“Yuk kita singkirkan stigma bahwa anak akan bisa pada waktunya.”
Mubadalah.id – Kalimat itu muncul dari sebuah obrolan santai dengan salah satu kawan akrab saya yang kebetulan juga bertetangga dekat. Berawal dari status Whatsapp yang ditulisnya, kami-pun saling berbagi tentang tingkah laku anak, lalu mengalir hingga perihal pengasuhan, pemakluman, dan kesadaran akan peran orangtua.
Bersandingan dengan sebatang cadburry dan es kopi kekinian, percakapan kami membawa saya sedikit mengembara pada sebuah ilustrasi: ternyata masih banyak dari kita yang menganggap bahwa anak akan bisa “pada waktunya”. Bahwa mereka punya jam biologis dan fase alamiah yang akan mengantarkan mereka pada kemampuan tertentu.
Dan obrolan pagi itu mengingatkan saya pada kemungkinan lainnya: bagaimana jika kita terlalu bersandar pada waktu, sedangkan yang anak butuhkan adalah kesempatan, stimulasi, dan keterlibatan kita?
Dan pukulan pertama mendarat telak di pundak saya.
Menyelami Logika Anak-anak
Saya teringat anak laki-laki saya sendiri, yang dua bulan lagi akan berusia lima tahun. Di usia ini, saya merasa sedang benar-benar diajak menyelami “logika” seorang anak. Cara mereka menyerap informasi ternyata sangat berbeda dari kita orang dewasa.
Alih-alih dari penjelasan, mereka justru banyak belajar dari penglihatan, sentuhan, perasaan. Mereka menyerap makna lewat hal konkret, pengalaman langsung, dan imajinasi yang sering mustahil menurut ukuran rasional orang dewasa.
Pernah suatu waktu, saya memarahinya karena menyembunyikan sesuatu yang saya larang. Saya marah dan menyangka dia tidak jujur. Tapi ternyata, dalam kepalanya, ia hanya sedang mencari aman dan menghindari berkonflik dengan saya dengan memilih “menyembunyikan” alih-alih jujur dan terbuka.
Dalam dunianya, yang salah bukanlah “perbuatannya”, tapi ketahuan oleh ibunya. Selama saya tidak tahu, maka semuanya baik-baik saja. Dan dalam logikanya yang polos, itu bukanlah kebohongan, melainkan cara menjaga ketenangan dari omelan saya, ibunya.
Saya jadi sedikit mengerti, bahwa anak belajar dari hasil langsung yang mereka alami, bukan dari nasihat panjang maupun konsep yang belum mereka mengerti. Mereka menyusun logika lewat pengalaman konkret, bukan hanya teori.
Bahwa kebaikan, dalam kepala anak usia 4-5 tahun, belum tentu berarti “mengatakan yang sebenarnya” tetapi bisa juga berarti “menghindari marahnya bunda”. Bahwa yang bagi kita terlihat sebagai ketidakjujuran, bagi mereka bisa jadi sekadar mekanisme bertahan—dari rasa takut dan dari tekanan.
Dan dari logika polos itu ada sesuatu yang sedang bekerja di dalam dirinya: Fitrah yang sedang berkembang dan mencari bentuk dan bahasanya.
Dari Fitrah ke Kemampuan: Ruang yang Harus Diciptakan
Saya pun mulai merenung. Kalau memang anak punya “fitrah”, maka tugas kita tidak sesederhana menunggu fitrah itu tumbuh sendiri. Fitrah anak itu perlu terpanggil keluar, terasah, kita rangsang, dan dibukakan pintu.
Dalam tradisi pendidikan Islam, hal ini ditegaskan dalam konsep ta’dīb—bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkan akhlak, kecerdasan, dan integritas anak sejak dini. Kitab Ta’līm al-Muta‘allim maupun manhaj pendidikan akhlak lil banāt/lil banīn sering menekankan pentingnya peran aktif lingkungan, terutama orang tua, dalam membentuk karakter anak.
Salah satu konselor sekaligus pakar neuroparenting, dr. Aisyah Dahlan juga menekankan tentang pentingnya orangtua memahami fitrah dan karakter otak anak sejak dini. Menurutnya, otak kanan anak laki-laki berkembang lebih cepat dibanding otak kirinya.
Artinya, mereka lebih mudah belajar melalui pengalaman konkret, visual, dan pergerakan fisik—bukan penjelasan verbal panjang atau perintah abstrak. Sementara anak perempuan cenderung lebih seimbang antara otak kanan dan kiri, sehingga bisa lebih responsif pada stimulasi bahasa dan logika
Saya mulai meraba hal ini dalam momen-momen kecil bersama anak saya. Pernah suatu ketika, saya mengajaknya menyusun puzzle huruf. Alih-alih duduk dan menyusun dengan tenang, ia malah menggerakkan semua potongan puzzle seperti mobil-mobilan, membentuk jalur, lalu membuat suara “vroooom!”.
Sempat terpancing ingin mengoreksi, saya hampir mengatakan, “Ayo nak, ini puzzle, bukan mainan mobil.” Tapi kemudian saya diam. Saya amati lagi. Ternyata dia sedang membangun jalurnya sendiri untuk mengenali bentuk-bentuk itu dengan caranya. Pada kesempatan berikutnya, dia sudah mampu menyusun puzzle itu melalui pengalaman dan pengamatannya.
Fitrah itu tidak selalu muncul dalam bentuk yang kita bayangkan
Ia bisa muncul dalam imajinasi yang tidak kita pahami, dalam cara berpikir yang tidak linier, atau dalam permainan yang terlihat “asal” bagi orang dewasa. Namun di balik semua itu, otaknya sedang bekerja—dalam skema yang khas miliknya.
Kemudian Di sinilah letak peran kita sebagai orangtua: menciptakan ruang aman, lentur, dan merangsang, agar fitrah itu bisa bergerak dari potensi menjadi kemampuan nyata.
Ini juga senada dengan berbagai temuan di bidang neuropsikologi dan tumbuh kembang anak: apa yang anak lihat, rasakan, dan alami sejak dini akan langsung membentuk sambungan-sambungan di otaknya—mulai dari kemampuan berpikir, berbahasa, sampai cara mereka memahami perasaan sendiri dan orang lain.
Iya, otak anak memang seperti spons. Tapi spons ini cuma menyerap apa yang benar-benar ada di hadapannya, bukan sesuatu yang sekadar kita niatkan atau kita tunggu muncul dengan sendirinya.
Kita Tidak Sedang Menyuruh Anak Hebat Lebih Cepat
Pukulan telak kedua-pun mendarat tepat saat saya menuliskan sub judul ini.
Terkadang kita lupa, bahwa anak bukanlah proyek gengsi dari orangtua. Berhenti menunggu bukan berarti memaksa. Merangsang anak sejak dini bukan tentang membuat mereka “hebat” lebih awal, tapi mencintai proses belajar sejak kecil. Kadang orang salah paham, mengira stimulasi itu semacam ambisi orang tua. Padahal tidak. Itu adalah bentuk cinta yang aktif.
Jadi, perlu kiranya kita pahami bersama bahwa: Stimulasi berbeda dengan ambisi.
Ketika kita mengajak anak membaca buku bersama, berbicara penuh makna, bermain dengan kreatif, mengenalkan nilai, membangun kedekatan, semua itu adalah bentuk stimulasi yang sederhana tapi membekas. Kita sedang menyediakan ruang untuk tumbuh, bukan mencetak juara.
Waktu Perlu, tapi Proses Tak Kalah Penting
Waktu memang dibutuhkan. Tapi waktu tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dibarengi kehadiran. Ada cerita di sela permainan, tetap semangat menjawab “Kenapa begini?” dan “Kenapa begitu?”. Selalu siap dengan rasa ingin tahu yang tak boleh dipadamkan.
Jadi, anak tidak hanya akan bisa “pada waktunya”. Anak akan bisa karena kita hadir pada waktunya—yakni saat mereka butuh dorongan kecil untuk percaya, meraba, mencoba, tumbuh dan selalu siap menjawab setiap pertanyaan absurd yang mereka anggap sungguh penting seperti “bunda, kalau anomali yang oren yang pakai sepatu itu, apa namanya?!”
Yang terkadang hanya mampu kujawab dengan senyum masygul dan gumam pelan, “apa ya.. Ayo cari sama-sama.” Wallahu A’lam. []