pasanganmu marah, ajaklah ia duduk untuk sekedar makan dan minum bersama. Jika belum hilang juga marahnya, ajaklah ia berbaring, dan untuk agenda selanjutnya, itu adalah wewenang anda dan pasangan. Hehehehe. []