Mubadalah.id – Perempuan adalah manusia yang memiliki pengalaman yang tidak ada padanannya pada laki-laki. Perempuan memiliki pengalaman biologis, juga pengalaman sosial. Cara kita menyikapi dua jenis pengalaman ini menentukan cara kita memanusiakan perempuan.
Secara biologis, perempuan mengalami lima hal, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Secara sosial, perempuan rentan mengalami ketidakadilan berbasis gender, yakni diperlakukan tidak adil semata-mata karena menjadi perempuan. Bentuknya juga ada lima, yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.
Islam tidak memandang pengalaman perempuan sebagai urusan perempuan saja, laki-laki pun perlu peduli. Bahkan, ayat tentang menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, semua mengandung petunjuk pada selain perempuan untuk tidak membebani, tapi mendukung berbuat sesuatu untuk meringankan perempuan.
Pengalaman perempuan tidak hanya dibahas sebagai topik, melainkan juga sebagi perspektif. Karenanya, Islam memberi aturan khusus bagi perempuan yang menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, atau menyusui dalam menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji.
Demikian pula, Islam selama 23 tahun masa kerasulan Nabi Muhammad Saw berproses membebaskan perempuan dari aneka bentuk ketidakadilan. Misalnya, dengan memastikan bagian warisnya, nilai saksinya, hingga posisinya dalam perkawinan.
Kemanusiaan Perempuan
Sayangnya, di kemudian hari pengalaman perempuan jenis ini hanya lazim dibahas sebagai topik, bukan perspektif, sehingga spirit pemanusiaan perempuan tereduksi. Kita bisa meneladani Islam dalam menjadikan pengalaman perempuan sebagai perspektif, tidak semata-mata sebagai topik.
Oleh karena itu, pengalaman perempuan secara biologis adalah bagian tak terpisahkan dari kedirian perempuan sebagai manusia. Secara sosial, terbebas dari lima bentuk ketidakadilan gender juga menjadi prasyarat mutlak kemanusiaan perempuan.
Tanpa perhatian khusus pada pengalaman perempuan, kearifan sosial, kebijakan negara, bahkan kemaslahatan agama bisa hanya mencapai kearifan, kebijakan, dan kemaslahatan legal formal. Belum substansial bagi perempuan. Mari kita pastikan, apakah sesuatu yang kita yakini arif, bijak, dan maslahat tersebut:
Pertama, arif, bijak, maslahat untuk perempuan yang mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
Kedua, telah membebaskan perempuan dari stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. []